Hakikat Pembelaan dalam Penegakan Hukum
Saharuddin Daming ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibnu
Khaldun Bogor
|
KORAN
TEMPO, 15 September 2015
Terkuaknya kasus
penyuapan sejumlah fungsionaris Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan melalui
operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 9 Juli
lalu semakin menambah panjang daftar penegak hukum terlibat dalam kasus
korupsi. Hal ini membuat kepercayaan publik terhadap pengadilan semakin
merosot. Walhasil, kedudukan pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan (the last resort of justice)
benar-benar telah roboh.
Tak salah jika para
pencari keadilan semakin pesimistis, bahkan apatis, terhadap pengadilan.
Sebab, meski jumlah pengadilan banyak, keadilan tetap sulit didapat. Bahkan
keadilan sebagai produk primer pengadilan justru menjadi langka dan asing
bagi pencari keadilan. Sebab, pengadilan saat ini lebih dirasakan sebagai
sumber ketidakadilan.
Parahnya, para
penyidik KPK, dalam menjalankan tugas menangkap oknum pejabat PTUN Medan yang
terlibat dalam kasus suap, malah mendapat perlawanan dari sejumlah pegawai
PTUN. Sikap seperti ini jelas merupakan bentuk pembelaan korps yang
kontra-produktif dengan ruang lingkup tugas mereka sebagai bagian dari
jajaran penegak hukum. Sebab, dalam bahasa yang paling sederhana sekalipun,
makna penegakan hukum (law enforcement)
tidak lain adalah membuat aturan hukum terlaksana atas dasar kebenaran,
keadilan, dan kemanfaatan,
Idealitas seperti itu
kini tampak menjadi sebuah utopia. Sebab, hukum sebagai salah satu instrumen
negara untuk mewujudkan cita-cita kehidupan bangsa kini terbajak oleh
berbagai agenda kepentingan non-hukum yang dicampur-aduk sedemikian rupa.
Walhasil, wajah tujuan hukum, yaitu keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum,
menjadi bopeng akibat ulah fungsionaris hukum itu sendiri.
Ironisnya, demi
mempertahankan gengsi, muncul tren di kalangan fungsionaris hukum, yakni
mengeksploitasi solidaritas korps, meski tak dapat dipungkiri hal seperti itu
merupakan sesuatu yang halal. Namun pembelaan atas nama solidaritas korps
harus dapat dipisahkan dari esensi tujuan hukum itu sendiri. Walhasil,
pembelaan membabi buta atas nama solidaritas korps tak boleh menguburkan
esensi tujuan hukum yang menjadi tugas pokok dan fungsi semua lembaga penegak
hukum.
Meski demikian,
solidaritas yang diciptakan untuk membela orang yang menjadi korban
kriminalisasi, seperti dua pemimpin KPK dan Komisi Yudisial, merupakan sikap
yang sangat luhur dan harus didukung. Sebab, kita telah bersepakat untuk
melawan segala bentuk kezaliman yang dilakukan atas nama penegakan hukum.
Masih dapat dimaklumi jika pembelaan itu dilakukan karena memang diminta oleh
orang yang tersangkut dalam persoalan hukum. Sebab, setiap advokat berwenang
untuk melakukan pembelaan hukum bagi siapa pun yang memintanya. Hanya, setiap
advokat juga dapat menolak untuk menangani perkara yang dimohonkan kepadanya
jika tidak sesuai dengan keahlian atau karena bertentangan dengan hati
nuraninya (Pasal 3A Kode Etik
Advokat).
Karena itu, kita
sangat salut kepada Hendri Yosodiningrat ketika masih aktif bekerja sebagai
advokat. Ia mendeklarasikan penolakannya untuk menangani semua perkara
narkotik. Bahkan, ketika masih menggeluti profesi advokat, Ruhut Sitompul
menolak dengan tegas jika diminta menangani perkara narkotik, terorisme, dan
korupsi. Namun menjadi soal jika
solidaritas korps terbentuk untuk membela orang yang tertangkap tangan
melakukan korupsi.
Tengoklah ketika KPK
melakukan operasi tangkap tangan terhadap Yagari Bastara, yang terlibat dalam
praktek suap bersama sejumlah fungsionaris PTUN Medan. Ketika itu, muncul
gerakan solidaritas para advokat untuk membelanya dari jeratan hukum. Sikap
solidaritas seperti itu patut disesalkan. Sebab, sikap tersebut tentu saja
berlawanan dengan cita-cita kita untuk membangun sistem penyelenggaraan
negara yang bersih, berwibawa, dan bermartabat. Sikap seperti ini jelas membangun kesan
bahwa para advokat masih toleran terhadap perilaku korup.
Dengan demikian,
dukungan sejumlah advokat kepada Yagari atas nama solidaritas korps harus
ditolak. Karena perbuatan Yagari tidak saja melanggar kode etik advokat, tapi
juga melanggar sumpah advokat sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2003, khususnya Pasal 4 ayat 2, yang berbunyi, "Bahwa
saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau luar pengadilan tidak
akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan,
atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan perkara klien yang
sedang atau akan saya tangani."
Harus dipahami bahwa
menurut Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 18
Tahun 2003, advokat adalah penegak hukum, seperti halnya polisi, jaksa, dan
hakim. Bahkan, dalam Pasal 8 ayat 1 Kode Etik Advokat, pekerjaan tersebut
malah disebut sebagai profesi mulia. Karena itu, ketika menjalankan tugas,
advokat sesungguhnya dilekati kewajiban untuk menegakkan hukum sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 3 ayat 2 Kode Etik Advokat, meski hal itu dilakukan
dari sisi kepentingan kliennya. Namun pembelaan yang dimaksudkan tidak
mencakup penyalahgunaan segala macam cara demi mencapai tujuan, seperti yang
dilakukan beberapa oknum advokat yang "maju tak gentar membela yang
membayar".
Pada hakikatnya,
advokat menjalankan tugas demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan
pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari
hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat, sebagai salah satu unsur
sistem peradilan, merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum
dan hak asasi manusia. Jadi, advokat tak bisa memenuhi hakikatnya sebagai
penegak hukum jika ia justru
meruntuhkan hakikat tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar