Orang yang Suka Menakut-nakuti
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan;
Guru Besar Ilmu Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM,
31 Agustus 2015
Sejak kecil kita
sering mendengar orang dewasa menakut-nakuti dengan setan. Dan akhirnya kita jadi urung
melangkah. Malam hari kita bisa dicekam ketakutan, dan bermimpi yang
aneh-aneh.
Sewaktu remaja, hal
serupa juga berulang. Saat akan mendaki gunung misalnya, selalu ada saja yang
mengatakan itu berbahaya, akan tersesat, kelaparan, dirampok, tersedak asap
belerang, tergelincir dan seterusnya. Nyatanya, kita malah melihat
puncak yang indah, dan hamparan bunga
edelweis yang menakjubkan.
Memang kaki kita babak
belur, dan sepanjang perjalanan ada jalur yang licin dan membuat Anda
terjatuh. Tetapi semuanya bisa diatasi.
Sewaktu memasuki SLTA
saya juga ditakut-takuti. Maklum ini SMA elit di tengah-tengah Menteng –
Jakarta Pusat, yang rata-rata siswanya berasal dari kalangan atas. Selain
mahal rata-rata alumnusnya diterima di kampus-kampus elit menjadi dokter, insinyur atau ekonom. Dan
bahkan banyak yang keluar negeri. Namun sewaktu diterima, semuanya
terbelalak.
Demikian juga sewaktu
penentuan uang sekolah, tergantung pada kemampuan masing-masing. Dan orang
tua saya hanya bisa mengatakan tak
semenakutkan yang dikatakan banyak orang.
Krisis Ekonomi?
Demikianlah dalam
hidup, kita selalu berhadapan dengan orang-orang yang gemar menakut-nakuti
yang tujuannya mungkin baik, tetapi mungkin juga tidak. Siapa yang akan mempercayai mereka?
Tentu orang-orang yang
belum berpengalaman, yang punya harta banyak, yang takut kehilangan dan
mereka yang tidak mau. Tidak mau apa? Ya tak mau kerja, tak mau berpikir.
Ada pepatah
mengatakan, “If you want to, you’ll
find the way. If you don’t want to, you’ll find excuses.” Artinya, hanya orang-orang yang mau
bergerak yang akan menemukan jalannya. Sedangkan yang tak menginginkannya,
akan terus membuat-buat alasan, merangkai cerita dan mengirim berita
negatif.
Kehidupan ini
sesungguhnya bukanlah kumpulan dari ramalan-ramalan perorangan yang berisi
khayalan dan ocehan, melainkan sebuah akibat dari perbuatan jutaan manusia
yang saling berinteraksi. Ada yang mengambil tindakan, dan ada yang bereaksi.
Semua terpulang pada apa yang dipikirkan dan yang dipercayai.
Semua gagasan dan
opini bertarung untuk meyakinkan sesuatu sambil berharap menjadi langkah yang
masif.
Ekonomi adalah sebuah
kumpulan perilaku yang outcome-nya akibat dari perbuatan manusia, yang
akhirnya membentuk sebuah pola. Pola itu bisa bergerak ke atas, bisa juga ke
bawah. Bila itu bergerak ke bawah, bisa saja ia menukik balik ke atas,
menjadi anomali karena manusianya berpikir positif.
Sebaliknya ia bisa
bergerak makin liar, jatuh ke jurang (kendati fundamental ekonominya bagus),
karena kita saling menyepak, menyalahkan, menakut-nakuti, dan menolak untuk
bekerjasama karena mempercayai yang negatif.
Sikap suatu bangsa
terhadap krisis sesungguhnya tercemin dalam apa yang mereka definisikan pada
kata krisis itu sendiri. Di Barat, krisis dimaknai sebagai “Sebuah titik
belok” for better or for worse.
Di China ia sebagai wei-ji yang artinya “kesempatan”
atau ”peluang” dalam bahaya. Tetapi di sini, di Indonesia, John Echols dan
Hassan Shadily (Kamus Bahasa Inggris-Indonesia) menjelaskan: krisis adalah
sebuah situasi yang gawat, genting atau kemelut.
Krisis akan
benar-benar membuat para penakut kecut
saat media sosial dan media massa
ramai-ramai melaporkan suasana yang genting. Hanya karena dollar melambung
seribu – dua ribu perak dalam sebulan ini. Pokoknya mencekam. Padahal
pengusaha tahu, PHK butuh proses dan makan waktu berbulan-bulan dan amat
mahal. Mana mungkin begitu dolar melambung pengusaha langsung PHK minggu
depannya.
Sekarang tampak betul
adanya kelompok yang menakut-takuti masyarakat karena tidak ingin kita keluar
dari kesulitan. Untuk keluar dari lembah terdalam, pertama-tama kita harus
percaya pada kekuatan kita, lalu bekerjasama, saling membangun. Bukan saling
mengejek dan menarik kaki mereka yang tangannya sudah menyentuh bibir
jurang.
Lantas siapa yang
tidak mempan ditakut-takuti? Pertama, pasti kaum beriman. Mereka adalah orang
yang percaya akan bantuan Allah dan terus berupaya. Kedua, mereka yang sudah
berpengalaman, yang tahu bahwa susah tak akan berlansung selamanya.
Konflik Etnis Kalbar
Ini juga konflik yang
mencekam. Saya teringat dengan konflik
etnis di Kalbar 1999. Sebagai dosen terbang di Universitas Tanjung Pura,
keluarga saya tentu terkejut ketika ada seseorang mengirimkan faksimili tentang kepala seorang petugas
keamanan yang dipancung dan ditaruh di pagar hotel.
Keluarga saya menjadi
heboh dan minta agar saya tidak berangkat. Tapi saya katakan mengajar ini
juga ibadah. Anak-anak gelisah karena tahu kalau soal pendidikan, ayahnya tak
bisa menyurutkan langkah. Mereka menelfon Kampus. Mahasiswa yang menjawab
berebut bicara. “Minta tolong agar ayahmu berangkat, kami sudah lengkap dan
menunggu,” kata mahasiswa saya.
Saya tak tahu
percakapan selanjutnya, karena sudah harus segera berangkat. Di atas pesawat
saya lihat bangku-bangku kosong ditinggalkan penumpang yang ketakutan. Purser
yang bertugas, mengajak saya bicara dan bertanya-tanya mengapa saya nekat berangkat. Mereka menggunjingkan
saya yang duduk di sudut jendela tanpa teman.
Di Bandara Supadio,
Pak Efi, pimpinan universitas menjemput saya dengan riang. Putra Melayu asli
Kalbar itu bercerita panjang lebar tentang kejadian beberapa hari lalu.
Tetapi selebihnya tak ada tanda-tanda kejadian yang mengerikan di sana.
Pontianak aman dan
mahasiswa saya bertepuk tangan saat menyambut saya karena kabarnya hanya satu dosen yang
“berani” datang. Padahal mereka rata-rata berjuang 8 – 12 jam datang dari
berbagai daerah pedalaman untuk
mendengarkan kuliah saya.
Saya pun memberi bonus
waktu dan bermalam di sana bersama mereka. Esoknya kami menengok para
pengungsi dan mereka mentraktir saya makan kwetiau Apolo yang terkenal itu.
Saya katakan, sewaktu
keadaan sulit kita justru harus belanja agar uang berputar. Mereka pun setuju
dan pemilik warung gembira. Pegawainya pun bisa gajian.
Kita Aktor Utamanya
Belajar dari beragam
peristiwa di atas, saya perlu mengajak Anda semua agar tidak tercekam dengan rasa takut yang
berlebihan. Hidup bukanlah sebuah episode spekulasi seperti kita yang kini
terperangkap menerka kurs dolar. Hidup adalah sebuah perjalanan panjang untuk
meraih keberhasilan.
Kita sudah membuktikan
bahwa hasil yang kita capai adalah berasal dari kerja keras, kepercayaan dan
kreativitas. Bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, kita semua sepakat. Tetapi
kita perlu berusaha semaksimal mungkin.
Benar, kita adalah
aktor ekonomi, jadi hasil akhir dari episode kenaikan atau menguatnya dollar
AS adalah juga karena peran kecil kita. Tetapi dalam usaha dan pekerjaan yang
kita jalankan, kita adalah aktor utamanya.
Mengapa ada pihak yang gemar menakut-nakuti?
Tentu ada banyak
jawaban. Ada yang terlalu sayang dengan anda, tetapi juga benar, ada yang tak
mau anda berhasil. Bagi kaum pemalas ini adalah kesempatan untuk
beristirahat.
Bagi yang culas,
setiap keberhasilan anda adalah tamparan besar bagi mereka. Itu sebabnya
mereka akan terus menakut-nakuti, mencela, bahkan memasang perangkap dan
beragam ranjau agar anda jatuh dan berhenti. Tetapi itu tak akan berarti
kalau bangsa ini bukan penakut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar