Miskin
Samsudin Berlian ; Penggumul Semantik
|
KOMPAS,
27 Desember 2014
SEBELUM
dikooptasi pemasar dari dunia limpah-ruah bernama Amerika, Natal adalah
tentang kemiskinan, bukan urusan hadiah kinclong berbungkus blingbling. Semua
kisah Natal Alkitabiah bertema kemiskinan, tiada pesta, dan jauh dari meriah.
Keluarga muda di tengah perjalanan yang tak punya uang cukup untuk menyewa
kamar sehingga terpaksa bermalam di kandang. Bayi baru lahir yang ditidurkan
di dalam tempat minum lembu sapi. Gembala yang meronda di padang menjaga
kambing domba dari maling dan binatang buas. Bahkan, cerita pencarian panjang
orang kaya yang berjalan jauh dari timur membawa bingkisan mahal toh berpuncak
pada kebingungan dan kekagetannya bahwa Sang Raja baru ternyata tak ditemukan
di dalam istana mewah.
Di
tengah Indonesia yang memakmur, separuh penduduk masih hidup dalam
kemiskinan. Bagi mereka, masa depan adalah harapan dan bukan rencana. Namun,
dari mana kita tahu bahwa memang ada ”separuh” yang miskin? Yang bilang
separuh itu Bank Dunia. Negara bilang bukan separuh, tetapi kira-kira 12
persen. Hitungan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa sekitar 16
persen. Kalau mau, anda bisa bilang, dengan argumen sahih pula bahwa penduduk
Indonesia 90 persen miskin, misalnya, dengan mengikuti standar suatu negeri
kaya di Eropa Bagian Barat.
Mengapa
bisa demikian? Miskin tak memiliki standar alamiah. Walaupun sampai tahap
tertentu garis kemiskinan bisa ditentu- kan berdasarkan perhitungan dan
analisis berbagai disiplin ilmu, pada akhirnya penentuan itu bersifat
politis, dengan kata lain, mana suka. Miskin adalah konsep penilaian lebih
daripada konsep keadaan; dan penilaian sosial lebih daripada penilaian diri.
Bisa terjadi perbedaan penilaian terhadap suatu keadaan. Harta yang dinilai
sangat berarti di satu tempat bisa kurang bernilai di tempat lain. Bisa pula
terjadi konflik antara penilaian sosial dan penilaian diri. Orang yang
dianggap miskin merasa kaya. Orang yang dipandang kaya merasa miskin.
Orang
miskin, kata suatu definisi berlingkar yang sarat makna, adalah siapa saja
yang dianggap miskin oleh tetangga-tetangga- nya. Apabila anda sekeluarga
(istri suami dan dua anak) berpenghasilan total 1.900 dollar per bulan di
Amerika, kalian berempat secara resmi miskin. Tetangga berkasihan. Dengan
penghasilan serupa di Nusantara, menurut konversi paritas daya beli, Rp7
juta, anda sekeluarga hidup lumayan nyaman. Tetangga agak iri.
Miskin
adalah alat musik tiup. Maaf, salah buka kamus Inggris. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, miskin (Arab) atau papa (Sanskerta) sama saja, berarti
’tidak berharta’, ’serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah)’.
Kira-kira seperti itu juga makna miskin dalam kamus pada umumnya pada bahasa
apa saja. Perhatikanlah bahwa harta, kurang, dan rendah adalah kata-kata yang
bersifat subjektif.
Pembuat
kebijakan yang prihatin dengan kehidupan orang miskin bersusah-payah berusaha
merumuskan definisi kemiskinan sebagai patokan objektif yang bisa diukur
dengan setepat-tepatnya, tidak mengandalkan penilaian atau pendapat yang bergantung
pada perasaan orang. Tanpa itu, mereka tidak akan tahu siapa saja yang
termasuk miskin. Dan kalau demikian, bagaimana mereka tahu apakah suatu
kebijakan berhasil atau gagal memerangi kemiskinan? Kalau mengandalkan
perasaan orang saja, jangan-jangan hasil survei akan membuktikan bahwa 99
persen orang mengaku miskin, apalagi yang bertanya petugas pajak, eh, pegawai
Kantor Statistik.
Adalah
Mollie Orshansky, perempuan ekonom dan statistikus, pegawai negeri Amerika
yang pada 1960-an mengembangkan kri- teria garis atau ambang kemiskinan,
dengan penghitungan rumit berbagai harga barang kebutuhan hidup, untuk
kepentingan administrasi pemerintahnya dalam menentukan kebijakan untuk
membantu orang miskin. Sistemnya sejak itu dipakai di mana- mana sambil
terus-menerus diperbaiki, disesuaikan, dan diutak-atik menurut kebutuhan dan
kepentingan lokal dan zaman.
Selain miskin ekonomi dan sosial, ada pula miskin jiwa. Itu urusan
penjiwalah. Miskin ilmu? Mari para guru. Miskin rohani? Sila perohani. Bulan
ini, bagi banyak orang, tanpa perlu berpesta di Hotel Miskin bintang empat
yang bersejarah di Wales, bernatal ria dalam kemiskinan ekonomi adalah juga
kekayaan jiwa dan kelimpahan rohani. Selamat
Natal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar