Jumat, 11 September 2015

Ekspresi Seni dan Jalan Rekonsiliasi

Ekspresi Seni dan Jalan Rekonsiliasi

Marselli Sumarno  ;  Pemerhati Film
                                                     KOMPAS, 10 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

September ini, tragedi nasional 1965 genap 50 tahun. Namun, rekonsiliasi nasional sebagai bentuk penyelesaian mengenai tragedi itu tampaknya belum segera dapat terwujud.

Sejumlah karya audio-visual yang telah dibuat dalam usaha mendorong rekonsiliasi nasional justru mengundang kontroversi dan berhadapan dengan beberapa persoalan baru. Sebagai catatan, kontroversi tragedi 1965 belakangan ini dipicu munculnya dua film dokumenter garapan sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer: Jagal (The Act of Killing, 2013) dan Senyap (Look of Silence, 2014). Di satu pihak, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menjadikan film Senyap sebagai titik tolak untuk mendiskusikan rekonsiliasi nasional atas tragedi nasional 1965. Di lain pihak, Lembaga Sensor Film (LSF) telah melarang pemutaran film Senyap untuk umum.

"Kata yang tak terucap"

Deklarasi Universal HAM diterima dan diumumkan Majelis Umum PBB, 10 Desember 1948. Tentang kebebasan berekspresi termaktub dalam Pasal 19: "Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dari pendapat dengan cara-cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas."

Selanjutnya PBB telah meratifikasi berbagai kovenan ataupun konvensi yang merupakan turunan dan penjabaran Deklarasi Universal HAM. Pada 28 Oktober 2005, Pemerintah Indonesia mengesahkan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menjadi UU No 11/2005 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik jadi UU No 12/2005.

Dewasa ini di Indonesia terdapat UU No 33/2009 tentang Perfilman. Sementara LSF yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No 18/2014 melakukan penyensoran dengan berpedoman pada asas, tujuan, dan fungsi perfilman sebagaimana dimaksud dalam UU Perfilman.

Menjelang akhir 2014, mulailah "perang" antara Komnas HAM dan LSF. Komnas HAM mendukung pemutaran film Senyap di seluruh Indonesia, dengan alasan ini bagian dari kerja pendidikan HAM sebagai dukungan terhadap program prioritas pemerintah saat ini, yang dikenal luas sebagai program Nawacita, terutama agenda ke-9, yaitu "Memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga."

Di pihak lain, LSF tetap bersikukuh bahwa keputusannya terkait film Senyap sudah final, yaitu menolak film tersebut dipertunjukkan kepada khalayak umum, tetapi tak menolak untuk kalangan terbatas. Sebenarnya tawaran LSF tersebut masih menyisakan ruang kebebasan bagi film yang kontroversial ini, yaitu untuk diputar di kampus-kampus ataupun komunitas-komunitas tanpa memungut bayaran.

Namun, kenyataannya, pemutaran bagi kalangan terbatas pun dibayang-bayangi pelarangan karena argumen-argumen yang diajukan LSF mengesankan adanya film yang terlarang. Padahal, argumen LSF itu tak sepenuhnya valid, semisal, "yang melakukan wawancara kepada pelaku adalah anak kandung PKI." Tentu kalau orangtua sang tokoh yang mencari keadilan bagi kakaknya itu juga terlibat PKI, mereka pasti sudah ikut terbunuh.

Dalam film Senyap dikisahkan sosok lelaki 40-an tahun bernama Adi Rukun, yang hidup dan dibesarkan di daerah Deli Serdang, Sumatera Utara. Kakak kandungnya, Ramli, tewas terbantai karena dituduh komunis dalam pergolakan 1965, sewaktu Adi belum lahir. Adi yang kini berprofesi sebagai ahli pembuat kacamata kir mendatangi satu per satu para penjagal yang kebanyakan adalah pasiennya.

Profesi Adi itu telah menciptakan metafor agar para pembunuh itu, dalam usia lanjut mereka, dapat "melihat dengan lebih fokus" atas peristiwa-peristiwa mengerikan masa silam yang telah melibatkan mereka. Pertanyaan-pertanyaan Adi terhadap orang-orang yang diajaknya berbincang mengalami eskalasi kegeraman pada diri mereka yang tidak tertuju kepada Adi, melainkan tudingan tangan dan sebutan "Joshua" yang tidak tampak dalam layar.

Ini menimbulkan pengandaian yang serius yang bersifat etis, yaitu apakah Adi ini murni berkehendak sebagai seorang pencari keadilan, ataukah ia sekadar "boneka" bagi sutradara? Bagaimanapun, Senyap memiliki keunggulan-keunggulan. Tanpa memperlihatkan tetesan darah dan tulang-belulang ataupun tengkorak manusia, film ini cukup menggetarkan. Adegan-adegan kekerasan hanya sebatas "kata yang terucap".

Soal pilihan dan tindakan

Kebebasan berekspresi dijamin oleh UU HAM. Titik-titik ketegangannya antara kebebasan dan kepastian hukum. Kebebasan adalah ciri hakiki manusia sebagai manusia rasional dan berkehendak. Pada manusia, kebebasan tak pernah mutlak. Oleh karena itu, kebebasan dan tanggung jawab terkait satu sama lain. Kebebasan tanpa tanggung jawab akan menjurus ke anarki.

Memang, pada akhirnya kebebasan menyangkut soal pilihan dan tindakan. Dalam hal ini, sarana untuk melakukan pilihan tindakan itu adalah ekspresi seni berupa film Senyap. Uniknya, baik LSF maupun Komnas HAM sama-sama lembaga dalam pemerintahan. Apakah negara berperan dalam memecahkan persoalan ini, atau justru memilih diam alias absen?

Sementara UU HAM, Pasal 70, telah menentukan batas-batas HAM secara padat: "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh UU dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."

LSF telah menolak film Senyap, sedangkan Komnas HAM justru ingin menggunakan film tersebut sebagai dukungan terhadap program pemerintah tentang masalah rekonsiliasi. Menurut saya, persoalan timbul karena LSF menerapkan prinsip utilitarisme (yang dikembangkan John Stuart Mill) dalam perspektif HAM, sekurang-kurangnya demi "ketertiban dalam masyarakat", yang mengatasnamakan orang banyak, sungguhpun belum tentu menjamin penghormatan terhadap HAM.

Maka, dalam penerapan hukum untuk memberikan batas-batas kebebasan berekspresi seni, khususnya dalam studi kasus film Senyap, muncul dilema: positivisme hukum (diwakili oleh LSF) dan idealisme kehendak (diwakili oleh Komnas HAM). Pertanyaannya, apakah batas-batas kebebasan ekspresi itu ditentukan oleh model atau kualitas etika atas bentuk estetisnya? Konsepsi etika manakah yang paling relevan untuk mendekati film Senyap? Menurut saya, itu adalah etika "wajah orang lain" dari Emmanuel Levinas. Inti pendekatan fenomenologisnya adalah ingin menunjukkan bahwa pembentukan identitas "saya" selalu sudah berdasarkan suatu peristiwa asali yang terjadi setiap kali bertemu dengan orang lain.

Apakah "fenomenologi orang lain" Levinas meyakinkan? Memang menjadi masalah jika yang etis bagi Levinas ini menyangkut orang banyak, karena itu memaksa kita untuk bersikap adil terhadap mereka. Dan justru dalam peristiwa keseharian, apakah selalu mudah untuk bersikap adil terhadap banyak orang?

Akan tetapi, dalam peristiwa yang lebih serius seperti dalam tindakan kekerasan sampai tingkat pembunuhan bahkan genosida, etika kepekaan Levinas mencapai tataran "kemanusiaan untuk orang lain". Dengan gagasan-gagasan demikian, film Senyap akan terbuka lebar bagi wacana perikemanusiaan yang adil dan beradab, bahkan untuk tujuan rekonsiliasi nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar