Sabtu, 12 September 2015

Pupusnya Harapan di PAN

Pupusnya Harapan di PAN

Djoko Susilo  ;  Mantan anggota FPAN DPR
                                                    JAWA POS, 08 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEPINDAHAN PAN dari Koalisi Merah Putih (KMP) ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sangat mengagetkan masyarakat politik Indonesia. Khususnya tentu saja jajaran pengurus PAN di semua lapisan, termasuk para simpatisannya.

Padahal, masih segar dalam ingatan, kongres PAN di Denpasar, Bali, pada Maret lalu mengukuhkan hasil rakernas di Jakarta yang menegaskan bahwa PAN membangun koalisi permanen dengan KMP. Hal serupa disampaikan Zulkifli Hasan yang kala itu terpilih sebagai ketua umum.

Sebenarnya, berganti posisi dalam politik itu hal yang lumrah. Politik itu dinamis dan bagi Zulkifli, barangkali, juga pragmatis. Hanya, meski pragmatis dan dinamis, politik memiliki etika.

Partai politik juga harus mendengarkan suara konstituennya. Pada posisi inilah kepemimpinan Zulkifli mengalami ujian: apakah dia seorang politikus pragmatis ala Machiavelli atau seorang yang tahan uji dan teguh pendirian? Kongres Bali yang memilih dia dengan kemenangan tipis enam suara atas rivalnya, Hatta Rajasa, itu memberikan amanat dan mandat bahwa PAN akan berada dalam koalisi permanen dengan KMP.

Namun, keputusan kongres yang merupakan forum tertinggi partai dengan begitu mudah diingkari. Lalu, apa sesungguhnya yang hendak dicapai PAN saat ini?

Saya hadir waktu rapat-rapat perumusan nama, struktur organisasi, dan AD/ART serta ideologi perjuangan PAN di Mega Mendung pada Agustus 1998. Saat itu kalangan aktivis dan intelektual sangat berharap dengan gerakan reformasi yang digelorakan Amien Rais dan tokoh-tokoh lainnya. Jelas sekali semangat demokrasi dan reformasi yang ingin diusung PAN.

Saya juga bisa memastikan bahwa tidak ada pengurus DPP PAN yang berkuasa sekarang ini yang hadir kala itu. Wajar kiranya kalau semangat tersebut kemudian luntur di generasi sekarang.

Di antara puluhan pengurus harian DPP PAN periode sekarang ini, tidak banyak yang dikenal publik dan bisa dikatakan tidak memahami akar sejarah perjuangan berdirinya PAN itu sendiri. Mereka tidak memahami semangat demokrasi dan reformasi yang dibawa dengan kelahiran PAN.

Seharusnya keputusan menyeberang ke KIH atau berbagai macam keputusan politik strategis lainnya dilakukan dengan cara yang demokratis. PAN bukan hanya milik pengurus DPP, tetapi juga milik ratusan pengurus dari tingkat pusat sampai ke daerah serta jutaan pemilihnya.

Tetapi, sekarang ini PAN sudah direduksi menjadi ”milik” sang ketua umum dan beberapa pengurus yang dekat dengannya. Bagaimana bisa dikatakan mau membela rakyat banyak, amanat kongres yang jelas merupakan mandat dari anggota saja dengan mudah diabaikan?

Jika karena sesuatu hal merasa harus mengubah kebijakan, pengurus semestinya meminta persetujuan partai melalui minimal forum rakernas (rapat kerja nasional). Tampaknya hal yang demikian tidak dipedulikan DPP PAN sehingga wajar di kemudian hari rakyat akan bertanya, apa benar PAN partai yang amanah sesuai dengan namanya Partai Amanat Nasional?

Karena itu, wajar jika keputusan Zulkifli Hasan lantas mendapat reaksi keras dari berbagai daerah. Artinya, itu menambah daftar masalah setelah kongres. Misalnya, kebuntuan sejumlah musyawarah wilayah. Kasus deadlock muswil PAN Jatim beberapa waktu lalu, contohnya.

PAN tidak lagi menjadi harapan bagi pendukungnya, termasuk konstituen inti seperti warga Muhammadiyah dan kalangan intelektual perkotaan. Bahkan, kalangan aktivis akar rumput pun kini merasa hanya dipakai kalau diperlukan tenaganya. Tidak ada perasaan senasib seperjuangan seperti di kala awal PAN didirikan.

Keputusan Zulkifli membawa PAN mendukung Jokowi bukan soal benar atau salah. Tapi, merupakan blunder politik karena keputusan strategis tidak dibicarakan dan mendapatkan mandat dari jajaran partai.

Di MPP PAN, hanya Ketua MPP Sutrisno Bachir yang diajak bicara tanpa melibatkan rapat pleno anggota MPP. Menurut saya, itu merupakan pengingkaran terhadap amanat anggota. Jadi tidak salah, sekarang masyarakat kehilangan harapan akan tumbuhnya demokrasi yang sehat di Indonesia. 

Mengapa demikian? Sebab, PAN yang dibangun dengan semangat demokrasi dan reformasi saja tidak bisa mempraktikkan gagasan yang menjadi ideologinya.
Demokrasi memang melelahkan. Karena itu, jika menjalankan demokrasi seperti yang selama ini dikampanyekan, Zulkifli harus mampu meyakinkan minimal pengurus DPW, DPP, dan MPP PAN sebelum memutuskan untuk menyeberang ke KIH. Nyatanya tidak. Wajar kalau sebagian anggota yang mulai kehilangan harapan lambat laun akan meninggalkan PAN .

Saya masih berharap Zulkifli Hasan bisa kembali kepada khitah reformasi dan demokrasi yang menjadi landasan kelahiran PAN. Atau, harapan itu akan terputus di tengah jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar