Minggu, 20 September 2015

Pengungsi Korban Konflik

Pengungsi Korban Konflik

Bagong Suyanto  ;  Dosen Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
                                                     KOMPAS, 19 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di balik terjadinya konflik sektarian, perang, dan penindasan yang terjadi di sejumlah negara, salah satu imbas masalah yang saat ini menarik perhatian dunia adalah nasib para pengungsi (refugees).

Kisah menyedihkan dan bagaimana seharusnya menangani nasib para pengungsi akibat konflik ini sebetulnya isu lama. Namun, isu ini kembali mencuat tatkala masyarakat luas menyaksikan nasib tragis seorang bocah pengungsi asal Suriah yang tewas mengenaskan di pantai dekat kawasan wisata Bodrum, Turki.

Foto-foto kematian Aylan Kurdi (3 tahun) yang beredar luas di media sosial dan dunia maya tidak hanya membetot rasa haru masyarakat, tetapi juga berhasil meluluhkan hati para pemimpin dunia untuk lebih peduli nasib pengungsi.

Dalam lima tahun terakhir, arus para pengungsi dari sejumlah negara yang dilanda konflik dilaporkan terus meningkat. Sejumlah negara tujuan, seperti di Eropa dan Australia, tak banyak yang peduli. Bahkan, beberapa negara, seperti Jerman dan Inggris, enggan turut andil dalam menangani nasib pengungsi. Namun, akibat kisah kematian Aylan Kurdi, kakak, dan ibunya itu banyak diekspos ke media massa, kini para pemimpin dunia pun mulai terketuk hatinya.

Sejumlah negara di Eropa dan di luar Eropa telah menyatakan kesediaannya memperbesar kuota penerimaan pengungsi.

Korban konflik

Pengungsi pada dasarnya adalah individu atau kelompok masyarakat yang tidak lagi merasakan kedamaian dan keamanan serta kehilangan perlindungan di negara mereka sendiri akibat perang, konflik sektarian, ataupun karena ulah penguasa setempat yang kejam. Para pengungsi ini umumnya orang-orang atau keluarga yang terpaksa melintasi perbatasan internasional untuk mencari perlindungan akibat ancaman keamanan dan situasi politik yang tidak menentu.

Lebih dari sekadar karena tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal, para pengungsi lari mencari perlindungan ke luar negeri karena mereka takut akan menjadi korban penyiksaan, entah itu akibat perbedaan ras, agama, sebagai kelompok minoritas, ataupun karena perbedaan ideologi politik tertentu.

Konflik yang terjadi antara pejuang Kurdi dan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), perang yang terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah, dan berbagai tindak penindasan yang terjadi di negara komunis menyebabkan sebagian warga masyarakatnya nekat lari ke luar negeri agar tidak ikut menjadi korban. Ketakutan akan keselamatan di negeri sendiri menyebabkan ribuan, bahkan ratusan ribu penduduk korban perang, lebih memilih mengungsi ke sejumlah negara yang memungkinkan untuk dijangkau.

Di sejumlah wilayah konflik, ancaman yang dihadapi warga masyarakat bukan hanya kelaparan dan kedinginan, melainkan yang mengerikan adalah ketika sanak keluarga mereka menjadi korban penculikan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Di Damaskus, Suriah, misalnya, tak sedikit warga menjadi korban pembantaian akibat perang saudara. Di Irak dan Suriah, sebagian warga juga jadi korban pembantaian dan pemerkosaan milisi NIIS.

Hidup tanpa perlindungan pada akhirnya menyebabkan banyak warga masyarakat nekat menerobos ganasnya lautan dan kawat pagar berduri untuk mencari kehidupan yang lebih aman dan menjanjikan. Dengan naik kapal atau lebih tepatnya perahu yang jauh dari layak, ribuan orang ditengarai tewas sebelum tiba di tanah impiannya.

Sebagian warga pengungsi lain yang beruntung mungkin telah berhasil mendarat dan tiba di negara tujuan mereka. Namun, karena politik suaka dan kebijakan negara yang kurang peduli pada nasib para pengungsi, akhirnya nasib mereka pun hingga kini banyak yang masih terkatung-katung. Berhasil keluar dari daerahnya yang tengah berkonflik bukan berarti nasib para pengungsi itu bakal lebih baik.

Kebijakan politik dan keterbatasan dana serta kurangnya kepedulian negara-negara tujuan pengungsi sering mengakibatkan para pengungsi dan keluarganya hidup terkatung-katung. Kisah para pengungsi adalah kisah yang sarat dengan air mata kesedihan, kesengsaraan, dan hal itu makin menjadi-jadi tatkala kepedulian bangsa-bangsa seolah tumpul.

Hathaway (1991) dalam bukunya The Law of Refugee Status menyatakan, persoalan yang kerap kali dihadapi para pengungsi adalah ketidakjelasan status mereka di mata hukum, dan hal itu mengakibatkan posisi tawar pengungsi akibat konflik menjadi lemah meskipun dari segi hak asasi manusia mereka sesungguhnya berhak memperoleh perlakuan yang bermartabat dan komitmen dari negara-negara yang menjadi tujuan pengungsi.

Skema penanganan

Di era setelah Perang Dingin, para pengungsi yang keluar dari negara komunis dan kemudian lari ke luar negeri biasanya diberi perlindungan oleh negara-negara Barat yang pro-Amerika karena lebih didasari pertimbangan politik dan ideologis daripada pertimbangan kemanusiaan. Setelah Perang Dingin, apa yang menjadi dasar sebuah negara mau menerima pengungsi?

Setelah Perang Dingin, negara-negara maju, seperti Uni Eropa, Australia, dan Amerika, cenderung tak lagi bersikap longgar terhadap pengungsi. Para pengungsi yang berjuang untuk menyelamatkan diri dan anggota keluarganya lebih sering dipandang sebagai pencari kerja atau bahkan dianggap sebagai beban dan ancaman daripada dipahami sebagai korban situasi politik dan orang yang tengah mencari keselamatan.

Dengan melihat pengungsi sebagai pencari kerja, para pemimpin negara tujuan pengungsi pun menjadi berhati-hati dan tak lagi mudah menerima pengungsi. Di tengah kondisi perekonomian Uni Eropa sendiri yang melemah dan dalam krisis serta karena situasi lapangan kerja di negara mereka yang juga tengah melambat, tentu keputusan untuk menampung pengungsi harus dilakukan ekstra hati-hati.

Kepala Badan Pengungsi PBB dalam berbagai forum telah berkali-kali menyerukan agar Uni Eropa yang menjadi salah satu negara tujuan para pengungsi bersedia menyediakan paling tidak 200.000 tempat relokasi dan mau membantu menangani nasib para pengungsi yang tidak menentu. Meski sejumlah pemimpin Uni Eropa, seperti Jerman, Perancis, dan Spanyol, telah menyatakan sepakat menangani persoalan pengungsi dengan cara menambah kuota penampungan, bagaimana skema pasti tentang nasib dan upaya penanganan pengungsi ke depan hingga kini mereka masih meraba-raba.

J Benthall (1993) dalam bukunya Disaster, Relief and the Media melaporkan bahwa selama ini di berbagai media, kisah dan upaya penanganan para pengungsi sering kali masih digambarkan dengan berbagai aksi pengumpulan dana dan cenderung memersepsikan pengungsi dengan kesengsaraan, ketidakberdayaan, dan ketergantungan yang hanya membutuhkan bantuan-bantuan ekonomi. Padahal, lebih dari sekadar bantuan untuk menyambung hidup dan bantuan kebutuhan dasar, seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian, tak kalah penting para pengungsi butuh penanganan yang lebih mendasar berkaitan dengan proses rehabilitasi sosial-psikologis yang mengendap di kepala mereka.

Sebagai korban konflik, para pengungsi niscaya mengidap rasa trauma dan guncangan kejiwaan yang mendalam. Mereka adalah orang-orang yang tumbuh dengan jiwa yang terluka, yang jika tidak ditangani dengan benar, bukan tidak mungkin di masa depan kehidupannya bisa terjerumus menjadi bagian dari orang-orang yang mengidap dendam kesumat yang mendalam. Seperti dikatakan Malkki (1990), para pengungsi sesungguhnya orang-orang yang berada pada situasi liminalitas atau situasi antara, yang sangat rentan terjerumus ke dalam sikap inferior atau sebaliknya berkembang menjadi orang yang berpotensi mengembangkan perilaku radikal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar