Senin, 28 September 2015

Tergusurnya Bahasa Daerah di Pendidikan Anak Usia Dini

Tergusurnya Bahasa Daerah

di Pendidikan Anak Usia Dini

Yubaedi Siron ;  Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 28 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KESADARAN akan pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD) mulai dirasakan masyarakat beberapa tahun terakhir. Direktorat Jenderal PAUDNI (Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menyebut angka partisipasi kasar (APK) PAUD nasional, anak 3-6 tahun yang dilayani melalui TK, kelompok bermain (KB), tempat pengasuhan anak (TPA), dan satuan PAUD sejenis meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2011 APK mencapai 60,33%, 2012 mencapai 62,76%, dan 2013 mencapai 67,40%. Setahun lalu, target APK PAUD sebesar 72,90% juga sudah tercapai.

Keberadaan PAUD yang menjamur tersebut di satu sisi memang memiliki dampak positif. Namun, di sisi lain, itu bisa menjadi bumerang jika tidak dibarengi dengan praktik pengajaran yang baik. Bisa kita bayangkan apa jadinya jika ternyata di PAUD justru terjadi ‘malapraktik’. Jika itu terjadi, akan hilang satu generasi yang memiliki kesantunan budi dan keluhuran karakter. Mereka lahir sebagai generasi yang cacat secara psikologis dan mental.

Problem pelik lain ialah ancaman tergusurnya bahasa daerah di PAUD. Seperti kita ketahui, praktik pembelajaran PAUD di seluruh Indonesia menggunakan bahasa Indonesia secara penuh. Di satu sisi positif untuk mendekat kan anak pada bahasa persatuan bangsa mereka. Namun, di sisi lain, keberadaan bahasa daerah akan terancam hilang. Di usia emas, mestinya anak didik didekatkan dengan bahasa ibu atau bahasa daerah. Barulah setelah anak didik di SD, mereka diperkenalkan dan didekatkan dengan bahasa Indonesia.

Fondasi dalam pengenalan dan praktik pemerolehan bahasa di usia dini membutuhkan momen yang tepat. Semestinya, pemerolehan bahasa pertama anak ialah bahasa daerah. Pasalnya, bahasa itulah yang diperoleh anak pertama kali dari ibunya. Perolehan bahasa pertama terjadi ketika seorang anak yang semula tanpa bahasa, mendapatkan bahasa. Di Indonesia, bahasa daerah merupakan bahasa pertama yang dikenal anak sebagai bahasa pengantar dalam keluarga atau sering disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu yang digunakan setiap saat sering kali terbawa ke situasi formal atau resmi yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal, menyampaikan dengan bahasa ibu akan lebih efektif jika dibandingkan dengan menggunakan bahasa kedua.

Lain halnya jika anak berada di sekolah. Sebagian besar guru pada lembaga PAUD di negeri ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa peng antarnya. Padahal, bagi anak, guru di sekolah merupakan tokoh identifikasi. Anak serta-merta akan meniru apa pun yang ia tangkap di sekolah sebagai bahan pengetahuannya yang baru. Citraan guru di sekolah menjadi dasar pemahaman baru yang diperoleh anak sebagai khazanah pengetahuannya. Artinya, apa saja yang dilakukan guru di sekolah akan terserap oleh anak.
Apa pun bahasa yang diperoleh dari guru, akan tersimpan di benak anak sebagai konsep pemerolehan bahasa mereka. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan guru dalam berbahasa di sekolah sangat dicermati anak untuk ditirukan. Anak bersifat meniru dari semua konsep yang ada di lingkungannya. 

Sayangnya, jika bahasa yang disampaikan guru di sekolah berbeda dengan orangtuanya di rumah, itu akan membingungkan anak dalam praktik berbahasa.
Jika praktik penggunaan bahasa tidak konsisten antara praktik di rumah dan di sekolah, pikiran anak akan terjadi overlapping (tumpang-tindih), apalagi jika praktik tersebut terjadi pada anak yang belum melewati fase dalam pemerolehan bahasa pertamanya. Sebagai contoh, anak usia 3 tahun dengan latar belakang bahasa ibu menggunakan bahasa Jawa. Namun, ketika di sekolah, anak belajar dengan gurunya menggunakan bahasa Indonesia. Itu akan menjadikan anak kebingungan, bahasa mana yang harus dipakai, sehingga anak berkecenderungan untuk menjadi sungkan dalam berbahasa secara ekspresif. Hal itu akan berdampak pada kondisi anak yang lebih suka diam dan menarik diri dari pergaulan/komunikasi.

Ketika anak sudah telanjur menarik diri, tidak mau berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama, bisa jadi perkembangannya akan terhambat. Tentunya juga akan berimbas pada perkembangan-perkembangan anak di tahapan berikutnya. Permasalahan kemampuan menyerap kedwibahasaan masih bisa dilakukan anak usia dini asalkan ada konsistensi. Namun, kondisi itu hanya berlaku pada usia-usia tertentu (Hendriati, 2015). Lebih disayangkan lagi, kasus seperti itu juga ditakutkan akan menjadi salah satu cikal bakal malasnya anak untuk mempelajari dan mempraktikkan bahasa daerahnya kelak.

Kurang fasilitas penunjang

Pelayanan PAUD di Indonesia yang meliputi rentang usia dari lahir sampai enam tahun mempunyai level yang berbeda dalam stimulasi dan tahap perkembangan berbahasa anak. Secara nasional, pusat kurikulum, misalnya, telah mengklasifi kasi tahapan-tahapan perkembangan anak usia dini, dari usia lahir-2 tahun, 2-3 tahun, 3-4 tahun, hingga 5-6 tahun. Tiap-tiap tahapan mempunyai taraf yang sangat berbeda dalam menstimulasi perkembangannya.

Penunjang untuk melangsungkan keberadaan bahasa daerah di PAUD masih minim. Sebagai contoh, keberadaan buku penunjang yang beredar sekarang ini hanya berbahasa Indonesia. Masih sedikit buku penunjang yang menggunakan bahasa daerah, atau bahkan mungkin belum ada.

Malah, terkesan ada pemerkosaan bahasa daerah dengan praktik-praktik pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia secara penuh yang menjadi momok besar. Seperti pengembangan buku untuk anak usia dini, misalnya. 

Kebijakan tentang pengembangan perbukuan PAUD yang materinya disesuaikan dengan potensi dan karakteristik daerah serta sesuai dengan kebutuhan peserta didik hingga kini belum diwadahi dalam suatu kebijakan. (Puskurbuk-Kemendikbud, 2015).

Ada beberapa alternatif untuk mengantisipasi lunturnya bahasa daerah, di antaranya menyediakan tempat untuk menerjemahkan bahasa yang terdapat dalam buku teks sehingga guru atau praktisi di lapangan dapat leluasa menggunakan bahasa daerah dengan baik. Dus, kebijakan pemerintah untuk membuat regulasi agar mewajibkan penggunaan bahasa daerah ketika pembelajaran pada usia tertentu, misalnya, usia 3-4 tahun, harus segera diwa canakan dan diterapkan.

Di lain sisi, perlu dikaji juga upaya nasionalisasi bahasa Indo nesia demi keutu han NKRI di masa yang akan datang. Akan menjadi sebuah dilema jika hanya mementingkan bahasa daerah tanpa mempertimbangkan pengenalan bahasa Indonesia.

Kita tidak bisa mengelak bahwa melalui bahasa daerah, banyak hal-hal yang bersifat kedaerahan dapat disampaikan ke anak dengan lebih baik. Sebagai contoh, tentang kearifan lokal yang ada di tiap-tiap daerah. Anak akan lebih menangkap amanat yang disampaikan dalam kearifan lokal tersebut, yang berujung pada penanaman karakter anak di masa kini dan masa depan. Selain itu, penutur penyampai pesan juga akan lebih mudah dalam menyampaikan kearifan lokal tersebut kepada anak karena ada rasa tersendiri ketika pesan tersebut disampaikan dalam bahasa daerah yang bersangkutan ketimbang disampaikan dengan bahasa lain.

Mengingat betapa pentingnya keberadaan bahasa daerah dalam melengkapi khazanah keunikan dan pengembangan bangsa Indonesia ini, sudah saatnya perhatian serius perlu dilakukan agar bahasa daerah selamat dari segala ancaman. Sektor pendidikan tentunya mempunyai andil yang sangat besar karena ada situasi ketika bahasa harus diperkenalkan dan diperlakukan sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan usia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar