Pupusnya Harapan di PAN
Djoko Susilo ; Mantan anggota FPAN DPR
|
JAWA
POS, 08 September 2015
KEPINDAHAN PAN dari Koalisi Merah Putih (KMP)
ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sangat mengagetkan masyarakat politik
Indonesia. Khususnya tentu saja jajaran pengurus PAN di semua lapisan,
termasuk para simpatisannya.
Padahal, masih segar dalam ingatan, kongres
PAN di Denpasar, Bali, pada Maret lalu mengukuhkan hasil rakernas di Jakarta
yang menegaskan bahwa PAN membangun koalisi permanen dengan KMP. Hal serupa
disampaikan Zulkifli Hasan yang kala itu terpilih sebagai ketua umum.
Sebenarnya, berganti posisi dalam politik itu
hal yang lumrah. Politik itu dinamis dan bagi Zulkifli, barangkali, juga
pragmatis. Hanya, meski pragmatis dan dinamis, politik memiliki etika.
Partai politik juga harus mendengarkan suara
konstituennya. Pada posisi inilah kepemimpinan Zulkifli mengalami ujian:
apakah dia seorang politikus pragmatis ala Machiavelli atau seorang yang
tahan uji dan teguh pendirian? Kongres Bali yang memilih dia dengan
kemenangan tipis enam suara atas rivalnya, Hatta Rajasa, itu memberikan
amanat dan mandat bahwa PAN akan berada dalam koalisi permanen dengan KMP.
Namun, keputusan kongres yang merupakan forum
tertinggi partai dengan begitu mudah diingkari. Lalu, apa sesungguhnya yang
hendak dicapai PAN saat ini?
Saya hadir waktu rapat-rapat perumusan nama,
struktur organisasi, dan AD/ART serta ideologi perjuangan PAN di Mega Mendung
pada Agustus 1998. Saat itu kalangan aktivis dan intelektual sangat berharap
dengan gerakan reformasi yang digelorakan Amien Rais dan tokoh-tokoh lainnya.
Jelas sekali semangat demokrasi dan reformasi yang ingin diusung PAN.
Saya juga bisa memastikan bahwa tidak ada
pengurus DPP PAN yang berkuasa sekarang ini yang hadir kala itu. Wajar
kiranya kalau semangat tersebut kemudian luntur di generasi sekarang.
Di antara puluhan pengurus harian DPP PAN
periode sekarang ini, tidak banyak yang dikenal publik dan bisa dikatakan
tidak memahami akar sejarah perjuangan berdirinya PAN itu sendiri. Mereka
tidak memahami semangat demokrasi dan reformasi yang dibawa dengan kelahiran
PAN.
Seharusnya keputusan menyeberang ke KIH atau
berbagai macam keputusan politik strategis lainnya dilakukan dengan cara yang
demokratis. PAN bukan hanya milik pengurus DPP, tetapi juga milik ratusan
pengurus dari tingkat pusat sampai ke daerah serta jutaan pemilihnya.
Tetapi, sekarang ini PAN sudah direduksi
menjadi ”milik” sang ketua umum dan beberapa pengurus yang dekat dengannya.
Bagaimana bisa dikatakan mau membela rakyat banyak, amanat kongres yang jelas
merupakan mandat dari anggota saja dengan mudah diabaikan?
Jika karena sesuatu hal merasa harus mengubah
kebijakan, pengurus semestinya meminta persetujuan partai melalui minimal
forum rakernas (rapat kerja nasional). Tampaknya hal yang demikian tidak
dipedulikan DPP PAN sehingga wajar di kemudian hari rakyat akan bertanya, apa
benar PAN partai yang amanah sesuai dengan namanya Partai Amanat Nasional?
Karena itu, wajar jika keputusan Zulkifli
Hasan lantas mendapat reaksi keras dari berbagai daerah. Artinya, itu
menambah daftar masalah setelah kongres. Misalnya, kebuntuan sejumlah
musyawarah wilayah. Kasus deadlock muswil PAN Jatim beberapa waktu lalu,
contohnya.
PAN tidak lagi menjadi harapan bagi
pendukungnya, termasuk konstituen inti seperti warga Muhammadiyah dan
kalangan intelektual perkotaan. Bahkan, kalangan aktivis akar rumput pun kini
merasa hanya dipakai kalau diperlukan tenaganya. Tidak ada perasaan senasib
seperjuangan seperti di kala awal PAN didirikan.
Keputusan Zulkifli membawa PAN mendukung
Jokowi bukan soal benar atau salah. Tapi, merupakan blunder politik karena
keputusan strategis tidak dibicarakan dan mendapatkan mandat dari jajaran
partai.
Di MPP PAN, hanya Ketua MPP Sutrisno Bachir
yang diajak bicara tanpa melibatkan rapat pleno anggota MPP. Menurut saya,
itu merupakan pengingkaran terhadap amanat anggota. Jadi tidak salah,
sekarang masyarakat kehilangan harapan akan tumbuhnya demokrasi yang sehat di
Indonesia.
Mengapa demikian? Sebab, PAN yang dibangun dengan semangat
demokrasi dan reformasi saja tidak bisa mempraktikkan gagasan yang menjadi
ideologinya.
Demokrasi memang melelahkan. Karena itu, jika
menjalankan demokrasi seperti yang selama ini dikampanyekan, Zulkifli harus
mampu meyakinkan minimal pengurus DPW, DPP, dan MPP PAN sebelum memutuskan
untuk menyeberang ke KIH. Nyatanya tidak. Wajar kalau sebagian anggota yang
mulai kehilangan harapan lambat laun akan meninggalkan PAN .
Saya masih berharap Zulkifli Hasan bisa
kembali kepada khitah reformasi dan demokrasi yang menjadi landasan kelahiran
PAN. Atau, harapan itu akan terputus di tengah jalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar