Sabtu, 27 Desember 2014

Kesiapan Hadapi MEA

                     Kesiapan Hadapi MEA

Hikmahanto Juwana  ;   Guru Besar Hukum Internasional UI
KOMPAS,  27 Desember 2014

                                                                                                                       


SATU tahun dari sekarang, Indonesia akan memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Salah satu karakteristik Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal (single market) dan tempat berproduksi (production base).

Hal penting untuk dipahami adalah pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berkaitan erat dengan pangsa pasar. Di dunia saat ini, negara tidak lagi bersaing untuk memperebutkan wilayah (territory) ataupun pengaruh (influence), tetapi pasar. Menjadi pertanyaan, apa makna pasar tunggal dan tempat berproduksi dengan terbentuknya MEA bagi Indonesia?

Secara sederhana, pasar tunggal berarti pelaku usaha dunia akan melihat pasar Indonesia sebagai ”bagian” dari pasar ASEAN. Sekali mereka bisa masuk di suatu negara ASEAN, produk atau jasa mereka bisa masuk ke Indonesia tanpa hambatan yang berarti.

Sementara makna dari tempat berproduksi berarti di antara negara anggota ASEAN, mereka tidak lagi dapat bersaing untuk menarik minat investor asing. Setiap anggota ASEAN harus memberikan insentif yang sama bagi para investor.

Intinya, meski kedaulatan ada di setiap negara ASEAN, secara pasar dan tempat berproduksi, negara-negara ASEAN adalah ”provinsi” yang harus mengikuti arahan dari ”pemerintah pusat”. Adapun pemerintah pusat yang dimaksud adalah forum pengambilan keputusan di level pejabat tinggi ASEAN. Lembaga ini akan menjadi lembaga supranasional.

Setiap keputusan lembaga supranasional yang berkaitan dengan pasar dan tempat berproduksi harus diimplementasikan oleh negara-negara ASEAN.

Siapkah kita?

Salah satu yang harus diimplementasikan negara-negara ASEAN untuk terbentuknya MEA adalah Cetak Biru MEA. Cetak Biru ini ditetapkan kepala pemerintahan ASEAN dalam Deklarasi 2007 di Singapura. Untuk dipahami, MEA berbeda dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Dalam AFTA, meski setiap negara ASEAN dapat memberlakukan tarif yang berbeda terhadap barang impor, barang impor yang berasal dari negara ASEAN harus sama.

Tarif yang sama ini yang dituangkan dalam Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Pengenaan tarif yang sama ini berada pada kisaran 0-5 persen. Tujuannya agar terjadi perdagangan antarpelaku asal negara ASEAN (intra-ASEAN trade). Meski berbeda antara MEA dan AFTA, AFTA telah dipraktikkan seperti MEA. Hal ini karena kebanyakan pelaku usaha antarnegara ASEAN bukanlah pelaku usaha asli negara ASEAN. Mereka adalah pelaku usaha mancanegara yang mendirikan usahanya di negara ASEAN tertentu untuk memproduksi barang yang diekspor ke negara ASEAN lainnya.

Bagi pelaku usaha mancanegara, skema ini lebih menguntungkan. Apabila suatu barang diproduksi di luar negara ASEAN, barang tersebut tak akan menikmati pengenaan tarif yang rendah. Keuntungan lain adalah ketika salah satu negara ASEAN seperti Indonesia menjadi pasar yang menjanjikan, tetapi iklim investasi tidak kondusif, produksi barang dapat dilakukan di negara ASEAN lainnya.

Bagi pelaku usaha mancanegara, pengenaan tarif paling tinggi 5 persen jauh lebih menguntungkan daripada harus menghadapi pungutan liar, demonstrasi buruh, dan ketidakpastian hukum yang kerap diasosiasikan pada Indonesia. Konsekuensi bagi Indonesia, pasar yang sangat besar tidak berkorelasi dengan lapangan pekerjaan dan pemasukan kepada negara.

Melihat kenyataan di atas, menjadi pertanyaan apakah Indonesia telah siap menghadapi MEA? Jawabannya terpulang pada kesiapan pemerintah. Tentu pemerintah di sini tidak dapat dibebankan pada pemerintahan Jokowi semata. Kesiapan pemerintah harus dilihat dari rentang pencanangan visi ASEAN 2020 pada 1997, ide percepatan lima tahunnya pada 2003 dalam Deklarasi Bali, dan Cetak Biru MEA 2007. Untuk melihat secara obyektif kesiapan pemerintah ada sejumlah ukuran.

Pertama, seberapa intensif dan masif pemerintah melakukan sosialisasi terhadap MEA kepada aparat dan publiknya. Sosialisasi terhadap MEA penting. Jangan sampai pada saat pemberlakuan, masyarakat dibuat terkejut (taken by surprise). Pemerintah sudah dapat dipastikan akan sibuk menghadapi demo yang silih berganti menentang keberlakuan MEA.

Kedua, apakah pelaku usaha asal Indonesia telah siap berkompetisi di negeri sendiri dengan pelaku usaha luar negeri? Jangan sampai pelaku usaha asal Indonesia kalah bersaing dalam mengeksploitasi pasar negeri sendiri.

Ketiga, apakah pelaku usaha asal Indonesia telah mampu melakukan penetrasi barang atau jasanya ke negara-negara di dunia? Ide MEA sebagai tempat berproduksi tentu tidak sekadar memfasilitasi penanam modal asing untuk melakukan ekspor, tetapi juga harus memfasilitasi pelaku usaha asal Indonesia.

Keempat, seberapa tuntas pemerintah telah melakukan transformasi terhadap berbagai kesepakatan yang ada dalam Cetak Biru MEA ke dalam hukum nasional?

Kelima, apakah pemerintah pusat dapat memastikan pemerintah daerah mengimplementasikan berbagai peraturan yang dibuatnya dalam rangka MEA? Ini mengingat pelaksanaan otonomi daerah memungkinkan pemda ”tidak patuh” pada peraturan pusat. Keenam, apakah pemerintah telah mengantisipasi kemungkinan masyarakat melakukan uji materi terhadap hukum nasional yang merupakan hasil transformasi Cetak Biru MEA?

Sikap pemerintah
                                      
Melihat kenyataan yang ada, jawaban dari enam pertanyaan di atas akan bermuara pada kekhawatiran Indonesia tidak akan siap menghadapi MEA. Bagi pemerintahan Jokowi, pilihannya hanya ada dua. Tetap pada komitmen menjalankan MEA atau menundanya. Apakah mungkin untuk menundanya? Memang dalam dokumen yang disepakati tidak ada pengaturan tentang penundaan.

Apabila tak diatur, apakah hal tersebut diperbolehkan? Tentu secara akademis ini dapat diperdebatkan. Namun, pemerintah tak memiliki kemewahan untuk memperdebatkannya, terlebih jika kepentingan nasional terancam untuk dirugikan.

Apabila pemerintah meminta untuk menunda MEA, posisi tawar pemerintah sangat kuat. Ini mengingat tanpa Indonesia, tak akan ada MEA. MEA tak akan atraktif di mata dunia apabila Indonesia tidak ada di dalamnya. Satu hal yang pasti, pemerintah tak boleh memberlakukan MEA atas dasar perasaan tak enak atau perasaan ewuh pakewuh. Dalam konteks ini, kedaulatan dan kepentingan nasional tak bisa dikalahkan dengan dua perasaan itu. Kalaupun MEA diberlakukan dan dalam perjalanannya merugikan kepentingan Indonesia, siapa pun yang berada dalam kontestasi presiden RI tahun 2019 akan menjadikan kegagalan Indonesia di MEA sebagai amunisi. Mereka akan berteriak lantang: keluar dari MEA daripada dirugikan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar