Sabtu, 12 September 2015

Dari Arab Berharap ke Eropa

Dari Arab Berharap ke Eropa

Ibnu Burdah  ;  Koordinator S-2 dan S-3
Kajian Timur Tengah Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
                                                    JAWA POS, 07 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SUNGGUH memprihatinkan. Dua peristiwa yang sangat kontras terjadi dalam waktu yang tak terlalu berjauhan. Ketika salah seorang raja negara Arab menikmati liburan supermewah di Pantai Vallauris, Prancis, pada saat yang hampir bersamaan ratusan ribu pengungsi dari negara-negara Arab bertarung mempertaruhkan nyawa untuk mengais sesuap kehidupan di Eropa.

Keglamoran para penguasa Arab, termasuk para pangeran dan keluarga besarnya, memang jauh melampaui kehidupan para aktris papan atas di Eropa atau Amerika Serikat. Kehidupan anak-anak penguasa baru di Mesir sekarang juga mulai memperlihatkan kecenderungan yang sama.

Tragedi bertubi-tubi yang menimpa rakyat atau saudara Arab mereka yang berjuang untuk menyeberangi Laut Tengah hingga perjalanan menyusuri daratan Eropa sepertinya tak menjadi perhatian serius mereka. Karena itu, para penguasa tersebut memilih untuk membeli senjata modern dan supercanggih dengan harga berapa pun daripada mengurus para pengungsi itu.

Kenyataan di Eropa

Gelombang pengungsi ke Eropa, di antaranya, datang dari Syria, Iraq, dan Libya. Mereka meninggalkan kampung halaman karena tak lagi memiliki harapan di negeri sendiri.

Mereka memilih mencoba peruntungan baru di Eropa, bukan negara-negara Arab lain yang superkaya seperti Arab Saudi, UEA, Bahrain, Kuwait, atau Qatar. Padahal, secara geografis, jarak ke negara-negara itu jauh lebih dekat dan kultur mereka relatif sama.

Masyarakat Eropa bukanlah saudara mereka. Kultur mereka juga sangat berbeda. Tapi, tak adanya pilihan di negeri sendiri dan negara Arab lain serta bayang-bayang keberhasilan sebagian imigran Arab di Eropa telah membulatkan tekad mereka. Mereka rela menempuh perjalanan ”maut” ke Benua Biru.

Jumlah pengungsi dari negara-negara Arab dipastikan meningkat drastis tahun ini. Apalagi, belum ada tanda-tanda sedikit pun bahwa konflik di kawasan itu segera memperoleh penyelesaian damai.

Upaya perdamaian Syria dan Yaman terus berputar-putar di isu itu-itu saja. Di Libya, ada sedikit kemajuan kendati masih jauh untuk dikatakan ada penyelesaian damai. Juga, celakanya, semua klausul negosiasi hampir tak menyentuh persoalan penyelesaian masalah yang menimpa rakyat kebanyakan, termasuk nasib para pengungsi tersebut.

Tragisnya, Benua Biru pun ternyata tak sepenuhnya seperti yang mereka harapkan. Masyarakat Eropa tampak seperti sudah lupa dengan sejarah masa lalunya.

Dahulu, mereka juga ditimpa rentetan perang destruktif berabadabad. Lalu disusul aksi kekejian para penguasa rasis yang kemudian melahirkan gelombang pengungsi Eropa ke berbagai penjuru dunia. Baik ke Amerika Utara, Amerika Selatan, maupun Australia.

Sejarah Eropa yang stabil dan makmur sebenarnya baru dimulai ”kemarin sore”, sekitar setengah abad lalu. Tapi, itu sudah membuat mereka seperti hilang ingatan.

Karena itu, saat menghadapi gelombang imigran, para pemimpin dan masyarakat Eropa terbelah. Ada yang menerima dengan tangan terbuka, ada yang menolak keras. Meski berita tentang penderitaan para pengungsi ”di halaman rumah mereka” sudah membuat miris rasa kemanusiaan. Juga, nasib serupa mungkin dialami pula oleh para orang tua dan kakek-nenek mereka sebelum setengah abad lalu.

Sebagian pemimpin dan masyarakat Eropa mencemaskan, gelombang imigran Arab itu kelak akan mengubah perimbangan demografis dan karakter masyarakat Eropa. Penolak imigran yang agresif adalah kelompok ultranasionalis yang akhir-akhir ini kembali memperoleh tempat di hati sebagian masyarakat Eropa. Terutama untuk merespons unifikasi Eropa yang agresif dan dianggap menggerus identitas kebangsaan mereka. Ada juga kelompok ekstremis agama.

Di samping itu, biaya untuk mengurus pengungsi bisa jadi tidak murah. Itu bisa membebani keuangan negara yang secara ekonomi sedang menurun drastis. Kebetulan, tiga negara Eropa Selatan yang paling dekat dengan asal pengungsi, yaitu Italia, Spanyol, dan Yunani, adalah negara-negara yang secara ekonomi lemah atau bahkan krisis. Karena itu, tujuan pengungsi adalah negaranegara Eropa Barat bagian utara yang dipandang lebih makmur dan lebih ”humanistis”, terutama Jerman.

Namun, pada aspek lain, jika dicermati, masyarakat Eropa sebenarnya memerlukan kehadiran para pengungsi itu. Masyarakat Eropa adalah masyarakat yang secara demografis mulai didominasi kaum tua.

Masyarakat semacam itu tentu memerlukan kehadiran tenagatenaga muda untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Tanpa didukung penduduk usia produktif yang memadai, ekonomi Eropa bisa berada dalam bahaya.

Nilai-nilai universal seperti HAM yang mereka teriakkan selama ini juga menjadi tidak relevan lagi. Itu terjadi jika mereka tak mau mengambil tanggung jawab sejarah untuk mengulurkan tangan kepada kaum yang begitu menderita di halaman rumah mereka.

Apalagi, para pengungsi tak punya tempat lagi untuk berpaling. ”Saudara-saudara” mereka yang berkuasa lebih memilih merawat kekuasaan masing-masing dengan segala cara sembari menghabiskan waktu dan bergelimang kekayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar