Kamis, 25 Desember 2014

Agama dan Koridor Kemanusiaan

Refleksi Natal 2014

Agama dan Koridor Kemanusiaan

Max Regus  ;  Rohaniwan Katolik; Kandidat Doktor, The Graduate School of Humanities, Universitas Tilburg, Belanda
MEDIA INDONESIA,  24 Desember 2014

                                                                                                                       


TAHUN ini, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menulis pesan Natal dengan tema Berjumpa dengan Allah dalam keluarga dengan inspirasi pada Injil Lukas Pasal 2, ayat 16. Di level paling pertama, keluarga selalu memiliki sisi emosional. Tidak ada manusia yang tiba-tiba muncul dari ruang kosong. Semuanya selalu berawal dari keluarga. 

Tidak ada manusia yang lahir seragam, bahkan di dalam satu keluarga sekalipun. Dengan ungkapan yang lebih lugas, Allah berjumpa dengan manusia yang tidak seragam, dan manusia berjumpa dengan Allah dalam ketidakseragaman.

Empedu sosial

Namun, tidak tersangkalkan, ketika Allah tinggal di dalam agama-agama, dan bagaimana Dia diperlakukan para pemeluknya, di belakang dari semua rasa takjub tentang-Nya, banyak cerita keji yang terekam dalam sejarah. Sudah menjadi kisah yang umum, bagaimana para pemeluk agama menyelipkan ritualisme kekerasan dan kebrutalan di dalam apa yang mereka namakan dan agungkan sebagai tapa laku keagamaan. Ironisnya, kemurnian satu agama dianggap rusak jika muncul satu intensi spiritual lain yang berbeda di luar sana.

Sejumlah pertanyaan mendasar mencuat ke permukaan. Mengapa ada sebagian orang merasa begitu memiliki hak dan wewenang istimewa untuk menyeragamkan hasrat berjumpa dengan Allah? Benarkah agama telah menjadi candu, bukan saja untuk memaafkan kemiskinan ekonomi, eksklusi politik dan kepapaan sosial, melainkan juga membuat para pembunuh kemanusiaan dalam nama Tuhan menjalankan semua itu dengan perasaan sebagai orang suci? Apakah agama yang dianggap kotor harus dibersihkan dengan darah kemanusiaan? Apakah Tuhan pernah mengirim pedang dan mewariskannya kepada segelintir orang untuk membunuh dan memusnahkan setiap hasrat yang ingin mempertahankan warna dalam keberagaman?

Pertanyaan-pertanyaan utama itu sebetulnya hendak menegaskan kebenaran penting bahwa salah satu bahaya terbesar bagi kemanusiaan ialah ketika ekstremisme religius dan fundamentalisme keagamaan menjelma sedemikian pekat menjadi mesin jagal paling efektif dalam peradaban. Kepekatan itu datang dari beragam alasan dan musabab. Arogansi merupakan bunga terakhir dari fundamentalisme keagamaan yang berakar pada ketidakwarasan.

Betapapun agama hadir sebagai salah satu institusi terpenting dalam sejarah, kehidupan yang bersimbah darah akibat kesombongan dan kepongahan yang muncrat darinya telah menjadikannya sebagai salah satu ruang benturan dan konflik paling laris sepanjang zaman. Di sisi cerita, kekejian dan kebrutalan sosial atas nama agama akan berhadapan dengan jenis kejahatan impunitas baru bernama pembungkaman kemanusiaan atas nama Tuhan.

Tidak sulit untuk menemukan bagaimana orang yang menganggap berjiwa suci secara tidak segan mendirikan tiang doa dan pujian kepada Tuhan dengan mempreteli kebebasan milik orang lain. Mereka tidak saja menyempitkan substansi Tuhan, mungkin Tuhan tidak memusingkannya juga, tetapi secara sadis menyebabkan kematian orang lain hanya karena sikap-sikap keagamaan yang sempit. Mungkin kita tidak pernah percaya, agama ialah alasan paling kuat dari kemunculan pembantaian massal di sekujur tubuh sejarah.

Mitos kematian suci

Kita dapat menghitung rentetan genosida yang terekam dalam sejarah kehidupan manusia yang pendek ini. Pembersihan etnik berawal dari kebencian religius. Kekejian-kekejian itu bisa dengan mudah dioperasikan karena hanya kejahatan jenis itu memiliki pendasaran paling kuat. Hanya ada dua ungkapan yang beredar di seputar kejahatan tersebut. Jika karena agama dan Tuhan seseorang atau sekelompok orang membunuh orang lain, tindakan itu disebut pembunuhan suci. Ketika ada orang kehilangan nyawa saat menjalankan misi pemusnahan hidup orang lain, itu disebut dengan kematian suci.

Bagaimanapun, penjelajahan akademis dan pengalaman sosial telah sekian lama menyodorkan kesimpulan berbahaya bahwa agama memiliki kecenderungan mempromosikan kekerasan. Memang tidak bisa dibantah bahwa dengan satu atau dua alasan yang sahih, apa yang berhubungan dengan Tuhan (agama) telah menguras energi manusia sepanjang sejarah. Entah untuk mempertahankan keteguhan dalam membela warna-warni hati manusia memuji Sang Maha Ada. Atau, entah untuk memupuk arogansi yang berdiri di atas niat jahat mengurung dunia dalam kerangkeng kebenaran tunggal yang dipaksakan sebagian orang. Tragisnya, untuk maksud yang kedua itu, sebagian orang telah membuat dunia menggelepar dalam sketsa kerusakan dan aroma kematian yang meracuni kesadaran murni kehidupan.

Koridor kemanusiaan

Sebetulnya, jika ditarik secara sederhana sebab seseorang atau sekelompok orang menyebut diri dengan bangga sebagai makhluk religius, semuanya berawal dari kerelaan Allah untuk turun dari orbit maha tinggi dan berbicara dengan manusia. Dengan itu, tidak terbantahkan, segala kebenaran hanya ada pada Allah saja. Manusia hanya kecipratan selarik cahaya kebenaran itu tanpa ada jaminan mutlak dia sepintas menjadi kebenaran. Jika kita hanya kecipratan gelombang cahaya kebenaran, lalu apakah kita punya cukup alasan untuk mengadili seseorang sebagai benar dan salah dalam memuji Allah.

Natal dengan ingatan akan iktikad baik Allah yang mau datang dan menjadi salah satu anggota keluarga besar umat manusia niscaya menantang pilihan-pilihan nilai moral sosial di tengah kehidupan bersama. Salah satu karakter penting dari keluarga ialah kesediaan dan kerelaan setiap penghuninya menerima keragaman di dalamnya. Natal menitipkan panggilan religius bagi setiap orang yang berkenan untuk membangun kehidupan (keindonesiaan) sebagai koridor kemanusiaan. Konkretnya, Indonesia akan bergerak menjadi komunitas (keluarga) sosial dan politik yang beradab tatkala keragaman mendapatkan penghargaan dan sesama warga yang kecil mendapatkan perlindungan negara dan sesamanya lebih besar dan kuat. 

Salam damai Natal. Damai bagi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar