Memperkuat KPK
Meuthia Ganie-Rochman ; Ahli Sosiologi Organisasi;
Pengajar di UI; Anggota Panitia
Seleksi KPK 2015
|
KOMPAS,
10 September 2015
Panitia Seleksi KPK
telah menetapkan delapan calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diajukan
Presiden ke DPR. Berbeda dengan cara pengajuan calon terpilih oleh panitia
seleksi yang lalu, pansel kali ini menetapkan nama-nama tersebut dalam suatu
model pembidangan, yaitu penindakan, pencegahan, manajemen, dan
pengawasan/monitoring.
Lepas dari kerangka
Pansel KPK dan berbagai reaksi yang diajukan dari anggota/kelompok
masyarakat, penulis akan mengajukan pemikiran berdasarkan keahlian sebagai
ahli sosiologi organisasi dan riset selama dua tahun berkaitan eksistensi
KPK. Penulis ingin membagi persoalan KPK dalam dua wilayah besar, yaitu
politik dan organisasional.
Wilayah politik
Didirikannnya suatu
lembaga anti korupsi hampir selalu merupakan hasil dari suatu pemikiran bahwa
korupsi merupakan persoalan serius bagi suatu negara. Korupsi dipercaya dapat
menghancurkan basis ekonomi yang sehat, pelencengan sistem politik dan
disintegrasi dalam masyarakat. Lembaga anti korupsi didirikan oleh para elite
politik, baik karena pikiran progresifnya atau karena desakan masyarakat yang
kuat. Di Indonesia, KPK didirikan dengan kewenangan yang lebih lengkap
daripada lembaga penegak hukum lainnya dan mendapatkan bantuan penguatan
pendirian fondasi organisasi dari
berbagai organisasi dalam dan luar negeri.
Meski demikian, KPK
menghadapi korupsi yang dihasilkan dari ketimpangan kekuasaan warisan rezim
yang lalu, persaingan politik yang tinggi setelah reformasi, dan kelemahan
institusi negara. Faktor-faktor ini membuat korupsi meluas (melibatkan aktor
yang beragam) dan mendalam (merasuki pusat-pusat politik dan ekonomi
strategis). Kondisi ini mutlak perlu penguatan organisasi anti korupsi yang
membutuhkan dukungan politik, di
samping penguatan teknokrasi kelembagaan. Pelajaran di semua negara, lembaga
anti korupsi agar berhasil selalu membutuhkan dukungan politik yang besar.
Dukungan politik
membawa implikasi perluasan ruang gerak lembaga anti korupsi. Dukungan
politik menghambat penetrasi kepentingan dari aktor politik lain untuk
melemahkan organisasi ini, misalnya melalui pelemahan wewenang. Dukungan
politik akan mendorong pimpinan di lembaga publik untuk menerima lembaga anti
korupsi agar membawa pembaruan sistematis di lembaganya. Dukungan politik
juga memungkinkan alokasi sumber daya negara untuk lembaga anti korupsi
diperbesar.
Penguatan kelembagaan
Penguatan kelembagaan
meliputi pengelolaan internal dan eksternal. Penguatan internal meliputi
penguatan kerangka kerja, instrumen dan mekanisme knowledge management,
prosedur dalam organisasi dan sumber daya manusia. Kejelasan kerangka adalah
dasar konseptual arah organisasi ini ke depan.
Perencana strategis
KPK, yang telah dibuat, misalnya, memilih penindakan dan pencegahan korupsi
di bidang sumber daya alam (SDA). Bidang ini dianggap sangat strategis untuk
menyelamatkan sumber kesejahteraan bangsa. Jika demikian, KPK harus
memperkuat pendekatannya dalam menangani penindakan dalam bidang yang jadi
karakter dari persoalan di bidang ini.
KPK telah melakukan
beberapa studi tentang korupsi di wilayah SDA dan mendapatkan bentuk-bentuk
korupsi dan persoalan lemahnya tata kelola di bidang ini. Namun, KPK harus
tahu jauh lebih banyak, seperti bagaimana para aktor korup berjaringan dan
memanfaatkan sistem/aturan yang ada, serta bagaimana lembaga-lembaga publik
yang terkait selama ini terkait dalam kelemahan sistem yang ada. Aspek
konstruksi kasus dan penyidikan dalam bidang ini juga akan berbeda di bidang ini.
Isu besar lain yang
sering terangkat adalah bagaimana menjalankan dua bidang pencegahan dan
penindakan. Selama ini telah muncul pandangan bahwa kedua bidang ini harus
berimbang dan terintegrasi. Namun, belum banyak pemikiran yang diangkat, pada
tingkat konseptual dan penerapan bagaimanakah keduanya saling menguatkan yang
lain. Dengan demikian, pertanyaannya adalah bagaimana penindakan akan
mendorong perbaikan sistem pencegahan; dan bagaimana pencegahan akan
memudahkan penindakan?
Pencegahan seharusnya
memanfaatkan "ruang yang terbuka" akibat adanya penindakan. Korupsi
di pemerintah daerah atau di suatu lembaga pemerintah akan menciptakan
kondisi "guncang" akibat adanya salah satu rantai jaringan korupsi
diambil. Ruang terbuka ini bisa dimanfaatkan KPK untuk masuk memfasilitasi
perbaikan sistem. Jika dibiarkan, jaringan korup yang ada akan melakukan
konsolidasi lagi. Karena itu, dalam penindakan KPK harus melakukan pilihan
strategis bagi lembaga yang ingin diperbaiki.
Ada pemikiran, untuk
kondisi Indonesia, KPK harus fokus pada korupsi yang terjadi di lembaga
penegak hukum, seperti peradilan dan kepolisian. Hal ini didasarkan
pertimbangan kedua lembaga ini paling mendasar dalam upaya melawan korupsi.
Pemikiran ini mungkin benar. Tapi, dalam kondisi sekarang, untuk melakukan
strategi ini KPK harus dapat dukungan politik besar dari elite politik,
organisasi masyarakat, dan pimpinan di kedua lembaga itu sendiri.
Lebih realistis dalam
kondisi saat ini adalah KPK menggunakan strategi memotong sumber daya korupsi
yang dilakukan aktor elite partai yang menggunakan pengaruh politik untuk
mengambil sumber daya di sektor negara. Caranya adalah memperbaiki tata
kelola lembaga negara yang "basah" dengan mendorong dibuatnya
sistem peringatan (alert system).
Sistem dalam suatu lembaga ini diperbaiki koneksinya dengan sistem-sistem
lain yang ada, seperti BPK, PPATK, dan Ditjen Perpajakan. Tentu lembaga lain
ini harus menjalankan perbaikan sistem juga agar dapat menanggapi jaringan
pengawasan bersama.
Penguatan eksternal
Seperti sering
dikatakan, KPK butuh lembaga lain dalam penanganan korupsi. Agar koordinasi
dan supervisi KPK dengan lembaga penegakan hukum lain berjalan baik, perlu
diciptakan mekanisme koordinasi seperti sistem komunikasi dan data. Di pihak
KPK, suatu pendekatan komunikasi yang tepat dengan pimpinan di lembaga lain
itu sangat dibutuhkan, Namun, di pihak lain, pimpinan di lembaga lain pun
bertanggung jawab membantu KPK menjalankan fungsinya. Pimpinan di tiap
lembaga, misalnya, mendorong komitmen internal dan memilih mekanisme yang
sesuai kondisi di lembaga masing-masing.
Satu wilayah penguatan
yang sering dilupakan adalah dukungan dari berbagai organisasi dan kelompok
profesional. Banyak organisasi yang sebenarnya bersedia mengalokasikan sumber
dayanya membantu KPK. Namun, hingga saat ini, KPK belum terlalu berhasil
menemukan skema yang membangkitkan energi dari organisasi-organisasi lain.
Selain skema yang ada masih perlu diperbaiki, skema lainnya juga perlu
dikembangkan.
Sebagai contoh, KPK
membuat program nasional bersama organisasi profesional untuk memperbaiki
sistem audit yang lebih kontekstual, atau koneksi sistem monitoring.
Pengetahuan yang terus diperbarui tentang kontrak bisnis dan praktik berbagai
lembaga keuangan juga harus masuk dalam sistem manajemen pengetahuan KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar