Sabtu, 27 Desember 2014

Nilai Tukar Rupiah pada 2015

                                  Nilai Tukar Rupiah pada 2015

Makmur Keliat  ;   Pengajar Ekonomi Politik Internasional FISIP Universitas Indonesia
KOMPAS,  26 Desember 2014

                                                                                                                       


BAGAIMANAKAH nilai tukar rupiah tahun depan? Kebijakan apakah yang harus dilakukan untuk menanggapi nilai tukar rupiah yang cenderung menurun? 
Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya tidak dapat dijawab dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Dari analisis dinamika ekonomi politik global, penyebab utamanya sangat nyata. Tidak adanya otoritas moneter internasional yang terpusat dan tunggal dengan kapasitas kelembagaan yang memadai untuk  mengelola dinamika lalu lintas modal global telah membawa tiga ciri khusus dalam perkembangan tatanan keuangan internasional saat ini.

Pertama, instabilitas nilai tukar mata uang nasional adalah sesuatu yang inheren dalam tatanan keuangan internasional pasca runtuhnya rezim nilai tukar tetap. Kedua, lalu lintas modal dengan besaran jumlah luar biasa telah memberikan tekanan kebijakan bagi setiap negara. Ketiga, kecuali negara-negara besar, tidak semua otoritas moneter setiap negara memiliki ruang otonomi cukup luas untuk meluncurkan tindakan moneter secara sepihak di tengah-tengah rezim instabilitas dan tekanan pasar keuangan global tersebut.

Yang dapat dilakukan kemudian adalah merancang kebijakan berdasarkan beberapa skenario. Analisis yang dilakukan menunjukkan ada tiga skenario: pesimistik, optimistik, dan moderat.

Dinamika keuangan global

Walau pada 2008 pernah terlanda krisis keuangan, Amerika Serikat telah menggunakan ruang otonominya untuk mendikte tekanan dinamika keuangan global. Dengan meluncurkan kebijakan kontroversial, dengan istilah quantitative easing (QE), otoritas moneter The Fed menginjeksi jumlah dana yang sangat besar pada  pasar keuangan. Kebijakan ini dilakukan dengan cara membeli surat-surat berharga dalam empat gelombang.

Gelombang pertama pada Maret 2009 hingga Maret 2010 dengan besaran dana 1,5 triliun dollar AS. Karena dirasakan belum cukup untuk menciptakan lapangan kerja yang maksimum, The Fed meluncurkan QE tahap kedua pada November 2010 hingga Juli 2011. Suntikan dana yang dilakukan pada tahap ini 75 miliar dollar AS. Gelombang ketiga dikenal dengan istilah ”Operation Twist”. Diluncurkan pada September 2011, The Fed membeli surat berharga jangka panjang dengan total nilai 667 miliar dollar AS. Tahapan terakhir (QE3) diluncurkan pada September 2013 dengan suntikan besaran dana 40 miliar dollar AS.

Seluruh kebijakan QE dan Operation Twist ini  diumumkan berhenti pada Desember 2013. The Fed kemudian juga mengumumkan  suatu kebijakan baru, dikenal dengan istilah tapering off, yang pada dasarnya merupakan pembalikan dari kebijakan QE. Jika berlangsung sesuai dengan rancangan,  seluruh langkah kebijakan QE akan selesai pelaksanaannya pada akhir 2014 ini. Ini berarti, mulai awal 2015, kebijakan sebaliknya yang akan terjadi. Otoritas moneter negeri itu akan menawarkan surat berharga yang telah dibelinya ke pasar keuangan. Dalam rangka mendukung pembalikan kebijakan dari QE ke tapering off ini, terdapat dugaan pula bahwa tingkat bunga acuan (The Federal Fund) akan meningkat. Jika pada periode QE tingkat pengenaan bunga acuan 0,25 persen, pada masa tapering off ini diperkirakan meningkat  secara bertahap hingga 2 persen pada 2015.

Skenario pesimistik

Proyeksi tentang berakhirnya periode ”dana murah” yang lahir dari kebijakan QE, yang diperkirakan menjadi ”penyebab utama” menurunnya nilai tukar mata uang nasional di banyak negara, ini telah melahirkan tiga skenario. Skenario pertama adalah pesimistik. Skenario ini dibangun dengan tiga prakiraan berikut.

Pertama, sebagian dana yang diinjeksi melalui QE telah tersebar melalui berbagai mekanisme ke berbagai belahan dunia lainnya, termasuk ke Indonesia. Kedua, instrumen peningkatan tingkat bunga yang dilakukan otoritas moneter di AS untuk mewujudkan kebijakan tapering off itu diperkirakan jauh lebih diminati dibandingkan dengan instrumen tingkat bunga di negara lain. Ketiga, tingkat kepercayaan terhadap produk-produk keuangan dan surat berharga yang menjadi aset otoritas moneter AS sangat tinggi mengingat dua fakta berikut: dollar merupakan mata uang internasional dan otoritas moneter negeri itu hampir tidak memiliki keterbatasan kapasitas untuk ”mencetak uang” dalam jumlah besar seperti yang terlihat dalam kasus kebijakan QE.

Dengan tiga prakiraan, AS disebut akan menawarkan wilayah tujuan bisnis yang jauh lebih menyenangkan bagi para pelaku di sektor keuangan dibandingkan dengan wilayah lain. Aliran modal dunia akan mengalir ke AS. Pada gilirannya tekanan permintaan terhadap dollar akan meningkat dan ini berarti memberikan dorongan bagi penurunan nilai tukar mata uang nasional di banyak negara, termasuk Indonesia.

Inti dari skenario ini adalah Indonesia hampir tak memiliki ruang otonom untuk meluncurkan kebijakan penurunan nilai tukar berbasis global ini. Sebagai negara berkembang, Indonesia hanya tinggal menunggu saja sejauh mana kebijakan-kebijakan tapering off itu nantinya secara konsisten akan direalisasikan oleh AS pada tahun depan.

Berdasarkan analisis seperti ini, diperkirakan pelarian modal pasti akan terjadi. Nilai tukar rupiah kemungkinan akan menembus angka Rp 15.000.  Kalaupun ada yang dapat dilakukan, barangkali dengan mendesak BI menerapkan instrumen kebijakan tingkat bunga yang sangat tinggi dengan tujuan untuk mencegah aliran modal negatif. Namun, kebijakan ini berdampak buruk bagi sektor riil dan mengancam penciptaan lapangan kerja. Apakah skenario terburuk ini akan diterima dengan begitu saja? Tampaknya kehati-hatian harus dimunculkan.

Kelemahan analisis pesimistik, pertama-tama, tampak dari sifatnya yang satu arah. Analisis ini tidak memperkirakan hubungan interaktif antara pelaku pasar dan kebijakan pemerintah di pusat-pusat keuangan negara lain. Ia mengabaikan tanggapan kebijakan yang kemungkinan diberikan otoritas moneter dari negara-negara besar seperti Jepang, Tiongkok, dan Uni Eropa. Analisis ini juga mengabaikan mekanisme kesiagaan dan stabilisasi regional yang telah disiapkan, misalnya melalui kerangka Chiang Mai Initiative di kawasan ASEAN/Asia Timur.

Kelemahan lain terletak pada tataran empiriknya. Skenario pesimistik tak memperkirakan seberapa besar penurunan itu dan apakah penurunan itu bersifat siklikal ataukah permanen. Sebagai misal, analisis pesimistik terlalu sederhana dalam melihat hubungan antara kebijakan QE dan investasi portofolio di sektor keuangan di Indonesia. Seperti yang sudah disebutkan, kebijakan ”dana murah” berlangsung dalam empat gelombang  dari Mei 2009 hingga September 2013. Apakah kemudian kita dengan mudah menyatakan bahwa seluruh peningkatan investasi portofolio di Indonesia dari 2009 hingga 2013 berasal dari kebijakan QE itu?

Optimistik-moderat

Kemunculan skenario optimistik dan moderat dibangun atas dasar adanya kelemahan skenario pesimistik. Skenario optimistik dapat disebut sebagai skenario normal-siklikal.

Skenario ini pada intinya menyatakan bahwa nilai tukar rupiah akan kembali pada keseimbangan normal. Ini setidaknya berdasarkan angka yang diperkirakan Bank Indonesia atau DPR, yaitu berada di kisaran angka Rp 12.000. Skenario ini akan muncul dengan lima prasyarat. Pertama, jika pelaku pasar tak mengalami kepanikan. Karena itu, usaha ekstra untuk menciptakan transparansi tentang situasi lalu lintas keuangan perlu dilakukan oleh otoritas moneter di Indonesia (BI). 

Kedua, jika langkah-langkah kebijakan di AS tidak berjalan secara konsisten dan berjalan dalam proses yang lambat. Karena itu, perlu mencermati dengan jeli pelaksanaan kebijakan pembalikan QE ini.

Ketiga, otoritas moneter di Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa membuat kebijakan pengendalian terhadap dampak negatif dari kebijakan otoritas moneter AS. Karena itu, fenomena ”perang mata uang” (currency war) tidak dapat diabaikan dan membutuhkan suatu unit khusus untuk mencermatinya.

Keempat, jika terdapat konsistensi kebijakan  yang kuat dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk melakukan konsolidasi fiskal dengan menaikkan harga bahan bakar minyak dan mengalihkan subsidi itu pada pendanaan infrastruktur tidak terhambat.

Kelima, jika pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla segera memperbaiki ranking kemudahan melakukan bisnis (ease of doing business), misalnya dengan segera mewujudkan fasilitas one-stop service bagi investor untuk mendapatkan perizinan.

Adapun skenario moderat pada dasarnya berada di antara optimistik dan pesimistik itu. Tekanan terhadap neraca pembayaran diproyeksikan memang akan terjadi, tetapi tidak terlalu besar dan masih dapat dikendalikan. Nilai tukar tentu akan merosot. Namun, kemerosotan itu tidak akan melewati angka Rp 15.000 per dollar AS, seperti yang disebutkan oleh analisis pesimistik, tetapi tidak juga akan berada pada angka seperti yang diproyeksikan oleh analisis optimistik. Kemerosotan ini terutama terjadi karena memang porsi utang luar negeri yang dibuat pihak swasta telah melebihi angka 50 persen dan sebagian  merupakan utang jangka pendek (kurang dari setahun). Kemerosotan ini juga terjadi karena kecenderungan penurunan harga hampir seluruh komoditas di pasar internasional. Penurunan ini diperkirakan akan membuat skenario optimistik tidak dapat diwujudkan.

Alasan lainnya karena karakter regulasi nasional. Otoritas moneter  tidak mewajibkan para eksportir untuk menyimpan perolehan ekspornya di Indonesia.  Otoritas moneter juga tidak memberikan ”jaminan penuh” (blanket guarantee) terhadap pemilik modal yang menyimpan uangnya di Indonesia.  Karakter lain, tidak terdapat keharusan bagi para investor untuk menyimpan dananya dalam periode waktu tertentu di Indonesia. Kesemua karakter ini memberikan kontribusi kelabilan cukup tinggi dalam lalu lintas modal di Indonesia pada tahun yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar