Sabtu, 12 September 2015

Cerita Tiga Gus hingga Mesin Ketik Tua

Cerita Tiga Gus hingga Mesin Ketik Tua

Pulangnya KH Muchit Muzadi, Hilangnya ”Buku Pintar” NU
Nurwahid  ;  Wartawan Jawa Pos
                                                    JAWA POS, 07 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEKITAR pukul 05.30 kemarin (6/9) saya sangat terkejut ketika membuka SMS seorang kawan lama. Dia memberitahukan meninggalnya KH Abdul Muchit Muzadi, mustasyar PB NU dan mantan rais syuriah PB NU.

Dari Sidoarjo saya menuju ke Ponpes Al Hikam, Malang, karena dari RS Persada, jenazah memang disalatkan juga di ponpes milik sang adik, KH Hasyim Muzadi, itu. Sampai di Cengger Ayam, tempat ponpes Al Hikam, iring-iringan jenazah baru saja berjalan menuju Jember. Saya kepancal.

Kepergian kiai berusia 89 tahun itu tentu sebuah kehilangan besar bagi NU dan seluruh warga nahdliyin. Mbah Muchit, begitu bisa beliau dipanggil, sudah dianggap layaknya buku pintarnya NU. Hal tersebut tidak mengherankan karena tokoh kelahiran Tuban, 4 Desember 1925, itu selalu terlibat dalam hampir semua peristiwa besar di NU.

Pada 1983–1984, Mbah Muchit terlibat aktif sejak perumusan khitah NU dan penerimaan asas tunggal Pancasila, bersama kiai-kiai besar lain seperti Gus Dur dan KH Achmad Siddiq. Perannya kembali mengemuka pada awal reformasi, saat PKB dilahirkan. Mbah Muchit adalah salah seorang deklarator PKB bersama Gus Dur, KH Ilyas Ruchiyat, KH Mustofa Bisri, dan KH Munasir Ali.

Meski seorang kiai sepuh, Mbah Muchit sangat dekat dengan anak-anak muda NU. Terutama mereka yang aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Itu tak lepas dari sikapnya yang mengayomi, bersahaja, pandai menempatan diri sebagai orang tua maupun guru, serta ciri khasnya yang humoris.

Mbah Muchit bukanlah kiai pemangku pondok. Yang dipangku ”hanya” sebuah masjid. Di depan rumahnya, Jalan Kalimantan, Teglboto, Jember, ada sebuah masjid, namanya masjid Sunan Kalijogo. Di masjid itulah selalu berkumpul aktivis PMII dari generasi ke generasi. Kebetulan lokasinya memang di kawasan kampus Universitas Jember (Unej).

Kepada mereka, Mbah Muchit kadang juga menyempatkan diri menularkan ilmu. Saya ingat antara tahun 1992–1995, setiap Selasa malam (meski tidak selalu karena kesibukan beliau), beliau menyampaikan materi tentang Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja). Nah, di sela-sela memberikan materi itu, humor-humor cerdas terlontar. Salah satu yang selalu saya ingat adalah humor tentang sebutan Gus. 
Rupanya kiai Muchit ketika itu geli melihat anak-anak PMII yang sedikitsedikit memanggil Gus terhadap sesama mereka.

Suatu ketika Kiai Muchit menyampaikan, ”Di Jember ini banyak sekali Gus,” katanya. Tapi, kata beliau, sebenarnya Gus itu bisa dibagi tiga. Yakni, Gus Nasab (keturunan), Gus Nasib, dan Gus Nusub. Gus Nasab adalah orang yang memang diakhirkan sebagai putra seorang kiai, kemudian dipanggil Gus. Ini Gus yang sesungguhnya. Ada lagi Gus Nasib. Dia bukan anak kiai, tapi secara kebetulan menjadi menantu kiai. Jadi, nasibnya baik, menjadi Gus karena diambil menantu kiai. Nah, Gus Nusub ini yang tidak jelas. Anak kiai bukan. Menantu kiai bukan. Tapi, tiba-tiba dipanggil Gus. Entah apa penyebabnya. Tentu itu hanya sebuah guyonan khas Mbah Muchit.

Kiai Muchit merupakan tokoh yang total mengabdikan diri di NU. ”Saya ini apa kata NU,” ujarnya di banyak kesempatan. Tak heran, meski ketika itu posisinya sebagai rais syuriah PB NU, Mbah Muchit juga masih mau memimpin doa selamatan atau mengisi acara di tingkat kampung.

Bukan hanya itu. Saking totalnya, masalah kesehatan kadang tidak dipertimbangkan. Pada 1990-an itu, usia Mbah Muchit sudah lebih 70 tahun. Para aktivis PMII sangat sering mengadakan acara pengaderan. Mbah Muchit menjadi pemateri wajib bagi setiap acara seperti itu. Tempatnyabisaberjarak20–30 km dari rumah beliau. Namanya mahasiswa, mereka tidak memiiki kendaraan yang layak untuk menjemput. Satu-satunya jenis kendaraan yang tersedia adalah sepeda motor. Itu pun kebanyakan motor tua. Tak terhitung berapa puluh kali Mbah Muchit diboncengkan sepeda motor olong 70 yang tarikannya saja sudah tidak stabil. Begitu juga dengan suara knalpotnya. Jaraknya puluhan km lagi. Dan, Mbah Muchhith tidak pernah mengeluh.

Gus Dur pernah menyebut Kiai Muchit lebih mirip dosen ketimbang kiai. Itu karena intelktualitas beliau yang mumpuni. Sebagai murid langsung KH Hasyim Asy’ari, Mbah Muchit memang sering dimintai masukan oleh para pimpinan Unej. Terutama terkait dengan kultur masyarakat Jember yang mayoritas NU.

Meski banyak dikelilingi mahasiswa, Mbah Muchit hampir tidak pernah meminta bantuan mereka. Termasuk mengetik materi ceramah misalnya. Saat itu, sebagai rais syuriah PB NU, kesibukan beliau luar biasa. Jarang sekaili waktunya luang. Meski demikian, untuk materi ceramah, semua dikerjakan sendiri. Dengan mesin ketik tua. Kadang siang, kadang juga sampai larut malam. 

Mudah sekali mengenali Mbah Muchit sedang lembur materi ceramah. Bunyi cetak..... cetak...... dari mesin ketika manual berukuran besar terdengar keras dari masjid. Memang, kamar kerja Mbah Muchit hanya berjarak sekitar 3 meter dari serambi masjid sebelah utara. Sehigga kami yang memang sering tdur di masjid itu dengan jelas mendengarnya.

Yang lebih mengheranan lagi, Mbah Muchit tidak sekadar mengetik dalam kertas lembaran berkuruan folio. Tapi, di kertas manila berkuran besar. Itulah Power Point versi zaman itu. Jadi, huruf-huruf kecil di tuts mesin ketik itu dibikin bertumpuk-tumpuk hingga ukuran hurufnya sangat besar. Misalnya, membuat huruf Allah (dalam huruf Arab), disusun dari huruf-huruf alfabet higga terbentuk kata Allah berhuruf Arab. Alangkah telatennya. Kalau orang lain mungkin sudah menulisnya dengan spidol.

Ya, Mbah Muchit memang total di NU. Hampir seluruh hidupnya dicurahkan untuk NU. ”Saya ini di NU, saya niati ndandan awak (mereparasi diri).” Ucapan rendah hati seperti itu sangat sering kami dengar.

Selamat jalan Mbah Muchit, kiai yang rendah hati, ikhlas, dan istiqamah. Semoga Allah memberkan surga-Nya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar