Selasa, 30 Desember 2014

Gong Kebyar Perlu Perspektif Baru

Gong Kebyar Perlu Perspektif Baru

Agus Bing   ;   Pelaku Seni
KOMPAS, 28 Desember 2014

                                                                                                                       


Membaca artikel Rahayu Supanggah, ”Seabad Gong Kebyar, Perlukah Perspektif Baru?” (Kompas, 20/11/2014), saya bisa memahami jika peristiwa kebyar dianggap modernisasi budaya musik Bali. Sekaligus, disinonimkan dengan semangat perubahan di Eropa. Asumsi tersebut sah-sah saja.

Sebagai bahasa, segala hasil kebudayaan, tak terkecuali peristiwa kebyar, memang bisa diibaratkan teks. Bisa dibaca, diinterpretasikan dari berbagai perspektif. Akan tetapi, saat artikel ini juga memuat pemikiran Michel Picard, persoalan jadi bias. Sebab, pemikiran Michel Picard justru kontraproduktif dengan spirit perubahan. Di mana posisi agen-agen sosial (termasuk orang Barat, Jawa), dianggap sekadar user: memanfaatkan, mengeksploitasi, memerkosa, melacurkan budaya Bali. Padahal, dalam konteks perubahan, agen sosial adalah salah satu variabel penting munculnya budaya baru. Termasuk modernisasi gong kebyar.

Michel Picard, dalam artikel tersebut, menulis: ”selama ini orang luar selalu bicara dan memuja Bali. Benarkah mereka kagum dan cinta? Ataukah ”sebaliknya”, memanfaatkan, mengeksploitasi (memerkosa dan melacurkannya) untuk keuntungan mereka? Sementara orang Bali yang pemilik hanya jadi pelaku? Sebagian besar seniman kebyar dan gamelannya tetap diangkut truk ke situs pemodal atau pengusaha (kebanyakan bukan orang Bali) dengan honorarium rendah. Orang Bali tetap tidak bicara (baik lewat seni dan tulisan) tentang mereka, musiknya, kebudayaannya, pariwisatanya, dan tetap membiarkan orang asing (termasuk Jawa) membicarakannya, menulisnya, dan menjualnya.

Kalimat di atas sekalipun diungkap dalam bentuk pertanyaan, tapi kalau tak dijembatani penjelasan komprehensif saya khawatir bisa memicu persoalan. Karena statement ini dalam konteks silogisme, barulah sebatas premis mayor. Orang luar (termasuk Jawa) diasumsikan subyek yang hanya memanfaatkan obyek (gong kebyar) demi keuntungan mereka. Dampaknya, seniman dan pemain gamelan kebyar tetap saja naik truk ke situs pemodal dengan honorarium rendah. Di titik ini seharusnya ada penjelasan lebih accountable sekaligus untuk membuktikan hipotesis tersebut.

Bali diam, Bali bergerak

Agen perubahan, dalam medan pemikiran paling mutakhir, tidak lagi dialamatkan hanya pada orang besar, berkuasa, atau berjasa pada negara. Tukang becak, kuli bangunan, juga agen perubahan. Mereka tetap punya andil atas hadirnya nilai-nilai baru. Karena itu, posisi agen perubahan, khususnya agen-agen sosial individu, tidak bisa dianggap enteng. Lebih-lebih hanya dituding penyebab kegagalan atau hancurnya suatu tatanan. Ini tidak fair. Sekalipun risiko ke arah itu juga ada, semua harus tetap dilandasi data faktual. Tak hanya berasumsi, tetapi harus teruji.

Agen perubahan hakikatnya tak hanya orang luar: Barat, Jawa, dan lain-lain. Orang lokal, si empunya gong kebyar, juga agen perubahan. Karena itulah, terjadinya modernisasi gong kebyar sebenarnya juga tak luput dari peran orang lokal. Akibat interaksi kultural dengan orang luar, maka terjadilah fenomena budaya campur. Jadi, yang harus dijelaskan sebenarnya tak hanya ”siapa” yang memengaruhi dan dampak dari pengaruh tersebut. Namun, juga faktor lain yang ikut berperan atas terjadinya perubahan.

Saya meyakini, sebagai pemegang kuasa atas seluruh warisan budaya lokal, orang Bali tentu punya strategi sendiri dalam menghadapi modernisasi. Bisa saja strategi tersebut konsepnya diambil dari ajaran tradisi, salah satunya ngayah. Ngayah, dalam pandangan paling sederhana, bisa dimaknai tindakan ikhlas, tanpa pamrih. Karena semua yang dilakukan hanya untuk Dewa. Kemungkinan, bertolak dari ajaran inilah orang Bali selalu ”diam” atas tindakan pihak-pihak luar mengeksplorasi (bukan mengeksploitasi) kekayaan budayanya. Akan tetapi, yang juga penting dipahami, di balik diamnya orang Bali, pikiran mereka ternyata bergerak melampaui batas-batas tradisinya sendiri.

Demi membuktikan hal ini kiranya penting mencermati kebiasaan orang Bali yang selalu ke pura, membuat banten, melakukan odalan, menabuh gamelan, menari, melukis, mematung, mengukir, membuat ogoh-ogoh, layang-layang, tak terkecuali naik truk ramai-ramai saat ngayah ke desa tetangga atau pentas di hotel dan tempat wisata. Bagi orang luar, kegiatan ini mungkin dianggap sia-sia karena terlalu kuno. Namun siapa sangka, tindakan ini hanyalah bagian kecil dari seluruh aktivitas orang Bali yang ternyata sangat multidimensi. Pada satu
sisi, selain masih taat adat dan agamanya, sebagai masyarakat global mereka juga terlibat dalam dinamika globalisasi.

Hal ini bisa dicermati dari eksistensi seniman-seniman Bali, khususnya yang berkarya di jalur kontemporer. Sekalipun dalam keseharian mereka tidak pernah lepas dari aturan tradisi, tetapi karya seninya jauh melampaui sekat-sekat modernitas. Hal demikian ternyata juga terjadi di wilayah pemikiran ilmiah. Dewasa ini, di Bali banyak ditemukan hasil-hasil penelitian yang obyek dan landasan teoretiknya memanfaatkan teori-teori postmodern. Hal ini, sekalipun belum bisa dijadikan tolok ukur, bahwa masyarakat Bali sudah paham hakikat postmodern, tapi apa yang dilakukan bisa dijadikan bukti bahwa tindakan dan pikiran mereka ternyata tidak ”diam”. Tetapi telah bergerak menjangkau simbol-simbol peradaban global, termasuk perkembangan di bidang ilmu pengetahuan.

Bali adalah kita

Di dalam konteks ke-Indonesia-an, Bali sesungguhnya juga punya kita. Oleh karena itu, kalau sekadar ikut nimbrung membicarakan, mengkaji, dan mengapresiasi seluruh seni budaya Bali, kita tentu tak harus minta maaf. Sebab, seperti halnya yang kita lakukan pada hasil-hasil kebudayaan Barat: ilmu, musik, seni rupa, fashion, dan lain-lain, kita juga tak pernah minta maaf karena kebudayaan mereka kita pakai, kita kaji, bahkan kita klaim milik kita. Demikian sebaliknya, seni gamelan. Sekalipun telah dimainkan, dipelajari, dan dikaji oleh orang-orang Barat, mereka juga tak harus minta maaf kepada kita. Justru kita malah bangga, gamelan dan kekayaan budaya Nusantara diapresiasi, dipakai, dan dikaji oleh masyarakat dunia.

Apa yang terjadi pada gong kebyar sebaiknya juga demikian. Sepanjang kita tidak pernah masuk ke wilayah privat: menyangkut nilai-nilai estetis, teknis, atau yang berkaitan dengan aturan adat, keyakinan, maka kita sebenarnya boleh membicarakan atau mengkajinya. Hal ini tak lepas dari sense of belonging akibat rasa ke-Indonesia-an yang kita miliki. Karena itu, gong kebyar penting diberi perspektif baru agar sejalan dengan napas zaman. Salah satunya, dikaji menggunakan peradigma ilmu pengetahuan terkini (teori-teori kritis) agar selain jadi pusat seni tradisional dan kontemporer, Bali juga menjadi pusat studi kajian budaya yang orientasinya ke budaya akulturatif, hibridatif, minoritas, dan budaya urban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar