Ujian
Persistensi Demokrasi
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
|
KORAN
SINDO, 17 Desember 2014
Praktik
politik sepanjang 2014 memberi pesan kuat bahwa demokrasi kita memasuki fase
ujian. Gegap gempitanya penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden
telah menyedot perhatian publik sepanjang tahun ini, bahkan sebagian besar
masyarakat larut dalam euforia dukungan.
Salah
satu dampaknya, ruang publik kita disesaki informasi politik yang
berorientasi pada perebutan “kuasa opini”. Meminjam istilah John Keane dalam
The Humbling of the Intellectual (1998), sepanjang tahun ini bisa kita sebut sebagai
fase keberlimpahan komunikasi (communicative
abundance), terutama informasi politik yang setiap saat menerpa khalayak.
Daya Tahan
Dari
sekian banyak peristiwa politik yang melibatkan banyak aktor dengan segala
kepentingannya, satu hal yang seyogianya menjadi perhatian kita bersama bahwa
demokrasi bukan semata urusan kompetisi lima tahunan. Sangat penting
menempatkan perjalanan demokrasi kita sepanjang tahun ini dalam perspektif
konsolidasi demokrasi bukan semata-mata kontestasi pragmatis sesaat.
Larry
Diamond dalam Developing Democracy
toward Consolidation (1999) menulis bahwa konsolidasi demokrasi sebagai
upaya merawat stabilitas dan persistensi atau daya tahan demokrasi. Lebih
jauh lagi, konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya legitimasi yang kuat
sehingga semua aktor memiliki kepercayaan dan menjadi modal dasar bagi
pemerintahan demokratis.
Dengan
demikian, legitimasi menjadi kunci penting dalam proses menata Indonesia ke
depan. Persistensi demokrasi bisa kita maknai dalam tiga hal. Pertama,
demokrasi membutuhkan partisipasi masyarakat agar daya tahan demokrasi
sendiri tidak artifisial dan elitis. RA Dahl, dalam Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control (1982),
menyebutkan bahwa demokrasi memang senantiasa melibatkan dua variabel yakni
kontestasi dan partisipasi.
Keduanya
bisa menjadi ukuran bagaimana kualitas demokrasi elektoral diselenggarakan.
Apakah kontestasinya berjalan langsung, jujur, adil, bebas, dan rahasia atau
muncul sejumlah persoalan yang paradoks dengan hakikat demokrasi. Jika
masyarakat merasa menjadi bagian dalam laju perubahan maka sudah barang tentu
bisa menjadi modal sosial dan modal politik yang signifikan.
Sebaliknya jika rakyat hanya menjadi “sapi perahan” saat pemilu, pelan
tapi pasti lapis terbesar dari pemilih ini akan bangkit dan berteriak menagih
janji “sang pemenang” di kemudian hari. Kedua , daya tahan membutuhkan
kemampuan seluruh aktor elite untuk akrab dengan proses dialektika
relasional.
Leslie Baxter dan Barbara
Montgomery dalam Relating Dialogues and
Dialectics (1996) menggambarkan dialektika relasional sebagai situasi
yang dicirikan oleh ketegangan-ketegangan yang berkelanjutan antara
impuls-impuls yang kontradiktif. Berbagai isu bergulir dan menjadi dinamika
sekaligus indikator untuk mengukur performa pihak lawan. Misalnya dialektika
relasional terkait dengan pemerintahan awal Jokowi-JK.
Impresi publik di awal menjadi sangat penting bagi perjalanan
pemerintahan Jokowi-JK karena hal ini akan beririsan dengan harapan,
dukungan, sekaligus keterjagaan legitimasi yang telah dikantonginya seusai
pemilu. Peran para elite seperti Prabowo, Jokowi, ARB, SBY, dan seluruh aktor
elite lainnya juga akan diuji. Sebelum pelantikan Jokowi-JK digelar, ada
beberapa momentum komunikasi politik para elite yang patut diapresiasi dan
turut melahirkan suasana kondusif.
Langkah simpatik pimpinan MPR yang secara khusus menemui Jokowi-JK
(Senin, 13/10), kemudian Jokowi berjumpa dengan ARB (Rabu, 15/10), dan
tentunya yang paling menyedot perhatian khalayak adalah pertemuan Jokowi
dengan Prabowo (Jumat, 17/10). Perjumpaan para elite yang menjadi kunci
dinamika politik nasional saat ini bak “oase” di tengah kegersangan politik
kita sejak rivalitas pilpres bergulir.
Ketiga, daya tahan menghormati dan menjalankan aturan. Indonesia,
memang memasuki fase pemerintahan terbelah (divided government). Situasi ini harusnya dimaknai dan tetap
dijalani dengan nyali berkompetisi. Fenomena DPR tandingan yang mengemuka
beberapa waktu lalu, menjadi contoh langkah tak elegan dan membahayakan,
karena praktis sejak munculnya DPR tandingan itu membuat fungsi-fungsi DPR
tak bisa berjalan dan tersandera kepentingan golongan.
Potret
2015
Sepanjang tahun ini banyak “unfinished business” yang secara politis
akan turut mewarnai tahun 2015. Misalnya Perppu Pilkada dan tarik-menarik
kepentingan di tengah perpecahan di tubuh PPP dan Golkar. Sejumlah kebijakan
Jokowi-JK juga menjadi sorotan beragam pihak.
Meminjam asumsi Helmke dan Levitsky dalam Informal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda
(2004), akan muncul dan menguat empat pola interaksi politik di tahun 2015,
yakni pola melengkapi (complementary),
mengakomodasi (accommodating),
menyaingi (competing), dan
menggantikan (substitutive). Setiap
pola tersebut memiliki pendekatan yang berbeda-beda.
Ke depan, model asimetris akan memberi warna dominan dalam bangunan
komunikasi politik para aktor. Tidak terlalu jelas siapa lawan dan kawan
dalam gelanggang permainan. Pola kerja sama politik pun sangat mungkin
mengambil pilihan koopsi yang menyebabkan potensi gonta-ganti pasangan selalu
terbuka.
Hal ini disebabkan ketiadaan partai pemenang dominan di tengah
multipartai yang terfragmentasi kuat (a
highly fragmented multiparty system) sehingga semua pihak lebih memilih
demokrasi konsensus. Harapan kita, tentu saja semua elemen bangsa mau dan
mampu menyadari pentingnya merawat persistensi demokrasi guna memastikan kita
melaju ke arah yang tepat dengan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar