Orasi Sastra - Kesaksian Personal
Darman Moenir ; Sastrawan
|
HALUAN,
27, 28, 29, 31 Agustus 2015
SAYA berbahagia berpidato
sastra yang bersifat personal pada hari ini, Sabtu, 22 Agustus 2015. Betapa
lagi pidato ini harus dimulai dengan menyebut halaman Remaja Minggu Ini (RMI)
Harian Haluan yang berawal pada 1976 dan berakhir
1999. Ruang ini jadi persemaian kelahiran sastrawan dari Sumatera Tengah
penggal kedua abad lampau. Pula, masa-masa itu mendatangkan kenangan tersendiri,
sesudah dinamika Grup Krikil Tajam yang saya pimpin pada 1973,
berakhir. Sebelum RMI eksis, sudah ada halaman Budaya Minggu Ini (BMI) tiap
Selasa.
Izinkan saya menjelaskan, Haluan adalah salah satu surat kabar tertua
di Indonesia, didirikan oleh H. Kasoema bersama Adaham Hasibuan dan Amarullah
Ombak Lubis. Menurut Wikipedia, Ensiklopedia bebas, edisi perdana Haluan terbit pada 1 Mei 1948 di
Bukittinggi. Selama dan sehabis pergolakan PRRI, April 1958 sampai Mei 1969,
surat kabar ini berhenti terbit. Pada bulan Mei 1969 Haluan kembali beredar. Tercatat wartawan
yang mengawaki Haluan, antara
lain, H. Kasoema, Rivai Marlaut, Chairul Harun, M. Joesfik Helmy, Sjafri
Segeh, Annas Lubuk, A. Pasni Sata, Rusli Marzuki Saria, Basri Segeh, Sy.
Datuk Tuo. Pada generasi berikut muncul nama-nama Benny Aziz, Nasrul Djalal,
Sjukril Sjukur, Azurlis Habib, Ersi Rusli, Darman Moenir, Masri Marjan,
Wall Paragoan, Yalvema Miaz, Herman L., Mufthi Syarfie.
Sejak 1 November 2010, Haluan berada di bawah kendali pemodal
baru, H. Basrizal Koto. Pada masa awal manajemen baru bertindak jadi
Pemimpin Umum H. Basrizal Koto, Wakil Pemimpin Umum Zul Effendi, Pemimpin Redaksi
Yon Erizon, Kepala Litbang Eko Yanche Edrie. Di masa ini Nasrul Azwar pernah
menjadi Redaktur Seni Budaya, berbuat profesional. Untuk satu kata yang
meragukan pun Mak Naih, demikian panggilan akrab Nasrul Azwar, menghbungi
penulis naskah. Ikut jadi redaktur Ismet Fanany, Rusdi Bais, Hendra Dupa. Kini
(2015) Pemimpin Umum/Penanggungjawab Zul Effendi dengan Pemimpin Redaksi Yon
Erizon.
Pada 1976, di tahun “RMI “
bermula, saya belum setahun bergabung di Haluan. Pada 18
Mei 1975 saya menikahi kekasih, Darhana Bakar (hadir pada acara ini, dan ke
mana-mana kami sering berdua), dan saya meninggalkan “pekerjaan” guru bahasa
Inggris di RP INS Kayu Tanam. Di INS, saya diajak A.A. Navis yang tahu saya
menyelesaikan tingkat sarjana muda jurusan bahasa Inggris di ABA Prayoga
Padang. Istri saya setuju saya bekerja di Haluan. Dan Pak
Kasoema mau mengajak saya dengan alasan, saya, lapeh
makan, bisa berbahasa Inggris, dan saya tamat Sekolah Seni Rupa
Indonesia (SSRI) Negeri Padang. Mungkin saya dianggap tahu tata wajah surat
kabar?
Pada tahun 1975 itu, Haluan mulai menggunakan cetak web
offset tetapi huruf
masih ketik timah. Pak A. Hamid, Pemimpin Perusahaan, minta saya merancang
logo. Merujuk logo terdahulu, saya ajukan tiga. Satu diterima, dan itulah
logo Haluan, persis,
terpakai sampai kini. Ketika Basrizal Koto membeli Haluan,
saya diajak rapat awal oleh Hasril Chaniago yang ikut membidani. Usul saya
untuk moto Haluan, Mencerdaskan
Kehidupan Masyarakat, diterima dan terpakai.
Kerja rutin-awal saya di Haluan adalah korektor, pembetul ketikan. Haluan pada waktu itu terbit delapan
halaman. Kerabat kerja saya adalah Djasmani, Daswir Wahiduddin, Masri Marjan
(kelak jadi wartawan andal, pernah jadi Ketua PWI Sumatera Barat), Mufthi
Syarfie (kini komisioner KPU Sumatera Barat), Aldjufri Sjahruddin (dosen
UNP), Armansjah Nizar (terkenal dengan sebutan Mangkutak), Uzmil Argan,
Indra Merdy (kelak jadi redaktur).
Sebagai korektor, tentu
saja kami bukan saja membaca tetapi bahkan memeriksa semua naskah yang diset sehingga, dengan demikian, saya
tahu naskah-naskah yang disiapkan untuk RMI dan BMI oleh Redaktur Budaya
Rusli Marzuki Saria (RMS). Biarpun beberapa tahun sebelum itu secara
pribadi saya sudah mengenal Papa RMS, tetapi saya tidak mau mengusik naskah
(sering disebut kopai, copy, maksudnya
kopi) yang disiapkan dengan sungguh-sungguh, terencana, dan selektif.
Otonomi dan karisma RMS sangat kuat, jujur, terpuji, tahan banting. Untuk
Minggu, sudah ada sebundel naskah di ruang mesin cetak timah pada hari Kamis.
Untuk Selasa, naskah disiapkan dan mulai diketik Sabtu.
Ada puisi, cerpen,
esai, kritik, dan vignet (ilustrasi). Seleksi dilakukan sendiri oleh RMS.
Naskah masuk tiap hari, via pos atau diantar sendiri. Dan itu dikerjakan RMS
selama 30 tahun lebih.
Sebagai korektor, dan
sekali-sekali menulis berita, saya juga menyerahkan naskah sastra dan
terjemahan sastra ke RMS tetapi untuk BMI. Saya pernah “antrean” dua tahun
sebelum sajak-sajak saya dimuat, antara lain, Shelly
Kecil yang saya
terakan di bagian awal novel Bako (BP, Cetak Pertama 1983). Shelly
Kecil kemudian menang
Sayembara Menulis Puisi IKIP dan, 1973, dimuat di majalah sastra paling
bergengsi, pada masa itu, Horison. Beberapa
bulan sebelum pemuatan, sebagai salah seorang redaktur, Sapardi Djoko
Damono menyurati saya, bahwa sajak-sajak saya lolos seleksi, dan (akan)
dimuat Horison. Dan Shelly
Kecil mengantarkan
saya ke Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974 di TIM Jakarta. “Sajak DM sudah
ada di Horison,” ujar
Navis memberi alasan mengapa saya dan belasan sastrawan dari Sumatera
Barat diajak ke pertemuan itu. Semua biaya transportasi dan uang saku
dicarikan dan disediakan Bang Navis. Itulah pertama kali saya melihat
Monumen Nasional pada malam hari. Menakjubkan! Dan di pertemuan itulah
saya, malu-malu, berjabat tangan dengan W.S. Rendra, Ramadhan K.H., Slamet
Sukirnanto, Darmanto Jatman, Aspar Paturusi, dan mengintip tempat tinggal
Taufiq Ismail, di mes, sebelah Wisma Seni (sekarang sudah tidak ada) di kompleks
TIM. Pada pertemuan itu pula saya berkenalan dengan orang-orang seusia:
Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A.G., Yudhistira
Ardinoegraha, Adri Damardjo Woko, dan Ebiet G. Ade. Dan puluhan yang lain.
Ke rumah kontrakan RMS di
Koto Marapak, Ko-ta Padang, saya beberapa kali bertamu, sehingga saya mengenal
istri RMS dan anak-anak yang masih kecil-kecil. Ke sana saya belajar dan
berdiskusi sastra, meminjam buku-buku sastra penting dan bundel majalah Horison (semua pinjaman kemudian saya
kembalikan). Di tempat-tinggal RMS pula saya jumpa dan berkenalan dengan
Navis yang, antara lain, mengusul agar saya banyak membaca, membentuk grup,
dan menyatakan, kalau ingin jadi penulis jangan kaung,
jangan menyiarkan karya di Padang ke di Padang saja. “Kalau perlu,” jelas
Navis, “jual nama saya.”
Imbauan Bang Navis memang
saya lakukan, dan pada 1971, sebuah cerpen saya dimuat Indonesia
Raya dengan Pemred
Mochtar Lubis. Cerpen saya berjudul Nasib, tetapi
oleh redaktur diubah jadi Gantungan sudah Putus.
Lima belas hari kemudian, nomor bukti pemuatan dan wesel honorarium
berjumlah besar sampai ke alamat kos saya. Pada 1970, setahun sebelum itu,
dalam usia 18 tahun, cerpen saya bertajuk Senja Penentuan dimuat Haluan dengan Redaktur Minggu M. Joesfik
Helmy.
Mengetahui ada cerpen saya
dimuat di Indonesia Raya,
wartawan junior Masri Marjan mewawancarai saya, dan memuat hasil wawancara
itu di majalah hiburan, Selecta, 1972.
Menjawab pertanyaan apa keinginan saya, kepada MM saya jelaskan: semoga
Hadiah Nobel Sastra jatuh ke tangan sastrawan Indonesia. Dan sungguh-sungguh
pemikiran itu bersarang di benak saya setelah membaca sejumlah buku sastra
bermutu, termasuk yang dipinjamkan RMS.
Ajakan Navis agar saya
membentuk Grup Studi Sastra saya tunaikan, ya, dengan Krikil
Tajam itu. Bersama
A. Chaniago Hr., Asnelly Luthan, Harris Effendi Thahar, R. Lubis Zamaksjari,
Sjahida Siddiq, Sjaiful Usmar, Zulfikar Said, Yalvema Miaz, Susianna
Darmawi, Bakhtaruddin Nasution, Sjaiful Bachri, Tabah R. Rawisati, dan
satu-dua nama lain yang luput dari catatan saya. Tiap hari Minggu, hampir
setahun, kami benar-benar studi sastra secara komprehensif, mendalam. Paling
mengesankan, grup itu mendapat atensi besar bukan saja dari Navis dan RMS
tetapi juga dari Mursal Esten, Chairul Harun, Nasrul Siddik, Roestam Anwar,
Zaidin Bakry, Bhr. Tandjoeng, Muslim Ilyas, M.S. Sukma Djaja, A. Pasni Sata,
Wisran Hadi, Upita Agustine, M. Joesfik Helmy, Shofwan Karim Elha, Zaili
Asril, Emma Yohanna, Bagindo Fahmy, Ridwan Isa, Makmur Hendrik, Yanuar
Abdullah, Benny Azis, Sjukril Sjukur, Nasrul Djalal, Anas Kasim, Sabaruddin
Abbas, Satni Eka Putra, Uzmil Argan, Alwi Karmena, Asril Joni, Zainul Basri,
A. Karim (yang suka mengajukan pertanyaan: ke mana kesusastraan Indonesia
diarahkan?). Kepada mereka saya berutang besar.
Puncak kegiatan Krikil
Tajam adalah “Malam
Apresiasi Sastra” yang diselenggarakan di Taman Melati pada 22 Desember
1973. Mengurus penyelenggaraan acara, Asnelly Luthan dan saya diinterogasi
Laksus Pangkopkamtibda selama 48 jam, siang-malam. Semua sajak yang akan
dibacakan disensor, di(per)tanyakan. Semua data pribadi, foto-diri dari pelbagai
arah, sidik-jari, siapa induak-bako,
siapa sahabat kental, direkam. Pak Mayor Kahfi dan Pak Mayor Hendro bersama
anggota mereka, yang menginterogasi, berlaku simpatik, bahkan membasai
rokok bermerek. Dan acara “Malam Apresiasi Sastra” yang berlangsung di
bawah cahaya andang dan tidak boleh liwat dari pukul 23.00 WIB itu dihadiri
lebih banyak oleh intel dan aparat bersenjata lengkap. Sehari sesudah peristiwa,
iven itu jadi berita. Haluan keluar dengan pojok Dr. Ronda:
semoga dari daerah ini lahir Rendra-Rendra baru. Indonesia
Raya dan BBC London memberitakan sehingga
kabar itu menasional dan mendunia. Tidak ada kaitan sama sekali,
sebulan kemudian di Jakarta memang meledak Peristiwa Malari 1974 dengan
aktor utama Hariman Siregar.
***
DENGAN “pengalaman”
sastra seperti itu, saya kian tertarik dengan kehadiran “RMI 1976” namun,
kesibukan rutin saya yang tidak bisa diundur-undur dengan pekerjaan menjadi
korektor tidak memungkinkan saya bertemu dan berdiskusi banyak dengan para
penulis pemula yang datang silih-berganti. (Hujan lebat, petir dan kilat
membahana, puting beliung, ombak menggulung besar di Pantai Puruih, tidak
boleh menghalangi kami untuk hadir di ruang koreksi.)
Membaca pruf dan teks dalam
bentuk koran halaman budaya saya lakukan setiap terbit. Saya baca sajak-sajak
itu, cerpen-cerpen itu, esai-esai itu, dan kritik-kritik itu. Kegemaran
membaca ini saya pelihara sampai sekarang.
Tiap pagi, sampai hari
ini, selain buku-buku (usang dan baru), saya rutin membaca empat harian yang
terbit di Padang (sesuai abjad: Haluan, Padang Ekspres, Pos
Metro Padang, Singgalang), satu dari Jakarta (Kompas), satu
majalah berita mingguan setiap pekan, dan satu majalah sastra setiap bulan.
Di era internet, saya menyigi ruang-ruang budaya banyak koran, termasuk The
New York Times. Dulu, saya pernah berlangganan The
Jakarta Post, Newsweek, dan membaca The
Archipel Journal. Saya membaca Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, pada suatu
hari, mulai pukul 10.00 pagi, dan selesai pukul 02.00, dinihari. Tidak sebulan
sesudah itu, Bumi Manusiadilarang
beredar. Saya membaca, membaca, membaca, menjaring makna. Pernah saya
melanggani beberapa surat kabar khusus edisi hari Minggu saja, yang menyediakan
halaman budaya atau ruang sastra, terutama yang terbit di Jakarta.
Syukur, sekarang, kita
merdeka, termasuk merdeka untuk membaca. Lebih awal, saya terpesona dan
kagum, setiap jumpa Chairul Harun, saya selalu menampak di tangannya ada
beberapa eksempelar koran dan buku. Bang Chairul mungkin ogah membawa Echolac
atau tas seminar. Tetapi saya berkesimpulan, dia pembaca (buku-buku dan
surat kabar) berat. Di Manila, saya pernah diajak Pak Mochtar Lubis bertamu
ke rumah seorang Guru Besar untuk mendapatkan goreang
talua bulek balado. (Lidah Padang begok saya tidak berterima menu makan
manis-manis, bergizi dan berkalori tinggi, bertarat internasional itu.) Semua
dinding lantai dasar dan lantai satu rumah besar itu penuh (rak) buku. Saya
pun terpana menyaksikan orang asing, di ruang tunggu bandar udara, di waktu
istirahat di kampus, selalu membaca, membaca dan membaca buku. Ke
mana-mana, dalam tas mereka, ada buku bacaan. (Kini, tentu saja, banyak orang
punya telepon genggam, dan dengan gawai, berselancar di dunia maya. Mereka
juga membaca?)
Dan saya berusaha benar
menjaga hubungan baik, silaturahmi, dengan para senior, sahabat seangkatan,
dan yang berusia lebih muda. Untuk menyebut beberapa, biarpun acap kena sarengeh,
saya relatif dekat dengan suhu A.A. Navis, Rusli Marzuki Saria, Wisran Hadi,
Mursal Esten, Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul
Hadi W.M., Danarto, Hamsad Rangkuti, Leon Agusta, Ibrahim Sattah, Idrus
Tintin, Zainuddin Tamir Koto (Zatako), Damiri Mahmud, A. Rahim Qahhar,
Husni Djamaluddin, bahkan juga Ismail Hussein di Malaysia, Djamal Tukimin di
Singapura, Fransisco Sionil Jose di Filipina. Tentu saja saya pernah
berdiskusi dengan Umar Kayam, Umar Junus, Goenawan Mohamad, Budi Darma,
Toeti Heraty Noerhadi, Ikranagara, Radhar Panca Dahana, Nirwan Arsuka,
Nirwan Dewanto, Afrizal Malna, Taufik Ikram Jamil, Adek Alwi, Isbedy Stiawan
Z.S. Ke Jakarta, saya menyempatkan diri singgah ke Jalan Bonang 17, atau ke
kantor Yayasan Obor di Jalan Plaju, untuk berjumpa dengan Pak Mochtar Lubis.
Ketika ke Padang, Mochtar Lubis bahkan mampir ke Jalan Pasaman II/170,
Kompleks Pe-rumnas Siteba, Kelurahan Surau Gadang, Nanggalo, tempat tinggal
saya. Istri saya menjamu Mochtar Lubis dengan teh manis, dan tumbang
ubi bakarambie. Sering Pak Mochtar Lubis mengingatkan, bahwa
penulis itu harus berani, jujur menyampaikan kebenaran dan tidak
menggadaikan apalagi menjual (harga) diri. Tidak lupa pengarang Harimau
Harimau itu
memberi saya buku. Mochtar Lubis bahkan minta saya menerjemahkan novel The
Moonson Country, nominator penerima Hadiah Nobel Sastra, oleh
Pira Sudham dari Thailand. Novel itu saya terjemahkan dengan judul Negeri
Hujan, dan diterbitkan Yayasan Obor (Jakarta, 1999). Penyuntingan
terhadap terjemahan saya langsung dikerjakan Mochtar Lubis.
Dari mereka dan pembacaan
sejumlah buku kemudian saya menerima pemahaman dan pencerahan, bahwa
untuk berbuat kreatif, sekali lagi, berbuat kreatif, di bidang sastra itu
memerlukan kerja keras, bersungguh-sungguh, berpeluh, mati-matian, tidak
mengenal lelah, banyak membaca dan berupaya memaknai kehidupan. Menemukan
sesuatu yang baru, itulah ujud konkret kreativitas. Mengulang apa yang sudah
dikerjakan M. Yamin, Amir Hamzah, Chairil Anwar atau Marah Roesli, Abdoel
Moeis, Armijn Pane, Hamka, Iwan Simatupang, dan seurut sastrawan besar
dan penting lain jadi sia-sia. Betapa lagi saya sempat membaca beberapa
karya Boris Pasternak, Yukio Mishima, Ernest Hemingway.
Konsep dan tesis penting
dan mendasar ini pula yang sepuluh tahun belakangan saya sampaikan kepada
puluhan bahkan ratusan siswa, mahasiswa dan guru-guru bahasa Indonesia
se-Sumatera Barat yang saya dampingi ketika mereka mengikuti Program
Pelatihan Menulis (Puisi, Cerpen, Novel, Esai) yang ditaja Balai Bahasa
Provinsi Sumatera Barat di berbagai kampus dan sekolah, dan Rumah Puisi
Taufiq Ismail di Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar. Pendamping lain adalah
Taufiq Ismail, Wisran Hadi, Rusli Marzuki Saria, Upita Agustine, Gus tf
Sakai, Harris Effendi Thahar, Maman S. Mahayana, Jamal D. Rahman, Joni
Ariadinata, Iman Soleh, Yusrizal K.W., Abdullah Khusairi, Zelfeni Wimra,
Endut Ahadiat, Muhammad Ibrahim Ilyas, S. Metron Masdison, Syuhendri.
Di masa jadi korektor itu
saya gamang apakah saya akan mampu menulis karya yang bagus? Kemudian saya
juga sempat menyimak Albert Camus, Penerima Hadiah Nobel Sastra 1957:
“Setiap orang, dengan alasan yang kuat, setiap seniman, sastrawan, ingin diakui.”
Lalu, apa kelak saya bisa diakui, diterima, dalam blantika sastra? Untuk
itu, saya membatin, bahwa saya harus melahirkan karya bermutu, betapa pun
relatif dan atau absurd ukuran bermutu itu! Saya memang
tergila-gila sesudah membaca dan membaca ulang kehebatan pantun, soneta,
sajak-sajak modern Indonesia, Salah Asuhan, Azab dan
Sengsara, Siti Nurbaya, Merantau ke Deli, Belenggu, Senja di Jakarta,
Merahnya Merah, Godlob, ratusan bahkan ribuan puisi dan cerita
pendek.
Di masa jadi korektor, di
zaman BMI dan RMI itulah, saya menulis novel Gumam yang entah mengapa, berani-berani
saja saya menyertakan ke Sayembara Penulis Roman DKJ 1976. Ternyata ada 43
naskah roman yang menyertai, dan Gumam termasuk naskah (novel) yang layak
diterbitkan sebagai bacaan biasa. Tujuh naskah lain yang direkomendasi
adalah Mata-mata (Suparto Brata), Di
Atasnya Pepuingan (Tri
Rahayu Prihatmi), Jatuhnya Benteng Batu Putih (Mohayus Abukomar), Maryati
dan Kawan-kawannya (Suwarsih
Djojopuspito), Keok (Putu Wijaya), Jembatan (Ediruslan Pe Amanriza) dan Warisan (Chairul Harun). Pada Sayembara 1976
itu tidak ada Juara I. Juara II diraih Upacara oleh Korrie Layun Rampan dan Juara
III Pembayaran oleh
Kowil Daeng Nyonri (Sinansari ecip, yang kelak juga saya kenal baik). Dewan
Juri: H.B. Jassin, Ali Audah, Mh. Rustandi Kartakusuma, Dodong Djiwapradja,
dan M. Saleh Saad.
Gumam benar-benar melecut
saya. Saya siasati dan pelajari lagi novel-novel bermutu, yang selalu dibicarakan,
didiskusikan, dianggap terbaik. Empat tahun kemudian, 1980, saya kembali
ikut Sayembara Penulisan Naskah Roman DKJ. Selama tiga tahun saya menulis Bako yang pada awalnya hendak saya beri
judul Mendiang atauSilsilah. Pengerjaan Bako benar-benar berpeluh, lima kali
ketik ulang, dengan mesin ketik biasa. Paling akhir, harus pakai lima lembar
kertas karbon setiap kali mengetik rangkap enam. Dan pengetikan harus
diulang total dari baris pertama di halaman yang sama bila terjadi salah
ketik di baris ke duapuluh. Salah ketik saja bisa diakali, bisa dihapus.
Tetapi, celaka, ada kata yang tertinggal, atau ada frasa yang harus ditambahkan!
Mana ada tip eks, mana ada laptop pada tahun itu. Betul-betul kerja keras!
Sekarang? Menyunting naskah alangkah mudah. Dari halaman tujuh bisa langsung
berpindah ke halaman tujuh puluh.
Dan, alhamdulillah,
luar biasa. Bako dinyatakan menjadi satu di antara
Tiga Pemenang Utama. Disusun menurut abjad, Tiga Pemenang Utama itu adalah Bako (Darman Moenir, Padang), Harapan
Hadiah Harapan (Nasjah
Djamin, Yogyakarta), Olenka (Budi Darma, Surabaya). Ada lima
Pemenang Harapan: Den Bagus (Sudarmoko, Surabaya), Dicari
Hari yang Cerah (E.
Nohbi, Jakarta), Ketika Lampu Berwarna Merah (Hamsad Rangkuti, Jakarta), Merdeka (Putu Wijaya, Jakarta), dan Panggil
Aku Sakai(Ediruslan Pe Amanriza, Pekanbaru). Naskah masuk
25, hanya 23 yang memenuhi syarat. Dewan Juri: Ali Audah, Sapardi Djoko
Damono, Dami N. Toda, Toeti Heraty Noerhadi.
Merayakan kemenangan Bako,
A.A. Navis menjamu saya dan keluarga makan bersama di sebuah rumah makan
terkenal “Serba Nikmat” di Kota Padang. Jamuan itu dihadiri oleh Gubernur
Sumatera Barat, Walikota Padang, beberapa Guru Besar, sastrawan, budayawan,
dan seniman terkemuka, berjumlah sekitar 40 orang. Semasa Navis hidup,
tradisi merayakan kemenangan itu berlanjut.
Ajip Rosidi dari PT Pustaka
Jaya menyurat, penerbit yang dia pimpin dan asuh sedia menerbitkan Bako.
Saya terlambung! Pustaka Jaya mau menerbitkan?! Tetapi ada syarat, kalau
boleh, judul diubah: Keluarga Ayah atau apa. Saya galau. Bukankah saya
sama sekali belum punya naskah sastra yang terbit menjadi buku? Tiba-tiba ada
tawaran luar biasa. Namun, setelah saya pikir, judul tidak usah diubah, dan
biarlah Bako belum terbit. Pada hemat saya, pada
diksi bako ada sistem dan sekaligus kebaruan.
Pada akhirnya tawaran untuk menerbitkan Bako itu datang dari PN Balai Pustaka. Dengan acc Redaktur Sastra Soetjipto, Soebagio
Sastrowardojo, Abdul Hadi W.M., dan Hamid Jabbar, saya menanda-tangani
kontrak penerbitan dengan BP. Para redaktur menjelaskan, di sana-sini
ada penyuntingan, dan saya setuju. Dari sinilah saya tahu dan kemudian
belajar banyak teknik penyuntingan naskah. Pada cetak pertama, Bako terbit 5.000 eksemplar, dan saya
menerima wesel royalti penerbitan. Biarpun tidak banyak, alangkah enak memberi
makan bini dan anak-anak dengan honor karya sastra. Syukran. Sampai 2013, Bako sudah tujuh kali dicetak BP
(termasuk dua kali untuk naskah elektronik). Pada akhir 2012, Dewan Kesenian
Jakarta pun melakukan digitalisasi terhadap Bako.
|
***
BAKO mengantarkan saya
ke mana-mana di Indonesia, di Asean, bahkan
ke International
Writing Program di
Iowa City, Amerika Serikat, 1988. Di kantor Kedutaan Besar AS di Merdeka
Selatan, Jakarta, saya mengetahui, bahwa ke IWP saya ternyata direkomendasi
oleh Wisran Hadi, Taufiq Ismail, Satyagraha Hoerip, Sutardji Calzoum Bachri,
Abdul Hadi W.M., Mochtar Lubis, Peggy R. Sunday.
Rekomendasi Taufiq Ismail
dan Mas Oyik (sapaan akrab Satyagraha Hoerip) sangat didengar oleh USIS dan
IWP. Sebelum berangkat ke AS, saya menerima “materi” berharga dari Goenawan
Mohamad dan Ikranagara untuk, kalau-kalau, PEN Club New York bertanya mengapa
buku-buku Pramoedya Ananta Toer (pada masa itu) dilarang beredar di Indonesia.
Diskusi tentang Pram memang
berlangsung di New York. Di AS, peserta diajak keliling ke 13 Negara Bagian,
Pantai Timur, Pantai Barat, dan Amerika Tengah, Sante Fee. Sungguh-sungguh,
sepuluh tahun sebelum itu, 1978, Wisran Hadi yang sedang mengikuti IWP
menyurati saya, dan menyuruh saya membeli koper dan baju panas untuk juga
terbang ke AS. Mungkin WH melucu, atau melagak, entahlah, tetapi itu memang
terjadi: saya ke AS, diundang sebagai seorang sastrawan Indonesia. Kecuali untuk
fiskal, tidak serupiah pun saya menggunakan uang dari Sawah Tangah,
kampung-halaman saya. Dan sepulang saya dari AS, dengan sedikit gegar budaya,
istri saya bertanya: apa rumah kita bisa direhabilitasi?
Melalui Bako pula saya berkenalan dengan beberapa
calon sarjana S1, S2, S3 di pelbagai perguruan tinggi di Indonesia dan
luarnegeri. Mereka bertanya tentang dan mengenai (novel) Bako.
Bahkan dari Universitas Udaya, Bali, saya menerima pertanyaan yang semua dimulai
dengan kata apa, siapa, mengapa, bilamana dan bagaimana. Apabila
semua pertanyaan itu saya jawab, maka sebuah skripsi pun rampung.
Kembali ke RMI, saya masih
mengikuti biarpun mungkin tidak secermat dulu. Sesungguhnya saya pernah diminta
untuk memberi ulasan (terutama sajak dan cerpen), tetapi saya khawatir
tidak mampu menjaga kesinambungan. Padahal inilah yang pernah ditawarkan
Abrar Yusra ketika kami sama bermarkas, sama mengajar, di RP INS Kayu Tanam.
Menurut Abrar Yusra, saya suka membaca dan punya potensi untuk menulis
kritik sastra. Pula, biarpun (pada masa itu) ada H.B. Jassin, M.S. Hutagalung,
S. Boen Oemarjati, Mursal Esten, Lukman Ali, Rustandi Kartakusuma, tetapi
kritikus sastra Indonesia masih sangat sedikit. Pendapat Abrar Yusra menarik
perhatian, dan saya berbicara dan mengulas sajak-sajak Rusli Marzuki Saria
dan Abrar Yusra dalam diskusi sastra di Pusat Kesenian Padang. Paling
menarik, kedua tulisan itu kemudian dimuatKompas (1975 dan 1976). Namun menulis kritik
sastra itu tidak selalu saya lanjutkan. Saya ingin menulis cipta sastra
kreatif. Namun, sungguh-sungguh, tidak mudah.
Biarpun demikian kritik
terhadap karya-karya sendiri senantiasa saya lakukan, sampai kini, dan entah
sampai kapan. Pengalaman dari Bako yang disunting Redaktur Sastra Balai
Pustaka mengajari saya untuk menyunting puisi, cerpen, novel, esai dan
tulisan sendiri, berkali-kali. Saya mengupayakan agar tulisan saya tidak
(perlu) disunting lagi. Itu terjadi pada novel-novel saya Dendang (BP, 1988, mengantarkan saya untuk
menerima Hadiah Sastra 1992 dari Pemerintah Republik Indnesia) dan Aku
Keluargaku Tetanggaku (BP,
1993, Meraih Hadiahn II Sayembara Novel Kartini 1986), Andika
Cahaya (Akar
Indonesia, 2012), dan novel-novel yang belum terbit, termasuk novel yang
terakhir, Paco-paco (2012). Novel-novel terbit itu tidak
mengalami penyuntingan, kecuali oleh saya sendiri. Satu tanda titik, tanda
koma, tanda seru, satu diksi, frasa, kalimat, satu alinea, bab, saya
perhitungkan dengan cermat. Judul! Ini yang tidak kalah penting, perlu dipertanggungjawabkan.
Jangan sebagai akibat rayuan pasar atau penerbit lalu pengarang mau saja
mengubah dan mengganti judul.
Paling mengesankan, ingin
saya sebut, adalah ketika Wiswan Hadi minta saya untuk membaca naskah novel Tamu pada 1992. Tidak sampai satu hari
satu malam, naskah itu (175 halaman kuarto satu setengah spasi)
rampung saya baca. Tetapi, celaka, hampir setiap alinea, setiap halaman,
setiap bab, nakah novel pertama Wisran Hadi itu saya corat-coret, dengan tinta
merah lagi. Itu memang kerja penyuntingan yang “ganas” tetapi bukan dengan
kemarahan. Guru dan sahabat saya itu tidak keberatan, bahkan berterima kasih,
dengan tambahan: ko ndak bahonor do, Man (ini tidak punya honor, Man). Saya
terpingkal. Tamu kemudian
dimuat bersambung di Republika, 1994)
dan diterbitkan Pustaka Utama Grafiti, 1996. Bahkan dinobatkan jadi buku
terbaik. Dan, kemudian, beberapa naskah Wisran Hadi (bukan lakon) saya
sunting. Terakhir saya menyunting novel Persiden Wisran Hadi (Unggulan Lomba Roman
DKJ 2010, diterbitkan Bentang, 2013).
Penyutingan saya lakukan
terhadap sejumlah naskah buku dari Singgalang melalui Khairul Jasmi dan dari Zaili
Asril (lebih-kurang 800 halaman) yang mengimbali dengan honorarium relatif
memadai. Saya tidak meminta, tetapi doa untuk menolak rezeki memang belum
diayatkan. Saya pun menyunting naskah-naskah buku yang ditulis oleh Buya
Bagindo Leter, novel Nelson Alwi, naskah tulisan Sjamsir Roust, cerita rakyat
Yulizal Yunus, dan secara lisan saya pernah berdiskusi dengan Syarifuddin
Arifin mengenai naskah kumpulan puisi Maling Kondang.
Dan saya pun, Mahabesar (ini ejaan yang baku) Allah SWT, saya diajak oleh
Kementerian Agama RI bekerja sama dengan IAIN Imam Bonjol Padang, 2012-2014,
untuk memvalidasi terjemahan Kitab Suci Alquran dari bahasa Indonesia ke
bahasa Minangkabau.
Ada bahkan banyak naskah
yang tidak sempat saya baca dan sunting. Selain waktu yang terbatas, saya
beranggapan, naskah-naskah itu lebih baik disunting oleh orang lain. Saya
bukan menganggap, naskah-naskah itu populer atau bagaimana.
Terakhir, Juli
2015, Eddy Pranata PNP minta saya untuk memberi catatan sampul belakang
terhadap kumpulan puisi Bila Jasadku Kaumasukkan ke
Liang Kubur (Shell
Jagat Tempurung, 2015). Saya minta semua puisi, hampir lima ratus (judul),
dikirim dan saya baca sebelum saya putuskan memberikan testimoni, endorsement,
atau apa pun namanya. Sesungguhnya saya termasuk orang yang tidak suka
penggunaan catatan kulit belakang. Saya percaya, naskah yang baik, puisi yang
bagus, novel bermutu, berbicara langsung dengan para pembaca, tanpa
perantara. Tanpa pengakuan saya, Eddy Pranata PNP sah jadi penyair.
Dan tulisan-tulisan saya
untuk surat kabar dan majalah rata-rata lolos sensor, tanpa penyuntingan.
Namun bukan tidak pernah, terjadi penyuntingan dan mendatangkan kelucuan.
Saya menulis diksi melesat, sebagai
contoh, tetapi oleh redaktur diubah menjadi meleset. Andai
hendak mengubah, mengapa tidak bertanya melalui surat-e atau melalui pesan
singkat. Itulah yang saya apresiasi pada Nasrul Azwar ketika masih jadir
Redaktur Seni Budaya Haluan: hanya
untuk satu kata, dia mau dan tidak malu bertanya. Dan ada pula naskah “bagus”
yang saya kirim ke surat kabar Padang tetapi, tanpa kabar berita, tulisan itu
tidak dimuat. Tetapi saya terlambung setelah artikel itu dimuat Kompas,
tanpa perubahan satu titik koma pun. Pernah pula naskah saya kirim ke Horison,
ditolak. Tetapi naskah yang sama dimuat di Kalam.
Penggunaan kata ubah dalam berbahasa, sebagai contoh, yang
bila diimbuh menjadi mengubah, berubah,
perubahan, pengubahan, perlu diperhatikan secara saksama
sehingga tidak tersua lagi kata berobah, perobahan, pengobahan.
Akar kata ubah bukan rubah (nama binatang), robah (tidak ada pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Begitu pula untuk diksi meletakkan, bukan meletakan, mengontrakkan,
bukan mengontrakan.
Risalah “Di Bukittinggi kambing makan kelereng” atau “ke lereng” perlu dipahami.
“Salat boleh di langgar” (di sebagai kata depan) atau “dilanggar” (di sebagai
awalan) harus dikuasai secara jeli. Saya ingin mengatakan, setiap penulis
perlu khatam memakai EYD. Belum lagi dinamika bahasa yang melesat luar biasa
cepat. Fenomena kealpaan berbahasa secara baku, baik dan benar tersua hampir
di enam puluh buku sastra oleh pengarang-pengarang Sumatera Barat yang
terbit selama satu dasawarsa terakhir. Penggunaan judul, penyampaian alinea
pertama (cerpen atau novel), atau bait pertama (dari puisi) belum mengundang
minat untuk melanjutkan pembacaan. Padahal judul dan alinena pertama
(bait pertama) selalu punya magnit hebat agar karya itu dibaca sampai tamat.
Saya memaksakan diri untuk membaca sebagian besar buku itu tetapi melelahkan!
Penggunaan kredo puitika lisentia saja tidak cukup membela.
***
SAYA juga
memandang “aneh” sebagian para pengguna bahasa Indonesia pada akhir abad
lampau dan awal abad ini cenderung keinggris-inggrisan. Ini persis
meniru
gaya kearab-araban atau kebelanda-belandaan di zaman kolonial. Banyak sekali
papan nama, merek dagang, di Jakarta, dan juga mulai mewabah di Kota
Padang, menggunakan bahasa asing.
Di Taman Ismail Marzuki,
dalam forum resmi, saya melayani seorang sastrawati yang keinggris-inggiran
itu dengan benar-benar menanggapi pembicaraan dalam bahasa Inggris. Forum itu
ditaja dalam bahasa Indonesia. Terlihat si sastrawati gugup, muka dan telinga
memerah, dan diam, mungkin jengkel. Bagaimana nasib bahasa Indonesia apabila
sastrawan dan sastrawati sudah tigak lagi menghargai bahasa Indonesia?
Saya tidak mengerti mengapa
rumah sakit harus menggunakan diksi hospital seperti Semen Padang Hospital?
Keinggris-inggrisan? Ya, tetapi lucu dan fatal. Di RS Semen Padang, saya pernah
bertanya dengan bahasa Inggris yang standar dan sangat sopan kepada dua petugas
satpam? Malang sekali, mereka bengong, tidak mengerti pertanyaan saya. Ketika
pertanyaan yang sama saya ajukan kepada tiga resepsionis, mereka tersenyum dan
menjawab dalam bahasa Indonesia. Mereka mengerti, mungkin tidak mau melayani
saya yang sok Inggris. Pertanyaan sesungguhnya adalah,
apakah di RS itu semua orang harus menggunakan bahasa Inggris? Tidakkah
sebutan Rumah Sakit Semen Padang lebih akrab, membanggakan? Kalau ingin internasional
juga, dahulukan teks bahasa Indonesia, sehingga nama itu menjadi Rumah Sakit
Semen Padang – Semen Padang Hospital.
Banyak contoh lain. Pertanyaan
mendasar, kalau bukan anak-anak bangsa Indonesia, siapa lagi yang harus
merayakan penggunaan bahasa Indonesia? Bangsa Indonesia, bukan? Bagaimana
membayar utang generasi sekarang dan mendatang terhadap upaya hebat M. Yamin
dan kawan-kawan yang mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928? Bagaimana
kalau bahasa kebangsaan kita bahasa Jawa, atau satu di antara lebih daripada
500 bahasa daerah yang ada di Indonesia? Tidakkah terpikirkan, negara
tetangga Malaysia, Singapura, Filipina, masih sering berdegus dan berkonflik dalam urusan bahasa
nasional mereka?
Lebih daripada sekadar
penguasaan bahasa dan “penciptaan” bahasa, masalah sikap sastra, sikap
budaya, menjadi tidak terhindarkan. Saul Bellow (sastrawan Amerika Serikat
kelahiran Kanada, peraih Hadiah Nobel Sastra 1976), pernah menyatakan, bahwa
kehidupan itu penuh godaan. Mau menjadi penulis populer, oportunis, kagadang-gadangan,
atau apa?
“Untuk siapa Anda menulis?”
demikian pertanyaan dilontarkan kepada Nadine Gordimer, penulis terkemuka
Afrika Selatan, peraih hadiah Nobel Sastra 1991. Pertanyaan ini memiliki
banyak turunan: dari manakah karakter dalam fiksi muncul? Apakah penulis harus
berpijak pada realitas terdekat, berpihak pada keprihatinan yang dialami
bangsa, ikut serta menentukan arus perubahan kondisi sosial masyarakat? Apakah
penulis harus memiliki kesadaran politik atau revolusi?
Apakah karya dan cipta
sastra memang memiliki makna bagi masyarakat dan pembaca yang tengah mengalami
ketidakadilan, keprihatinan, penindasan, atau kesewenang-wenangan? Sumbangan
apa yang wajib diberikan sastrawan pada manusia?
Dalam pidato penyerahan
Hadiah Nobel Sastra 1991 di Stockholm, Writing and Being,
Nadine yang wafat dalam usia 90 tahun menegaskan pendirian, tugas seorang
penulis adalah menyuarakan pembelaan terhadap mereka yang tertindas di
bagian dunia mana pun. Hal itu tecermin dalam karya-karyanya.
“Kita bisa memiliki apa yang
kita inginkan,” ujar Gabriel García Márquez, peraih Hadiah Nobel Sastra 1982,
satu kali, “tetapi kita harus memperjuangkan agar bisa menikmati dengan layak.”
Kini, Gabo, demikian sastrawan asal Kolumbia ini akrab dipanggil, dicintai
banyak orang karya-karya besarnya dibaca dan dikenang, bukan hanya selama
seratus tahun, tetapi untuk selama-lamanya. (Terima kasih saya kepada Gus
tf Sakai yang mengirimi saya terjemahan novel Marquez Seratus
Tahun Kesunyian.)
“Mengapa Anda menulis?
Mengapa Anda memberikan waktu anda untuk aktivitas yang aneh dan tidak jelas
ini?” Orhan Pamuk, saat menerima Hadiah Nobel Sastra 2006, menjawab: “Ini
adalah pertanyaan yang paling sering ditanyakan sepanjang karir menulis saya.”
Pamuk sering memberikan jawaban berbeda ... Kadang sastrawan besar asal Turki
ini berkata: “Saya tidak tahu kenapa saya menulis, tetapi yang pasti itu
membuat saya merasa lebih baik. Saya harap Anda juga merasakan hal yang sama
ketika membaca karya saya. Kadang juga saya berkata bahwa saya merasa marah,
itulah, kenapa saya menulis. Dorongan untuk menulis, sebagian besar adalah karena
ingin menyendiri dalam ruangan.”
Dan seorang penulis besar
yang pernah dimiliki Rusia adalah Boris Leonidovich Pasternak. Karya novel
epik Pastenak sangat terkenal, Dr. Zhivago, menggambarkan
tragedi di seputar masa terakhir Kekaisaran Rusia dan hari-hari awal Uni
Soviet. Pada Oktober 1958, Pasternak dianugerahi Hadiah Nobel Sastra, “untuk
pencapaian pentingnya dalam puisi lirik kontemporer dan di bidang tradisi epik
Rusia.” Pemerintah Uni Soviet, yang sangat tidak senang dengan penggambaran
kehidupan yang keras di bawah komunisme, memaksa Pasternak menolak penghargaan
itu dan mengeluarkan Pasternak dari Persatuan Penulis Uni Soviet. Walaupun
tidak dikirim ke pembuangan, semua terbitan karya dan terjemahan Pasternak
tertunda hingga membuat dirinya kere.
Tidak ada orang India yang
tidak mengenal Rabindranath
Tagore, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan Bengali.
Tagore orang Asia pertama yang mendapat Anugerah Nobel Sastra, lebih dari
seabad yang lalu, 1913. Memiliki pengaruh yang sangat luar biasa, tidak hanya
di India, tetapi juga meluas hingga ke Eropa. Banyak karya-karya sastra Tagore
diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di Indonesia, Rabindranath Tagore
diabadikan di salah satu ruas jalan di Kota Surakarta. Pandangan Tagore soal
pendidikan ternyata memengaruhi tokoh nasional, termasuk Ki Hajar
Dewantara.
Saya juga ingin menyebut
seorang sastrawan paling jenius yang pernah lahir pada abad ke-20: Ernest
Miller Hemingway. Karya Hemingway yang paling fenomenal adalah trilogi
besar, terdiri dari The Sea When Young, The Sea
When Absent dan The
Sea in Being (pada
1952 terbit dengan judul The Old Man and the Sea).
Novel Lelaki Tua dan Laut ini diindonesiakan secara bagus oleh
Sapardi Djoko Damono. Juga ada penerjemah lain, dan saya beberapa kali membaca
teks asli The Old Man and the Sea.
Kisah hidup Hemingway paling
dikenang adalah nasib sial yang selalu mendera. Dia pernah mengalami luka-luka
dalam dua kecelakaan pesawat terbang secara berturutan. Luka-luka itu sangat
serius, bahu kanan, lengan dan kaki kiri terkilir, ia mengalami gegar otak parah,
untuk sementara waktu kehilangan daya penglihatan mata kiri (daya pendengaran
di telinga kiri juga terganggu), mengalami kelumpuhan tulang belakang, remuk,
liver, ginjal, serta mengalami luka bakar pada tingkat pertama di wajah, kedua
lengan dan kakinya. Dalam kecelakaan kebakaran semak, membuat ia mengalami
luka bakar pada tingkat kedua pada kedua kaki, dada, bibir, tangan kiri dan
bagian atas lengan kanannya. Pada 2 Juli 1961 dia menembak kepalanya sendiri
dan langsung tewas.
Dan seorang penerima Hadiah
Nobel Sastra paling kontroversial adalah Sir Winston Leonard Spencer Churchill.
Mantan Perdana Menteri era Perang Dunia kedua ini dianugerai Hadiah Nobel
Sastra untuk kepakarannya dalam penulisan riwayat dan sejarah dan juga
kepintaran berucap memertahankan nilai kemanusiaan yang tinggi pada 1953. Padahal
dialah sang arsitek pendaratan dan penyerangan Gallipoli di Dardanella waktu
Perang Dunia Pertama yang menewaskan hampir seperempat juta nyawa prajurit.
Churchill sangat menentang kemerdekaan India ketika masih dijajah Inggris.
Namun berkat perang melawan Hitler bersama sekutu abadi, Amerika, membuat
nama Churchill melambung tinggi, hingga tulisan itu diganjar Hadiah Nobel
Sastra.
Pada akhirnya saya perlu
angkat topi dan menyampaikan salut kepada Dr. Wannofri Samry, M.Hum., Drs.
Dasril Ahmad, Yurnaldi, Syarifuddin Arifin, Yulfian Azrial, Edy M.N.S. Soemanto,
dan Saudara-saudara yang sudah memungkinkan peristiwa Silaturahmi
Sastrawan Sumatera Barat 2015 ini
terselenggara. (Iven ini konon sudah dirancang sejak 2012, 2013 yang lalu.)
Lalu, mungkinkah iven seperti ini diselenggarakan secara berkala? Tidak usah
terlalu formal dan kaku, apa mungkin panitia mengakomodasi sebagian
keperluan sastrawan daerah ini yang sudah sejak lama jalan sendiri-sendiri?
Mungkinkah kepada sastrawan diberikan kesempatan berbuat dan menulis secara
kreatif tanpa terbebani oleh keperluan rutin yang sering membebani? Mungkinkah
karya-karya mereka diterbitkan dalam bentuk buku? Apa tidak perlu sastrawan
berprestasi diberi penghargaan? Dan, pada masa datang apakah ada donatur, maesenas
sastra, seperti pada saat ini diberikan oleh Emma Yohanna. Dulu, di Kota Padang,
ada maesenas sastra Roestam Anwar, Boestami. H. Basril Djabar, kini, masih tidak
berpikir lama untuk membantu aktivitas sastra. Lalu tahun-tahun mendatang,
siapa? Adakah suara ini didengar oleh Pemerintah Daerah Kota, Kabupaten,
Provinsi dan Republik Indonesia?
Terima kasih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar