Nilai
Tukar Rupiah pada 2015
Makmur Keliat ; Pengajar Ekonomi Politik Internasional FISIP
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
26 Desember 2014
BAGAIMANAKAH
nilai tukar rupiah tahun depan? Kebijakan apakah yang harus dilakukan untuk
menanggapi nilai tukar rupiah yang cenderung menurun?
Pertanyaan-pertanyaan
ini sebenarnya tidak dapat dijawab dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Dari
analisis dinamika ekonomi politik global, penyebab utamanya sangat nyata.
Tidak adanya otoritas moneter internasional yang terpusat dan tunggal dengan
kapasitas kelembagaan yang memadai untuk
mengelola dinamika lalu lintas modal global telah membawa tiga ciri
khusus dalam perkembangan tatanan keuangan internasional saat ini.
Pertama,
instabilitas nilai tukar mata uang nasional adalah sesuatu yang inheren dalam
tatanan keuangan internasional pasca runtuhnya rezim nilai tukar tetap.
Kedua, lalu lintas modal dengan besaran jumlah luar biasa telah memberikan
tekanan kebijakan bagi setiap negara. Ketiga, kecuali negara-negara besar,
tidak semua otoritas moneter setiap negara memiliki ruang otonomi cukup luas
untuk meluncurkan tindakan moneter secara sepihak di tengah-tengah rezim
instabilitas dan tekanan pasar keuangan global tersebut.
Yang
dapat dilakukan kemudian adalah merancang kebijakan berdasarkan beberapa
skenario. Analisis yang dilakukan menunjukkan ada tiga skenario: pesimistik,
optimistik, dan moderat.
Dinamika keuangan global
Walau
pada 2008 pernah terlanda krisis keuangan, Amerika Serikat telah menggunakan
ruang otonominya untuk mendikte tekanan dinamika keuangan global. Dengan
meluncurkan kebijakan kontroversial, dengan istilah quantitative easing (QE), otoritas moneter The Fed menginjeksi jumlah dana yang sangat besar pada pasar keuangan. Kebijakan ini dilakukan
dengan cara membeli surat-surat berharga dalam empat gelombang.
Gelombang
pertama pada Maret 2009 hingga Maret 2010 dengan besaran dana 1,5 triliun
dollar AS. Karena dirasakan belum cukup untuk menciptakan lapangan kerja yang
maksimum, The Fed meluncurkan QE tahap kedua pada November 2010 hingga Juli
2011. Suntikan dana yang dilakukan pada tahap ini 75 miliar dollar AS.
Gelombang ketiga dikenal dengan istilah ”Operation Twist”. Diluncurkan pada
September 2011, The Fed membeli surat berharga jangka panjang dengan total
nilai 667 miliar dollar AS. Tahapan terakhir (QE3) diluncurkan pada September
2013 dengan suntikan besaran dana 40 miliar dollar AS.
Seluruh
kebijakan QE dan Operation Twist ini
diumumkan berhenti pada Desember 2013. The Fed kemudian juga
mengumumkan suatu kebijakan baru,
dikenal dengan istilah tapering off, yang pada dasarnya merupakan pembalikan
dari kebijakan QE. Jika berlangsung sesuai dengan rancangan, seluruh langkah kebijakan QE akan selesai
pelaksanaannya pada akhir 2014 ini. Ini berarti, mulai awal 2015, kebijakan
sebaliknya yang akan terjadi. Otoritas moneter negeri itu akan menawarkan
surat berharga yang telah dibelinya ke pasar keuangan. Dalam rangka mendukung
pembalikan kebijakan dari QE ke tapering off ini, terdapat dugaan pula bahwa
tingkat bunga acuan (The Federal Fund) akan meningkat. Jika pada periode QE
tingkat pengenaan bunga acuan 0,25 persen, pada masa tapering off ini
diperkirakan meningkat secara bertahap
hingga 2 persen pada 2015.
Skenario pesimistik
Proyeksi
tentang berakhirnya periode ”dana murah” yang lahir dari kebijakan QE, yang
diperkirakan menjadi ”penyebab utama” menurunnya nilai tukar mata uang nasional
di banyak negara, ini telah melahirkan tiga skenario. Skenario pertama adalah
pesimistik. Skenario ini dibangun dengan tiga prakiraan berikut.
Pertama,
sebagian dana yang diinjeksi melalui QE telah tersebar melalui berbagai
mekanisme ke berbagai belahan dunia lainnya, termasuk ke Indonesia. Kedua,
instrumen peningkatan tingkat bunga yang dilakukan otoritas moneter di AS
untuk mewujudkan kebijakan tapering off
itu diperkirakan jauh lebih diminati dibandingkan dengan instrumen tingkat
bunga di negara lain. Ketiga, tingkat kepercayaan terhadap produk-produk
keuangan dan surat berharga yang menjadi aset otoritas moneter AS sangat
tinggi mengingat dua fakta berikut: dollar merupakan mata uang internasional
dan otoritas moneter negeri itu hampir tidak memiliki keterbatasan kapasitas
untuk ”mencetak uang” dalam jumlah besar seperti yang terlihat dalam kasus
kebijakan QE.
Dengan
tiga prakiraan, AS disebut akan menawarkan wilayah tujuan bisnis yang jauh
lebih menyenangkan bagi para pelaku di sektor keuangan dibandingkan dengan
wilayah lain. Aliran modal dunia akan mengalir ke AS. Pada gilirannya tekanan
permintaan terhadap dollar akan meningkat dan ini berarti memberikan dorongan
bagi penurunan nilai tukar mata uang nasional di banyak negara, termasuk Indonesia.
Inti
dari skenario ini adalah Indonesia hampir tak memiliki ruang otonom untuk
meluncurkan kebijakan penurunan nilai tukar berbasis global ini. Sebagai
negara berkembang, Indonesia hanya tinggal menunggu saja sejauh mana
kebijakan-kebijakan tapering off
itu nantinya secara konsisten akan direalisasikan oleh AS pada tahun depan.
Berdasarkan
analisis seperti ini, diperkirakan pelarian modal pasti akan terjadi. Nilai
tukar rupiah kemungkinan akan menembus angka Rp 15.000. Kalaupun ada yang dapat dilakukan,
barangkali dengan mendesak BI menerapkan instrumen kebijakan tingkat bunga
yang sangat tinggi dengan tujuan untuk mencegah aliran modal negatif. Namun,
kebijakan ini berdampak buruk bagi sektor riil dan mengancam penciptaan
lapangan kerja. Apakah skenario terburuk ini akan diterima dengan begitu
saja? Tampaknya kehati-hatian harus dimunculkan.
Kelemahan
analisis pesimistik, pertama-tama, tampak dari sifatnya yang satu arah.
Analisis ini tidak memperkirakan hubungan interaktif antara pelaku pasar dan
kebijakan pemerintah di pusat-pusat keuangan negara lain. Ia mengabaikan
tanggapan kebijakan yang kemungkinan diberikan otoritas moneter dari
negara-negara besar seperti Jepang, Tiongkok, dan Uni Eropa. Analisis ini
juga mengabaikan mekanisme kesiagaan dan stabilisasi regional yang telah
disiapkan, misalnya melalui kerangka Chiang Mai Initiative di kawasan
ASEAN/Asia Timur.
Kelemahan
lain terletak pada tataran empiriknya. Skenario pesimistik tak memperkirakan
seberapa besar penurunan itu dan apakah penurunan itu bersifat siklikal
ataukah permanen. Sebagai misal, analisis pesimistik terlalu sederhana dalam
melihat hubungan antara kebijakan QE dan investasi portofolio di sektor
keuangan di Indonesia. Seperti yang sudah disebutkan, kebijakan ”dana murah” berlangsung
dalam empat gelombang dari Mei 2009
hingga September 2013. Apakah kemudian kita dengan mudah menyatakan bahwa
seluruh peningkatan investasi portofolio di Indonesia dari 2009 hingga 2013
berasal dari kebijakan QE itu?
Optimistik-moderat
Kemunculan
skenario optimistik dan moderat dibangun atas dasar adanya kelemahan skenario
pesimistik. Skenario optimistik dapat disebut sebagai skenario
normal-siklikal.
Skenario
ini pada intinya menyatakan bahwa nilai tukar rupiah akan kembali pada
keseimbangan normal. Ini setidaknya berdasarkan angka yang diperkirakan Bank
Indonesia atau DPR, yaitu berada di kisaran angka Rp 12.000. Skenario ini
akan muncul dengan lima prasyarat. Pertama, jika pelaku pasar tak mengalami
kepanikan. Karena itu, usaha ekstra untuk menciptakan transparansi tentang
situasi lalu lintas keuangan perlu dilakukan oleh otoritas moneter di
Indonesia (BI).
Kedua,
jika langkah-langkah kebijakan di AS tidak berjalan secara konsisten dan
berjalan dalam proses yang lambat. Karena itu, perlu mencermati dengan jeli
pelaksanaan kebijakan pembalikan QE ini.
Ketiga,
otoritas moneter di Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa membuat kebijakan
pengendalian terhadap dampak negatif dari kebijakan otoritas moneter AS.
Karena itu, fenomena ”perang mata uang” (currency
war) tidak dapat diabaikan dan membutuhkan suatu unit khusus untuk
mencermatinya.
Keempat,
jika terdapat konsistensi kebijakan
yang kuat dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk melakukan
konsolidasi fiskal dengan menaikkan harga bahan bakar minyak dan mengalihkan
subsidi itu pada pendanaan infrastruktur tidak terhambat.
Kelima,
jika pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla segera memperbaiki ranking
kemudahan melakukan bisnis (ease of
doing business), misalnya dengan segera mewujudkan fasilitas one-stop service bagi investor untuk
mendapatkan perizinan.
Adapun
skenario moderat pada dasarnya berada di antara optimistik dan pesimistik
itu. Tekanan terhadap neraca pembayaran diproyeksikan memang akan terjadi,
tetapi tidak terlalu besar dan masih dapat dikendalikan. Nilai tukar tentu
akan merosot. Namun, kemerosotan itu tidak akan melewati angka Rp 15.000 per
dollar AS, seperti yang disebutkan oleh analisis pesimistik, tetapi tidak
juga akan berada pada angka seperti yang diproyeksikan oleh analisis
optimistik. Kemerosotan ini terutama terjadi karena memang porsi utang luar
negeri yang dibuat pihak swasta telah melebihi angka 50 persen dan
sebagian merupakan utang jangka pendek
(kurang dari setahun). Kemerosotan ini juga terjadi karena kecenderungan
penurunan harga hampir seluruh komoditas di pasar internasional. Penurunan
ini diperkirakan akan membuat skenario optimistik tidak dapat diwujudkan.
Alasan
lainnya karena karakter regulasi nasional. Otoritas moneter tidak mewajibkan para eksportir untuk
menyimpan perolehan ekspornya di Indonesia.
Otoritas moneter juga tidak memberikan ”jaminan penuh” (blanket guarantee) terhadap pemilik
modal yang menyimpan uangnya di Indonesia.
Karakter lain, tidak terdapat keharusan bagi para investor untuk menyimpan
dananya dalam periode waktu tertentu di Indonesia. Kesemua karakter ini
memberikan kontribusi kelabilan cukup tinggi dalam lalu lintas modal di
Indonesia pada tahun yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar