Kamis, 25 Desember 2014

Hati untuk Papua

Hati untuk Papua

Yaleswari Pramodhawardani  ;  Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2K2) dan The Indonesian Institute
MEDIA INDONESIA,  22 Desember 2014

                                                                                                                       


PAPUA adalah kita. Mungkin buat sebagian kalangan ia hanya secuil, sesuatu yang ada dalam puing ingatan, tetapi tetap tidak bisa diingkari, kepapuaan itu bagian dari keindonesiaan kita. Sayangnya, fakta yang kemudian menjadi jargon itu tetap belum bisa diwujudkan hingga kini. Berita terakhir, Papua masih dilumuri duka dengan peristiwa Paniai berdarah. Sebagian dari kita hanya bisa merutuki dan berkeluh kesah tentang pemerintah yang tidak responsif, tetapi tetap kehilangan gambaran besarnya. Penyelesaian Papua terlalu sederhana jika hanya diserahkan kepada pemerintah. Itu harus melibatkan banyak pihak, banyak hati, untuk masuk kubangan persoalannya.

Sabtu (20/12) pagi itu, di aula Pascasarjana Universitas Indonesia berkumpul sebagian besar perempuan dari berbagai kalangan; akademisi, praktisi, pegiat kemanusiaan, dan beberapa di antara mereka dari Papua. Seminar nasional yang bertajuk Menganyam Noken Kehidupan; Keadilan, Perdamaian, dan Keamanan Papua makin menegaskan jalan panjang menuju kedamaian Papua memang wajib diperjuangkan. Noken yang memiliki makna kultural persahabatan, kehormatan, dan perdamaian itu dipilih sebagai simbol untuk penyelesaian damai Papua.

Forum yang digagas Komnas Perempuan memperlihatkan hasil kajian mereka di lapangan melalui dialog dengan 1.500 perempuan asli Papua di 28 Kabupaten. Para perempuan yang berasal dari 75 lebih kelompok angkat bicara sebagai korban dan warga negara. Mereka bertutur tentang inisiatif perempuan merespons persoalan, visi, dan harapan mereka agar Papua menjadi tanah damai yang bebas dari kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, baik sebagai perempuan asli Papua maupun sebagai masyarakat Papua yang bermartabat.

Para perempuan itu tidak sekadar bicara tentang nasib perempuan Papua saja, tetapi juga bicara persoalan Papua pada umumnya. Papua dalam relasinya dengan negara, negara yang telah berjanji menjamin keselamatan dan kesejahteraannya. Mereka mempertanyakan sekaligus menggugat, mengapa kekerasan yang mereka terima sebagai perempuan dan warga negara tidak pernah berkesudahan?

Kekerasan tidak hanya di ruang publik, tapi juga di ruang privat mereka.Tidak ada wujud negara di sana.

Persoalan perempuan Papua tersebut baru sebagian dari kumpulan mozaik persoalan besar Papua. Selama lebih dari empat dekade ini kita sudah lelah bosan dengan genangan darah dan air mata di sana. Sejak era reformasi pemerintah pusat bukan tidak berusaha untuk menangani hal itu, mulai Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan di bawah pimpinan SBY, komitmen tersebut diucapkan melalui sejumlah pernyataan publik. Seperti pada perayaan Natal Nasional 2005, SBY mengusulkan tiga pendekatan demokrasi, damai dan kasih untuk penyelesaian Papua, atau saat SBY mengundang beberapa tokoh gerejawi dari tanah Papua pada Desember 2011 di Puri Cikeas, seruan untuk tidak melakukan pendekatan kekerasan tetapi dengan hati kembali diucapkan.
Namun, faktanya, kekerasan masih terjadi di Papua hingga hari ini.Imbauan, pernyataan, regulasi kebijakan, dan upaya dialog tidak mampu menghentikan laju kekerasan yang terjadi di Papua. Apa yang salah?

Apakah perlu peta jalan baru untuk penyelesaian Papua damai? Bagaimana melakukannya?

Peta jalan baru Papua

Bila berbicara soal Papua, saya selalu teringat sahabat saya, almarhum Muridan. Sampai akhir hayatnya ia dikenang sebagai salah satu penggagas yang gigih untuk Papua Road Map bersama Adriana Elisabeth dan peneliti Puslit Politik LIPI lainnya.Sampai hari ini gagasannya tentang Papua Road Map masih tetap relevan dan memiliki basis empiris konkret untuk dilaksanakan.

Tim LIPI melalui penelitian panjangnya merumuskan empat agenda kerja utama yang bisa dijadikan opsi bagi lembaga negara ataupun lembaga kemasyarakatan di dalam dan di luar negeri.

Pertama, rekognisi sebagai agenda payung untuk kebi jakan dan program yang bertujuan mendorong juan mendorong keterlibatan orang asli Papua, termasuk di dalamnya pemberdayaan di berbagai bidang kehidupan yang strategis. Hal itu penting dilakukan sebagai jawaban atas masalah marginalisasi dan efek diskriminatif di hampir semua lini kehidupan orangorang asli Papua.

Kedua, paradigma baru pembangunan. Suatu paradigma yang diharapkan dapat mengubah orientasi pembangunan pada pemaksimalan pelayanan publik yang memprioritaskan pada peningkatan kualitas pendidikan (terutama pendidikan dasar), peningkatan pelayanan kesehatan di kampung-kampung/ desa, pengembangan ekonomi masyarakat yang masih subsisten, dan infrastruktur yang relevan untuk ketiga bidang tersebut sebelumnya. Paradigma baru itu dimaksudkan untuk mengubah pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik yang telah gagal dalam mem perbaiki sistem dan kualitas pelayanan kebutuhan dasar masyarakat.

Ketiga, dialog dan mekanisme mempersiapkannya.Dialog menjadi roh dalam proses menuju Papua dan Indonesia baru yang bermartabat. Dalam dialog, kedua pihak butuh kerendahan hati, kesetaraan, S kesederajatan, saing menghargai, dan semangat untuk menyelesaikan konflik. Dialog menjadi pilihan karena secara teknis suasana lebih eksploratif, di saat para pesertanya diharapkan dapat mengungkapkan persoalan, ketidakpastian, serta keyakinan yang dipegang teguh, dan para peserta lainnya mendengarkan, memahami, dan mendapatkan wawasan dari lainnya.Dengan karakter yang dimilikinya, jadikan dialog sebagai proses panjang yang harus dilalui kedua pihak tanpa merasa bosan demi tujuan yang lebih besar, Papua baru dan Indonesia baru.

Keempat, kemungkinan-kemungkinan ditempuhnya jalan rekonsiliasi dan pengadilan HAM. Dasar dari kebutuhan itu ialah mengingat sejarah panjang kekerasan negara di masa lalu yang berlangsung lebih dari empat dekade yang dilakukan aparat keamanan dan pejabat negara. Karenanya, penegakan hukum dan keadilan bagi para korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara umum wajib dilakukan.

Empat agenda utama itu penting untuk dijadikan pertimbangan kembali dalam melempangkan jalan dialog Papua Jakarta untuk penyelesaian konflik yang sudah mengakar selama ini.

Presiden Jokowi dan Papua

Dalam kampanye pemilihan presiden silam, Presiden Jokowi memang menunjukkan niatan untuk memperbaiki memperbaiki kondisi Papua, baik upaya menjamin perdamaian, antidiskri mina si, maupun soal peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Menurutnya, penyelesaian konflik Papua harus didekati dengan hati. Namun, di satu sisi Presiden Jokowi sadar betul bahwa memperbaiki kondisi Papua tidak bisa begitu saja dilakukan tanpa menyoroti pelanggaran HAM, reformasi pejabat sipil dan militer di Papua, serta membuka isolasi wilayah tersebut.

Di sisi lain, ia juga dihadapkan persoalan rumit lainnya. Kebiasaan presiden sebelumnya untuk memberikan pernyataan setelah terjadinya sebuah peristiwa tidak dilakukannya. Respons tersebut mendapatkan reaksi keras di Papua dan luar Papua, dianggap presiden tidak peduli dengan kondisi dan peristiwa berdarah Paniai. Walaupun dalam beberapa forum terbatas dikatakannya secara gamblang bahwa perhatian dan prioritasnya dalam lima tahun ke depan ialah upaya penyelesaian secara permanen dan tuntas persoalan Papua.

Dalam konteks itu, Presiden menegaskan sikapnya tidak memberikan pernyataan berlebihan di depan media untuk kasus Paniai berkaitan dengan janjinya tersebut. Ia bahkan siap untuk tidak populer dalam pertarungan opini media yang akan menyudutkannya. Lebih lanjut Presiden mengemukakan bahwa untuk men capai solusi permanen dan tuntas sungguh tidak mudah, mengingat warisan konflik yang sudah mengakar 40 ta hun lebih.

Pernyataan yang sekadar berfungsi sebagai pemadam kebakaran sesaat, tanpa memberikan solusi konkret dalam penuntasan persoalannya, justru akan menjadikan bumerang bagi keinginannya tersebut. Sedikit yang tahu bahwa diam-diam Presiden Jokowi telah memerintahkan Kepala BIN, Kapolri, menteri pertahanan, dan Panglima TNI untuk mengusut persoalan itu dan melakukan tindakan serta memberi sanksi tegas bagi pelanggarnya. Selain itu, Komnas HAM, masyarakat sipil, dan pihak gereja di Papua juga dimintai laporan dari hasil pencarian fakta di lapangan. Penyelidikan berlapis atas peristiwa Paniai dilakukan tanpa kegaduhan sorotan media.

Dari peristiwa ini, mungkin kita juga perlu belajar memahami situasinya. Sebuah kerutinan negara dalam ritual komunikasi politik ke publik berpuluh tahun tidak bisa dijadikan satu-satunya ukuran untuk membenarkan cara dan strategi yang dipilih untuk presiden. Bisa jadi Presiden Jokowi belajar dari pendahulunya bahwa janji presiden memiliki implikasi terhadap tingkat kepercayaan rakyat kepadanya. Untuk memelihara kepercayaan, janji itu bukan untuk sering-sering dikatakan, melainkan untuk ditepati.

Pada akhirnya, sebuah krisis memang memerlukan kekuatan bersama untuk mengatasinya kendatipun kekerasan di Papua selama ini telah menghancurkan apa saja yang `bersama' itu. Kita masih ditagih untuk bersabar dalam waktu yang lebih lama lagi. Jalan panjang untuk mendapatkan Papua baru dan Indonesia yang juga terus-menerus baru karena dalam takdir kebinekaannya ia wajib merevitalisasi konsep-konsep kewarganegaraannya berdasarkan kebutuhan rakyatnya, perkembangan regional, ataupun global. Sebuah kesabaran revolusioner karena dilakukan melalui gerakan kultural yang mengedepankan dialog terus-menerus. Namun, seperti kata sahabat saya, almarhum Muridan, “Dialog tidak akan pernah membunuh.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar