Kamis, 18 Desember 2014

Ujian Persistensi Demokrasi

                                     Ujian Persistensi Demokrasi

Gun Gun Heryanto  ;   Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
KORAN SINDO,  17 Desember 2014

                                                                                                                       


Praktik politik sepanjang 2014 memberi pesan kuat bahwa demokrasi kita memasuki fase ujian. Gegap gempitanya penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden telah menyedot perhatian publik sepanjang tahun ini, bahkan sebagian besar masyarakat larut dalam euforia dukungan.

Salah satu dampaknya, ruang publik kita disesaki informasi politik yang berorientasi pada perebutan “kuasa opini”. Meminjam istilah John Keane dalam The Humbling of the Intellectual (1998), sepanjang tahun ini bisa kita sebut sebagai fase keberlimpahan komunikasi (communicative abundance), terutama informasi politik yang setiap saat menerpa khalayak.

Daya Tahan

Dari sekian banyak peristiwa politik yang melibatkan banyak aktor dengan segala kepentingannya, satu hal yang seyogianya menjadi perhatian kita bersama bahwa demokrasi bukan semata urusan kompetisi lima tahunan. Sangat penting menempatkan perjalanan demokrasi kita sepanjang tahun ini dalam perspektif konsolidasi demokrasi bukan semata-mata kontestasi pragmatis sesaat.

Larry Diamond dalam Developing Democracy toward Consolidation (1999) menulis bahwa konsolidasi demokrasi sebagai upaya merawat stabilitas dan persistensi atau daya tahan demokrasi. Lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya legitimasi yang kuat sehingga semua aktor memiliki kepercayaan dan menjadi modal dasar bagi pemerintahan demokratis.

Dengan demikian, legitimasi menjadi kunci penting dalam proses menata Indonesia ke depan. Persistensi demokrasi bisa kita maknai dalam tiga hal. Pertama, demokrasi membutuhkan partisipasi masyarakat agar daya tahan demokrasi sendiri tidak artifisial dan elitis. RA Dahl, dalam Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control (1982), menyebutkan bahwa demokrasi memang senantiasa melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi.

Keduanya bisa menjadi ukuran bagaimana kualitas demokrasi elektoral diselenggarakan. Apakah kontestasinya berjalan langsung, jujur, adil, bebas, dan rahasia atau muncul sejumlah persoalan yang paradoks dengan hakikat demokrasi. Jika masyarakat merasa menjadi bagian dalam laju perubahan maka sudah barang tentu bisa menjadi modal sosial dan modal politik yang signifikan.

Sebaliknya jika rakyat hanya menjadi “sapi perahan” saat pemilu, pelan tapi pasti lapis terbesar dari pemilih ini akan bangkit dan berteriak menagih janji “sang pemenang” di kemudian hari. Kedua , daya tahan membutuhkan kemampuan seluruh aktor elite untuk akrab dengan proses dialektika relasional.

 Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam Relating Dialogues and Dialectics (1996) menggambarkan dialektika relasional sebagai situasi yang dicirikan oleh ketegangan-ketegangan yang berkelanjutan antara impuls-impuls yang kontradiktif. Berbagai isu bergulir dan menjadi dinamika sekaligus indikator untuk mengukur performa pihak lawan. Misalnya dialektika relasional terkait dengan pemerintahan awal Jokowi-JK.

Impresi publik di awal menjadi sangat penting bagi perjalanan pemerintahan Jokowi-JK karena hal ini akan beririsan dengan harapan, dukungan, sekaligus keterjagaan legitimasi yang telah dikantonginya seusai pemilu. Peran para elite seperti Prabowo, Jokowi, ARB, SBY, dan seluruh aktor elite lainnya juga akan diuji. Sebelum pelantikan Jokowi-JK digelar, ada beberapa momentum komunikasi politik para elite yang patut diapresiasi dan turut melahirkan suasana kondusif.

Langkah simpatik pimpinan MPR yang secara khusus menemui Jokowi-JK (Senin, 13/10), kemudian Jokowi berjumpa dengan ARB (Rabu, 15/10), dan tentunya yang paling menyedot perhatian khalayak adalah pertemuan Jokowi dengan Prabowo (Jumat, 17/10). Perjumpaan para elite yang menjadi kunci dinamika politik nasional saat ini bak “oase” di tengah kegersangan politik kita sejak rivalitas pilpres bergulir.

Ketiga, daya tahan menghormati dan menjalankan aturan. Indonesia, memang memasuki fase pemerintahan terbelah (divided government). Situasi ini harusnya dimaknai dan tetap dijalani dengan nyali berkompetisi. Fenomena DPR tandingan yang mengemuka beberapa waktu lalu, menjadi contoh langkah tak elegan dan membahayakan, karena praktis sejak munculnya DPR tandingan itu membuat fungsi-fungsi DPR tak bisa berjalan dan tersandera kepentingan golongan.

Potret 2015

Sepanjang tahun ini banyak “unfinished business” yang secara politis akan turut mewarnai tahun 2015. Misalnya Perppu Pilkada dan tarik-menarik kepentingan di tengah perpecahan di tubuh PPP dan Golkar. Sejumlah kebijakan Jokowi-JK juga menjadi sorotan beragam pihak.

Meminjam asumsi Helmke dan Levitsky dalam Informal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda (2004), akan muncul dan menguat empat pola interaksi politik di tahun 2015, yakni pola melengkapi (complementary), mengakomodasi (accommodating), menyaingi (competing), dan menggantikan (substitutive). Setiap pola tersebut memiliki pendekatan yang berbeda-beda.

Ke depan, model asimetris akan memberi warna dominan dalam bangunan komunikasi politik para aktor. Tidak terlalu jelas siapa lawan dan kawan dalam gelanggang permainan. Pola kerja sama politik pun sangat mungkin mengambil pilihan koopsi yang menyebabkan potensi gonta-ganti pasangan selalu terbuka.

Hal ini disebabkan ketiadaan partai pemenang dominan di tengah multipartai yang terfragmentasi kuat (a highly fragmented multiparty system) sehingga semua pihak lebih memilih demokrasi konsensus. Harapan kita, tentu saja semua elemen bangsa mau dan mampu menyadari pentingnya merawat persistensi demokrasi guna memastikan kita melaju ke arah yang tepat dengan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar