Pembahasan Masalah Papua di Pasifik
Neles Tebay ;
Dosen pada STF Fajar Timur;
Koordinator Jaringan Damai Papua
di Abepura
|
KOMPAS,
25 September 2015
Pacific Islands Forum baru saja menyelenggarakan pertemuan tahunan
yang ke-46 pada 7-11 September 2015 di Port Moresby, Papua Niugini. Pacific Islands Forum (PIF) adalah
organisasi regional yang beranggotakan 16 negara di kawasan Pasifik, yakni
Papua Niugini (PNG), Kepulauan Solomon, Fiji, Vanuatu, Kepulauan Cook, Negara
Federasi Mikronesia (FSM), Kiribati, Nauru, Nieue, Palau, Samoa, Tonga,
Tuvalu, Kepulauan Marshall, Selandia Baru, dan Australia.
Pertemuan PIF kali ini
menarik perhatian kita karena masalah Papua ditetapkan sebagai salah satu
dari lima agenda utama pembahasan. Indonesia tak terlibat dan dilibatkan
dalam pembahasan masalah Papua karena bukan anggota PIF.
Masalah regional
Para pemimpin negara
di Pasifik mendiskusikan isu Papua dan mengambil keputusan membantu penyelesaian
masalah Papua. Dalam komunike PIF 2015, diungkapkan bahwa mereka mengakui dan
menghormati kedaulatan Indonesia atas Papua, tetapi sekaligus menyatakan
keprihatinan atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Mereka
selanjutnya menugasi PM PNG berkonsultasi dengan Indonesia tentang
pembentukan tim pencari fakta (TPF) yang melibatkan berbagai pihak untuk
meninjau situasi HAM di Papua.
Mendahului pertemuan
PIF, semua lembaga swadaya masyarakat (LSM) di kawasan Pasifik yang tergabung
dalam Pacific Islands Association of
Non-Governmental Organizations membahas secara khusus tentang situasi HAM
di Papua. Mereka memandang orang Papua sebagai sesama orang Pasifik dan
karena itu masalah Papua dipandang sebagai masalah mereka juga. Mereka
memperlihatkan solidaritas dengan mengangkat masalah Papua dalam forum
regional dan menyampaikan keprihatinan dan pandangan tentang situasi HAM di
Papua kepada tiga pemimpin PIF, yakni pemimpin PIF tahun 2014, 2015, dan
2016.
Masalah Papua masuk ke
PIF melalui Melanesian Spearhead Group
(MSG), sebuah kelompok subregional negara-negara di Pasifik Selatan yang
beranggotakan PNG, Kepulauan Solomon, Fiji, Vanuatu, dan masyarakat Kanaky di
Kaledonia Baru. Dalam pertemuan puncak MSG di Honiara, Kepulauan Solomon,
Juni 2015, para pemimpin negara anggota MSG menerima Papua—melalui Persatuan
Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (United
Liberation Movement for West Papua/ULMWP)—sebagai anggota pengamat di
MSG. Posisi baru ini mempermudah ULMWP membawa masalah Papua ke semua negara
di Pasifik. Ditambah lagi, dengan dukungan penuh dari beberapa pimpinan
negara, dalam waktu dua bulan sejak diterima sebagai pengamat MSG, masalah
Papua mendapat perhatian yang luar biasa di seluruh kawasan Pasifik.
Pembahasan masalah
Papua di PIF memperlihatkan terjadinya peningkatan isu Papua di Pasifik.
Selama ini, masalah Papua biasa dipandang sebagai urusan domestik Indonesia
dan karena itu pemerintah sebagai pihak utama yang bertanggung jawab berupaya
menyelesaikan masalah Papua. Selain itu,tidak pernah ada pemerintah asing
yang mengutak-atik konflik Papua di forum regional dan internasional.
Akan tetapi, pada
2015, ketika Indonesia merayakan 70 tahun kemerdekaan dan Papua merayakan 52
tahun integrasinya ke Republik Indonesia, terjadi perubahan saat masalah
Papua meningkat dari urusan internal Indonesia menjadi isu regional Pasifik.
Oleh karena itu, baik pegiat LSM maupun para pemimpin negara-negara anggota
PIF menyuarakan pentingnya penyelesaian masalah Papua secara damai. Karena
sudah jadi masalah regional Pasifik, Papua kini berada di bawah radar PIF.
Isu HAM
Jika menganalisis
hasil pembahasan PIF, sebagaimana yang tertera dalam pernyataan akhirnya,
semua negara Pasifik secara jelas menghormati dan mengakui kedaulatan
Indonesia atas Papua.Perhatian para pemimpin negara anggota PIF terfokus dan
tertuju hanya pada situasi HAM di tanah Papua. Mereka mendapatkan informasi
soal pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat terutama melalui media
sosial. Berita-berita dan gambar-gambar tentang pelanggaran HAM yang
disebarluaskan melalui media sosial terbukti berhasil memengaruhi opini
publik masyarakat dan para pemimpin negara di Pasifik.
Tampak bahwa pada isu
HAM Papua para pemimpin negara anggota PIF, termasuk negara-negara yang biasa
berpihak kepada Indonesia, bersatu pandangan untuk membahasnya dalam forum
regional. Mereka bahkan bersepakat membentuk TPF HAM Papua apabila disetujui
Pemerintah Indonesia.
Isu HAM Papua dapat
dibahas dalam berbagai forum regional dan internasional. Oleh sebab itu,
pemerintah perlu mencegah peningkatan masalah Papua menjadi isu internasional
dengan menjadikan isu pelanggaran HAM sebagai masalah internal. Untuk itu,
pemerintah perlu menunjuk satu pejabat tinggi, minimal setingkat menteri,
untuk menangani penyelesaian masalah Papua melalui jalan dialog. Dia dibantu
oleh satu tim yang terdiri dari tiga orang non-Papua, tetapi dipercaya oleh
orang Papua, untuk mempersiapkan dialog damai menuju rekonsiliasi. Dengan
demikian, isu pelanggaran HAM dapat diselesaikan tanpa campur tangan pihak
asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar