Gong
Kebyar Perlu Perspektif Baru
Agus Bing ; Pelaku Seni
|
KOMPAS,
28 Desember 2014
Membaca artikel Rahayu
Supanggah, ”Seabad Gong Kebyar, Perlukah Perspektif Baru?” (Kompas, 20/11/2014), saya bisa
memahami jika peristiwa kebyar dianggap modernisasi budaya musik Bali.
Sekaligus, disinonimkan dengan semangat perubahan di Eropa. Asumsi tersebut
sah-sah saja.
Sebagai bahasa, segala hasil
kebudayaan, tak terkecuali peristiwa kebyar, memang bisa diibaratkan teks.
Bisa dibaca, diinterpretasikan dari berbagai perspektif. Akan tetapi, saat
artikel ini juga memuat pemikiran Michel Picard, persoalan jadi bias. Sebab,
pemikiran Michel Picard justru kontraproduktif dengan spirit perubahan. Di
mana posisi agen-agen sosial (termasuk orang Barat, Jawa), dianggap sekadar
user: memanfaatkan, mengeksploitasi, memerkosa, melacurkan budaya Bali.
Padahal, dalam konteks perubahan, agen sosial adalah salah satu variabel
penting munculnya budaya baru. Termasuk modernisasi gong kebyar.
Michel Picard, dalam artikel
tersebut, menulis: ”selama ini orang luar selalu bicara dan memuja Bali.
Benarkah mereka kagum dan cinta? Ataukah ”sebaliknya”, memanfaatkan,
mengeksploitasi (memerkosa dan melacurkannya) untuk keuntungan mereka?
Sementara orang Bali yang pemilik hanya jadi pelaku? Sebagian besar seniman
kebyar dan gamelannya tetap diangkut truk ke situs pemodal atau pengusaha
(kebanyakan bukan orang Bali) dengan honorarium rendah. Orang Bali tetap tidak
bicara (baik lewat seni dan tulisan) tentang mereka, musiknya, kebudayaannya,
pariwisatanya, dan tetap membiarkan orang asing (termasuk Jawa)
membicarakannya, menulisnya, dan menjualnya.
Kalimat di atas sekalipun
diungkap dalam bentuk pertanyaan, tapi kalau tak dijembatani penjelasan
komprehensif saya khawatir bisa memicu persoalan. Karena statement ini dalam
konteks silogisme, barulah sebatas premis mayor. Orang luar (termasuk Jawa)
diasumsikan subyek yang hanya memanfaatkan obyek (gong kebyar) demi keuntungan
mereka. Dampaknya, seniman dan pemain gamelan kebyar tetap saja naik truk ke
situs pemodal dengan honorarium rendah. Di titik ini seharusnya ada
penjelasan lebih accountable sekaligus untuk membuktikan hipotesis tersebut.
Bali diam, Bali bergerak
Agen perubahan, dalam medan
pemikiran paling mutakhir, tidak lagi dialamatkan hanya pada orang besar,
berkuasa, atau berjasa pada negara. Tukang becak, kuli bangunan, juga agen
perubahan. Mereka tetap punya andil atas hadirnya nilai-nilai baru. Karena itu,
posisi agen perubahan, khususnya agen-agen sosial individu, tidak bisa
dianggap enteng. Lebih-lebih hanya dituding penyebab kegagalan atau hancurnya
suatu tatanan. Ini tidak fair. Sekalipun risiko ke arah itu juga ada, semua
harus tetap dilandasi data faktual. Tak hanya berasumsi, tetapi harus teruji.
Agen perubahan hakikatnya tak
hanya orang luar: Barat, Jawa, dan lain-lain. Orang lokal, si empunya gong
kebyar, juga agen perubahan. Karena itulah, terjadinya modernisasi gong kebyar
sebenarnya juga tak luput dari peran orang lokal. Akibat interaksi kultural
dengan orang luar, maka terjadilah fenomena budaya campur. Jadi, yang harus
dijelaskan sebenarnya tak hanya ”siapa” yang memengaruhi dan dampak dari
pengaruh tersebut. Namun, juga faktor lain yang ikut berperan atas terjadinya
perubahan.
Saya meyakini, sebagai pemegang
kuasa atas seluruh warisan budaya lokal, orang Bali tentu punya strategi
sendiri dalam menghadapi modernisasi. Bisa saja strategi tersebut konsepnya
diambil dari ajaran tradisi, salah satunya ngayah. Ngayah, dalam pandangan
paling sederhana, bisa dimaknai tindakan ikhlas, tanpa pamrih. Karena semua
yang dilakukan hanya untuk Dewa. Kemungkinan, bertolak dari ajaran inilah
orang Bali selalu ”diam” atas tindakan pihak-pihak luar mengeksplorasi (bukan
mengeksploitasi) kekayaan budayanya. Akan tetapi, yang juga penting dipahami,
di balik diamnya orang Bali, pikiran mereka ternyata bergerak melampaui
batas-batas tradisinya sendiri.
Demi membuktikan hal ini kiranya
penting mencermati kebiasaan orang Bali yang selalu ke pura, membuat banten,
melakukan odalan, menabuh gamelan, menari, melukis, mematung, mengukir,
membuat ogoh-ogoh, layang-layang, tak terkecuali naik truk ramai-ramai saat
ngayah ke desa tetangga atau pentas di hotel dan tempat wisata. Bagi orang
luar, kegiatan ini mungkin dianggap sia-sia karena terlalu kuno. Namun siapa
sangka, tindakan ini hanyalah bagian kecil dari seluruh aktivitas orang Bali
yang ternyata sangat multidimensi. Pada satu
sisi, selain masih taat adat dan
agamanya, sebagai masyarakat global mereka juga terlibat dalam dinamika
globalisasi.
Hal ini bisa dicermati dari
eksistensi seniman-seniman Bali, khususnya yang berkarya di jalur
kontemporer. Sekalipun dalam keseharian mereka tidak pernah lepas dari aturan
tradisi, tetapi karya seninya jauh melampaui sekat-sekat modernitas. Hal
demikian ternyata juga terjadi di wilayah pemikiran ilmiah. Dewasa ini, di
Bali banyak ditemukan hasil-hasil penelitian yang obyek dan landasan
teoretiknya memanfaatkan teori-teori postmodern. Hal ini, sekalipun belum
bisa dijadikan tolok ukur, bahwa masyarakat Bali sudah paham hakikat
postmodern, tapi apa yang dilakukan bisa dijadikan bukti bahwa tindakan dan
pikiran mereka ternyata tidak ”diam”. Tetapi telah bergerak menjangkau
simbol-simbol peradaban global, termasuk perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan.
Bali adalah kita
Di dalam konteks
ke-Indonesia-an, Bali sesungguhnya juga punya kita. Oleh karena itu, kalau
sekadar ikut nimbrung membicarakan, mengkaji, dan mengapresiasi seluruh seni budaya
Bali, kita tentu tak harus minta maaf. Sebab, seperti halnya yang kita
lakukan pada hasil-hasil kebudayaan Barat: ilmu, musik, seni rupa, fashion,
dan lain-lain, kita juga tak pernah minta maaf karena kebudayaan mereka kita
pakai, kita kaji, bahkan kita klaim milik kita. Demikian sebaliknya, seni
gamelan. Sekalipun telah dimainkan, dipelajari, dan dikaji oleh orang-orang
Barat, mereka juga tak harus minta maaf kepada kita. Justru kita malah
bangga, gamelan dan kekayaan budaya Nusantara diapresiasi, dipakai, dan
dikaji oleh masyarakat dunia.
Apa yang terjadi pada gong
kebyar sebaiknya juga demikian. Sepanjang kita tidak pernah masuk ke wilayah
privat: menyangkut nilai-nilai estetis, teknis, atau yang berkaitan dengan
aturan adat, keyakinan, maka kita sebenarnya boleh membicarakan atau
mengkajinya. Hal ini tak lepas dari sense of belonging akibat rasa
ke-Indonesia-an yang kita miliki. Karena itu, gong kebyar penting diberi
perspektif baru agar sejalan dengan napas zaman. Salah satunya, dikaji
menggunakan peradigma ilmu pengetahuan terkini (teori-teori kritis) agar
selain jadi pusat seni tradisional dan kontemporer, Bali juga menjadi pusat
studi kajian budaya yang orientasinya ke budaya akulturatif, hibridatif,
minoritas, dan budaya urban.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar