Jumat, 11 September 2015

Memperkuat KPK

Memperkuat KPK

Meuthia Ganie-Rochman  ;  Ahli Sosiologi Organisasi;
Pengajar di UI; Anggota Panitia Seleksi KPK 2015
                                                     KOMPAS, 10 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Panitia Seleksi KPK telah menetapkan delapan calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diajukan Presiden ke DPR. Berbeda dengan cara pengajuan calon terpilih oleh panitia seleksi yang lalu, pansel kali ini menetapkan nama-nama tersebut dalam suatu model pembidangan, yaitu penindakan, pencegahan, manajemen, dan pengawasan/monitoring.

Lepas dari kerangka Pansel KPK dan berbagai reaksi yang diajukan dari anggota/kelompok masyarakat, penulis akan mengajukan pemikiran berdasarkan keahlian sebagai ahli sosiologi organisasi dan riset selama dua tahun berkaitan eksistensi KPK. Penulis ingin membagi persoalan KPK dalam dua wilayah besar, yaitu politik dan organisasional.

Wilayah politik

Didirikannnya suatu lembaga anti korupsi hampir selalu merupakan hasil dari suatu pemikiran bahwa korupsi merupakan persoalan serius bagi suatu negara. Korupsi dipercaya dapat menghancurkan basis ekonomi yang sehat, pelencengan sistem politik dan disintegrasi dalam masyarakat. Lembaga anti korupsi didirikan oleh para elite politik, baik karena pikiran progresifnya atau karena desakan masyarakat yang kuat. Di Indonesia, KPK didirikan dengan kewenangan yang lebih lengkap daripada lembaga penegak hukum lainnya dan mendapatkan bantuan penguatan pendirian fondasi organisasi  dari berbagai organisasi dalam dan luar negeri.

Meski demikian, KPK menghadapi korupsi yang dihasilkan dari ketimpangan kekuasaan warisan rezim yang lalu, persaingan politik yang tinggi setelah reformasi, dan kelemahan institusi negara. Faktor-faktor ini membuat korupsi meluas (melibatkan aktor yang beragam) dan mendalam (merasuki pusat-pusat politik dan ekonomi strategis). Kondisi ini mutlak perlu penguatan organisasi anti korupsi yang membutuhkan dukungan politik,  di samping penguatan teknokrasi kelembagaan. Pelajaran di semua negara, lembaga anti korupsi agar berhasil selalu membutuhkan dukungan politik yang besar.

Dukungan politik membawa implikasi perluasan ruang gerak lembaga anti korupsi. Dukungan politik menghambat penetrasi kepentingan dari aktor politik lain untuk melemahkan organisasi ini, misalnya melalui pelemahan wewenang. Dukungan politik akan mendorong pimpinan di lembaga publik untuk menerima lembaga anti korupsi agar membawa pembaruan sistematis di lembaganya. Dukungan politik juga memungkinkan alokasi sumber daya negara untuk lembaga anti korupsi diperbesar.

Penguatan kelembagaan

Penguatan kelembagaan meliputi pengelolaan internal dan eksternal. Penguatan internal meliputi penguatan kerangka kerja, instrumen dan mekanisme knowledge management, prosedur dalam organisasi dan sumber daya manusia. Kejelasan kerangka adalah dasar konseptual arah organisasi ini ke depan.

Perencana strategis KPK, yang telah dibuat, misalnya, memilih penindakan dan pencegahan korupsi di bidang sumber daya alam (SDA). Bidang ini dianggap sangat strategis untuk menyelamatkan sumber kesejahteraan bangsa. Jika demikian, KPK harus memperkuat pendekatannya dalam menangani penindakan dalam bidang yang jadi karakter dari persoalan di bidang ini.

KPK telah melakukan beberapa studi tentang korupsi di wilayah SDA dan mendapatkan bentuk-bentuk korupsi dan persoalan lemahnya tata kelola di bidang ini. Namun, KPK harus tahu jauh lebih banyak, seperti bagaimana para aktor korup berjaringan dan memanfaatkan sistem/aturan yang ada, serta bagaimana lembaga-lembaga publik yang terkait selama ini terkait dalam kelemahan sistem yang ada. Aspek konstruksi kasus dan penyidikan dalam bidang ini juga akan berbeda di bidang ini.

Isu besar lain yang sering terangkat adalah bagaimana menjalankan dua bidang pencegahan dan penindakan. Selama ini telah muncul pandangan bahwa kedua bidang ini harus berimbang dan terintegrasi. Namun, belum banyak pemikiran yang diangkat, pada tingkat konseptual dan penerapan bagaimanakah keduanya saling menguatkan yang lain. Dengan demikian, pertanyaannya adalah bagaimana penindakan akan mendorong perbaikan sistem pencegahan; dan bagaimana pencegahan akan memudahkan penindakan?

Pencegahan seharusnya memanfaatkan "ruang yang terbuka" akibat adanya penindakan. Korupsi di pemerintah daerah atau di suatu lembaga pemerintah akan menciptakan kondisi "guncang" akibat adanya salah satu rantai jaringan korupsi diambil. Ruang terbuka ini bisa dimanfaatkan KPK untuk masuk memfasilitasi perbaikan sistem. Jika dibiarkan, jaringan korup yang ada akan melakukan konsolidasi lagi. Karena itu, dalam penindakan KPK harus melakukan pilihan strategis bagi lembaga yang ingin diperbaiki.

Ada pemikiran, untuk kondisi Indonesia, KPK harus fokus pada korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum, seperti peradilan dan kepolisian. Hal ini didasarkan pertimbangan kedua lembaga ini paling mendasar dalam upaya melawan korupsi. Pemikiran ini mungkin benar. Tapi, dalam kondisi sekarang, untuk melakukan strategi ini KPK harus dapat dukungan politik besar dari elite politik, organisasi masyarakat, dan pimpinan di kedua lembaga itu sendiri.

Lebih realistis dalam kondisi saat ini adalah KPK menggunakan strategi memotong sumber daya korupsi yang dilakukan aktor elite partai yang menggunakan pengaruh politik untuk mengambil sumber daya di sektor negara. Caranya adalah memperbaiki tata kelola lembaga negara yang "basah" dengan mendorong dibuatnya sistem peringatan (alert system). Sistem dalam suatu lembaga ini diperbaiki koneksinya dengan sistem-sistem lain yang ada, seperti BPK, PPATK, dan Ditjen Perpajakan. Tentu lembaga lain ini harus menjalankan perbaikan sistem juga agar dapat menanggapi jaringan pengawasan bersama.

Penguatan eksternal

Seperti sering dikatakan, KPK butuh lembaga lain dalam penanganan korupsi. Agar koordinasi dan supervisi KPK dengan lembaga penegakan hukum lain berjalan baik, perlu diciptakan mekanisme koordinasi seperti sistem komunikasi dan data. Di pihak KPK, suatu pendekatan komunikasi yang tepat dengan pimpinan di lembaga lain itu sangat dibutuhkan, Namun, di pihak lain, pimpinan di lembaga lain pun bertanggung jawab membantu KPK menjalankan fungsinya. Pimpinan di tiap lembaga, misalnya, mendorong komitmen internal dan memilih mekanisme yang sesuai kondisi di lembaga masing-masing.

Satu wilayah penguatan yang sering dilupakan adalah dukungan dari berbagai organisasi dan kelompok profesional. Banyak organisasi yang sebenarnya bersedia mengalokasikan sumber dayanya membantu KPK. Namun, hingga saat ini, KPK belum terlalu berhasil menemukan skema yang membangkitkan energi dari organisasi-organisasi lain. Selain skema yang ada masih perlu diperbaiki, skema lainnya juga perlu dikembangkan.

Sebagai contoh, KPK membuat program nasional bersama organisasi profesional untuk memperbaiki sistem audit yang lebih kontekstual, atau koneksi sistem monitoring. Pengetahuan yang terus diperbarui tentang kontrak bisnis dan praktik berbagai lembaga keuangan juga harus masuk dalam sistem manajemen pengetahuan KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar