Dari Arab Berharap ke Eropa
Ibnu Burdah ; Koordinator S-2 dan S-3
Kajian Timur Tengah Sekolah
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
|
JAWA
POS, 07 September 2015
SUNGGUH memprihatinkan. Dua peristiwa yang
sangat kontras terjadi dalam waktu yang tak terlalu berjauhan. Ketika salah
seorang raja negara Arab menikmati liburan supermewah di Pantai Vallauris,
Prancis, pada saat yang hampir bersamaan ratusan ribu pengungsi dari
negara-negara Arab bertarung mempertaruhkan nyawa untuk mengais sesuap kehidupan
di Eropa.
Keglamoran para penguasa Arab, termasuk para
pangeran dan keluarga besarnya, memang jauh melampaui kehidupan para aktris
papan atas di Eropa atau Amerika Serikat. Kehidupan anak-anak penguasa baru
di Mesir sekarang juga mulai memperlihatkan kecenderungan yang sama.
Tragedi bertubi-tubi yang menimpa rakyat atau
saudara Arab mereka yang berjuang untuk menyeberangi Laut Tengah hingga
perjalanan menyusuri daratan Eropa sepertinya tak menjadi perhatian serius
mereka. Karena itu, para penguasa tersebut memilih untuk membeli senjata
modern dan supercanggih dengan harga berapa pun daripada mengurus para
pengungsi itu.
Kenyataan di Eropa
Gelombang pengungsi ke Eropa, di antaranya,
datang dari Syria, Iraq, dan Libya. Mereka meninggalkan kampung halaman karena
tak lagi memiliki harapan di negeri sendiri.
Mereka memilih mencoba peruntungan baru di
Eropa, bukan negara-negara Arab lain yang superkaya seperti Arab Saudi, UEA,
Bahrain, Kuwait, atau Qatar. Padahal, secara geografis, jarak ke
negara-negara itu jauh lebih dekat dan kultur mereka relatif sama.
Masyarakat Eropa bukanlah saudara mereka.
Kultur mereka juga sangat berbeda. Tapi, tak adanya pilihan di negeri sendiri
dan negara Arab lain serta bayang-bayang keberhasilan sebagian imigran Arab
di Eropa telah membulatkan tekad mereka. Mereka rela menempuh perjalanan
”maut” ke Benua Biru.
Jumlah pengungsi dari negara-negara Arab
dipastikan meningkat drastis tahun ini. Apalagi, belum ada tanda-tanda
sedikit pun bahwa konflik di kawasan itu segera memperoleh penyelesaian
damai.
Upaya perdamaian Syria dan Yaman terus
berputar-putar di isu itu-itu saja. Di Libya, ada sedikit kemajuan kendati
masih jauh untuk dikatakan ada penyelesaian damai. Juga, celakanya, semua
klausul negosiasi hampir tak menyentuh persoalan penyelesaian masalah yang
menimpa rakyat kebanyakan, termasuk nasib para pengungsi tersebut.
Tragisnya, Benua Biru pun ternyata tak
sepenuhnya seperti yang mereka harapkan. Masyarakat Eropa tampak seperti
sudah lupa dengan sejarah masa lalunya.
Dahulu, mereka juga ditimpa rentetan perang
destruktif berabadabad. Lalu disusul aksi kekejian para penguasa rasis yang
kemudian melahirkan gelombang pengungsi Eropa ke berbagai penjuru dunia. Baik
ke Amerika Utara, Amerika Selatan, maupun Australia.
Sejarah Eropa yang stabil dan makmur
sebenarnya baru dimulai ”kemarin sore”, sekitar setengah abad lalu. Tapi, itu
sudah membuat mereka seperti hilang ingatan.
Karena itu, saat menghadapi gelombang imigran,
para pemimpin dan masyarakat Eropa terbelah. Ada yang menerima dengan tangan
terbuka, ada yang menolak keras. Meski berita tentang penderitaan para
pengungsi ”di halaman rumah mereka” sudah membuat miris rasa kemanusiaan.
Juga, nasib serupa mungkin dialami pula oleh para orang tua dan kakek-nenek
mereka sebelum setengah abad lalu.
Sebagian pemimpin dan masyarakat Eropa
mencemaskan, gelombang imigran Arab itu kelak akan mengubah perimbangan
demografis dan karakter masyarakat Eropa. Penolak imigran yang agresif adalah
kelompok ultranasionalis yang akhir-akhir ini kembali memperoleh tempat di
hati sebagian masyarakat Eropa. Terutama untuk merespons unifikasi Eropa yang
agresif dan dianggap menggerus identitas kebangsaan mereka. Ada juga kelompok
ekstremis agama.
Di samping itu, biaya untuk mengurus pengungsi
bisa jadi tidak murah. Itu bisa membebani keuangan negara yang secara ekonomi
sedang menurun drastis. Kebetulan, tiga negara Eropa Selatan yang paling
dekat dengan asal pengungsi, yaitu Italia, Spanyol, dan Yunani, adalah
negara-negara yang secara ekonomi lemah atau bahkan krisis. Karena itu,
tujuan pengungsi adalah negaranegara Eropa Barat bagian utara yang dipandang
lebih makmur dan lebih ”humanistis”, terutama Jerman.
Namun, pada aspek lain, jika dicermati,
masyarakat Eropa sebenarnya memerlukan kehadiran para pengungsi itu.
Masyarakat Eropa adalah masyarakat yang secara demografis mulai didominasi
kaum tua.
Masyarakat semacam itu tentu memerlukan
kehadiran tenagatenaga muda untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Tanpa
didukung penduduk usia produktif yang memadai, ekonomi Eropa bisa berada
dalam bahaya.
Nilai-nilai universal seperti HAM yang mereka
teriakkan selama ini juga menjadi tidak relevan lagi. Itu terjadi jika mereka
tak mau mengambil tanggung jawab sejarah untuk mengulurkan tangan kepada kaum
yang begitu menderita di halaman rumah mereka.
Apalagi, para pengungsi tak punya tempat lagi
untuk berpaling. ”Saudara-saudara” mereka yang berkuasa lebih memilih merawat
kekuasaan masing-masing dengan segala cara sembari menghabiskan waktu dan
bergelimang kekayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar