Rupiah
dan Daya Saing Indonesia
Kiki Verico ; Kepala Kajian
Perdagangan Internasional LPEM FE UI
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Desember 2014
BEBERAPA waktu belakangan ini,
pemerintah dan Bank Indonesia disibukkan dengan pelemahan rupiah. Pelemahan
sebenarnya sudah beberapa kali terjadi dalam dua tahun terakhir, yaitu awal
2012 dan akhir 2013 hingga awal 2014. Setelah itu, rupiah sempat menguat
sampai pertengahan 2014, namun kembali melemah pada akhir 2014. Penyebab
pelemahan rupiah dalam beberapa tahun terakhir ini memang beragam, tetapi
bisa dikelompokkan dalam dua faktor besar, yaitu domestik dan luar negeri.
Jika dilihat dari data dua tahun
terakhir, sumber pelemahan di awal hingga pertengahan 2012 ialah faktor
domestik, yaitu menurunnya daya saing ekonomi nasional dan jatuh tempo
pembayaran luar negeri termasuk impor.Sementara itu, pelemahan pada triwulan
terakhir di 2013 disebabkan karena faktor luar negeri, yaitu kebijakan
pengurangan stimulus fiskal di Amerika Serikat (tapering-off) yang menjadi sinyal di seluruh dunia bahwa ekonomi
Amerika membaik. Aliran modal kembali ke sana dan rupiah melemah. Hal serupa
terjadi pada triwulan terakhir 2014, yaitu faktor luar negeri akibat
melemahnya ekonomi Rusia dan simpang siur rencana kenaikan suku bunga US$.
Indonesia cukup beruntung karena
faktor domestik, seperti kenaikan harga BBM tidak terjadi bersamaan dengan
faktor luar negeri sehingga tekanan terhadap rupiah tidak terlalu besar.
Namun, agar rupiah tahan terhadap fluktuasi, harus kuat secara fundamental
dan kuncinya terletak pada daya saing ekonomi nasional. Sebenarnya, pada
periode 2012-2013 ekonomi nasional tumbuh lebih cepat dari laju inflasinya,
yaitu 6,3% (2012) dan 5,8% (2013), sementara laju inflasi sekitar 4%.
Namun, jika dilihat lebih jauh,
penarik pertumbuhan ekonomi nasional ialah sektor yang tidak terkait langsung
dengan daya saing (non-tradable),
yaitu sektor jasa, seperti pengangkutan, komunikasi, real estate, dan jasa perusahaan.
Sementara itu, sektor yang terkait langsung dengan daya saing (tradable) hanya tumbuh di subsektor
penggalian, pertambangan bukan migas, dan perikanan. Alhasil, pertumbuhan
ekonomi nasional tidak sepenuhnya menggambarkan peningkatan daya saing.
Saat ini hanya pariwisata yang
surplus devisa. Neraca perdagangan bahkan defisit untuk pertama kalinya di
2012, sehingga neraca transaksi berjalan ikut defisit pada periode 2012-2013.
Dari sisi impor, dalam periode 20122014, defisit terjadi pada yang terkait
minyak bumi dengan rata-rata impor sekitar US$10 miliar, sementara rata-rata
ekspor US$ 4 miliar.
Langkah pemerintah mengurangi
subsidi BBM, mengevaluasi proses produksi domestik, dan impor BBM ialah
langkah yang tepat mengingat kita bukan lagi net exporter dan minyak bumi
ialah impor mahal yang membebani devisa dan rupiah. Cadangan devisa Indonesia
sebesar 111 miliar US$ setara dengan 6 bulan pembiayaan luar negeri. Besaran
itu masih di bawah rata-rata dunia sekitar 13 bulan dan secara nominal di bawah
negara tetangga, seperti Singa pura (US$273 miliar), Thailand (US$168
miliar), dan Malaysia (US$132 miliar).
Bagaimana agar pertumbuhan
ekonomi mencerminkan daya saing?
Jawabannya ialah pertumbuhan ekonomi harus
juga menghasilkan devisa, seperti meningkatkan ekspor, investasi jangka
panjang dari dan ke luar negeri, transfer pendapatan tenaga kerja Indonesia
di luar negeri, dan kunjungan turis asing. Jika dilihat dari daya saing perdagangan,
produk unggulan Indonesia yang berdaya saing kuat, yaitu RCA (revealed comparative advealed comparative
advantage) lebih dari satu, constant
market share analysis (CMSA) positif, harga ekspor per harga impor lebih
kecil dari satu, dan sebaran pasar atau GHI (gini hirschman index) lebih kecil dari 0,5 ialah hasil sumber daya
alam (SDA) nonmineral, seperti minyak nabati dan hewani, kopi, teh, cokelat,
kayu, kertas, karet, tembakau, dan SDA mineral, seperti timah, tembaga, dan
bijih besi.
Sementara itu, produk industri
terbatas pada instrumen musik, alas kaki, tekstil, dan perlengkapan mandi.
Hasil laut termasuk ikan juga merupakan produk unggulan dan sumber devisa
negara sehingga langkah pemerintah menjaga hasil laut dari pencurian ikan
ialah langkah yang tepat.
Indonesia perlu menggeser daya
saing perdagangan dari hasil SDA ke produk industri.Kontribusi sektor
industri terhadap PDB terus menurun dari 28% (2008) ke 24% (2013).Jika itu
dihubungkan dengan rendahnya kontribusi sektor pertanian pada PDB, yaitu 15%
dengan serapan pekerja 42%, yakni 80% di antaranya ialah pekerja informal.
Upaya pemerintah mengembangkan industri berbasis pertanian termasuk di
dalamnya perikanan ialah kebijakan yang tepat. Langkah selanjutnya ialah
menguasai pasar dunia.
Caranya bisa dilakukan dengan
membantu pendirian restoran dan toko-toko yang menjual kebutuhan pokok
Indonesia di luar negeri. Restoran dan toko-toko itu bisa menjadi sarana
untuk memasarkan produk industri pertanian Indonesia di seluruh dunia. Selain
menghasilkan devisa, cara itu efektif untuk semakin memperluas jaringan
industri makanan dan minuman khas Indonesia di luar negeri. Di masa depan pun
para pekerja Indonesia di luar negeri memiliki pilihan untuk tidak bekerja
sebagai asisten rumah tangga, tetapi bekerja formal di restoran dan toko-toko
penjual kebutuhan pokok asal Indonesia.
Dari sisi investasi, Indonesia
cukup menjanjikan. Proporsi PMA per PDB meningkat cukup baik dari 0,73%
(2004) ke 2,18% (2012). Efisiensi investasi juga membaik seiring dengan
penurunan ICOR (incremental capital
output ratio) dari 4 (2004-2008) ke 3,92 (2009-2012). Indikasi yang
paling penting ialah mulai diperhitungkannya Indonesia dalam jaringan
produksi global atau kawasan.
Indonesia ialah negara penerima
investasi ASEAN tertinggi. Cepat atau lambat orientasi investasi asing jangka
panjang (FDI inflows) di Indonesia
akan bergeser dari memanfaatkan Indonesia sebagai sumber bahan mentah dan
pemasaran produk ke salah satu basis produksi atau bagian dari jaringan
produksi global.
Indikasi baik itu membutuhkan syarat, yaitu Indonesia harus
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Jika dilihat dari
klasifikasi UNESCO (2013), Indonesia masuk dalam kategori negara `menengah',
berada di bawah Singapura dan Brunei yang masuk kategori `sangat tinggi', dan
Malaysia serta Thailand yang masuk kategori `tinggi'.
Saat ini proporsi penduduk
dengan pendidikan SMA ke atas meningkat dari 21% (2001) ke 32% (2012). Namun,
dari sisi pekerja dengan keahlian tinggi, menurut indikator pengeluaran
R&D per PDB, jumlah publikasi di jurnal internasional paten dan jumlah peneliti
teknik serta rekayasa teknik per 1.000 penduduk, Indonesia tetap tertinggal
jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Itu pekerjaan
rumah jangka panjang bagi pemerintah.
Selain meningkatkan daya saing
perdagangan, manajemen energi, investasi, dan SDM, yang juga harus
diperhatikan ialah ketersediaan infrastruktur yang berkualitas dan iklim
investasi yang kondusif. Kedua hal itu terkait dengan peran pemerintah dalam
menyediakan barang dan pelayanan publik yang baik. Jika semua itu ditingkatkan,
daya saing ekonomi Indonesia akan membaik dan rupiah lebih stabil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar