Mengembalikan
Terang yang Sejati
Benny Susetyo ; Rohaniwan
|
KORAN
SINDO, 25 Desember 2014
Natal
merupakan pancaran cahaya kemuliaan Tuhan dalam pengalaman kesederhanaan di
sebuah kandang mungil. Kemuliaan dan kesederhanaan yang kini hampir lenyap
dalam jiwa sanubari kaum elite.
Kaum
elite sibuk dalam janji perbaikan kehidupan, namun janji itu begitu lama
terealisasi dan terkubur dalam mimpi. Mendung dunia politik diciptakan kaum
elite karena politik lebih banyak dimaknai sebagai “perdagangan kata-kata”
dan tipu sana tipu sini. Wajah masa depan politik yang penuh dengan
kepalsuan.
Rakyat
dididik bermimpi di siang bolong tanpa memperhatikan kenyataan ekonomi dunia
yang begitu berat. Elite politik kehilangan nalarnya untuk memberikan
harapan. Para pemimpin kehilangan kesejatiannya karena mereka sibuk dengan
dirinya sendiri. Rakyat kehilangan sosok pemimpin sejati yang memiliki
kepedulian dan keseriusan untuk membelanya di tengah berbagai gejolak.
Terang Baru
Natal
mengajarkan kepada manusia tentang era kehidupan baru, dari kegelapan menuju
terang. Terang Natal bukanlah seperti yang diwujudkan dalam warna-warni lampu
hias itu semata, melainkan bagaimana secara sadar diri membawa kehidupan baru
yang lebih adil dan damai. Manusia membutuhkan momentum untuk merefleksikan
diri.
Makna
terdalam kedatangan Sang Juru Selamat untuk zaman ini adalah menegaskan
kembali semangat-Nya untuk melawan ketidakadilan dan penindasan.
Ketidakadilan sudah begitu membudaya. Ketidakadilan telah menggerus
kebijaksanaan dalam kehidupan. Ketidakadilan banyak dicerminkan dari
kehidupan yang timpang, antara yang kaya dan miskin, bodoh dan pintar, banyak
dan sedikit atau elite dan jelata.
Mereka
yang miskin dan bodoh selalu menjadi obyek yang dikorbankan oleh yang kaya
dan pintar. Mereka yang banyak sering mempermainkan yang sedikit. Mereka yang
sedikit tapi pintar dan kaya mengorbankan yang banyak tapi melarat dan bodoh.
Harmoni kehidupan tercipta secara tidak seimbang.
Harapan untuk membuat kehidupan bisa saling memberi dan menerima antara
yang berkelebihan dan berkekurangan nyaris pupus, sebab mereka yang
berkelebihan sering memperolehnya secara paksa atau dengan tipu daya dari
mereka yang berkekurangan. Begitu pula dengan yang elite danjelata. Mereka
yang jelata berjumlah mayoritas namun menjadi dalam setiap peristiwa,
merekalah yang menjadi korban kepintaran kaum elite. Bila suatu kali terjadi
amuk massa, itu terjadi karena elite yang keterlaluan memperdayai.
Tak tebersit dalam pikiran mereka, bahwa kekuasaan d anjabatan yang
dimilikinya merupakan daulat dari rakyat semesta. Orang kaya pun sering
kehilangan kesadaran bahwa kekayaannya, sebagian terbesar merupakan
“sumbangan” dari sebagian besar orang yang disebut miskin. Sebab tak ada
orang kaya bila tak ada mereka yang dilabeli miskin.
Saat
Moralitas Diabaikan
Kehidupan ini semakin merosot ketika moralitas keseimbangan diabaikan.
Ketidakadilan dalam berbagai jenisnya dikembangbiakkan dan sering diwarnai
seolah-olah itu merupakan fakta alami. Bahkan ketidakadilan dalam berbagai
cara, oleh sang penguasa dan orang kaya, diajarkan sebagai suatu keadilan.
Kita kehilangan kebijaksanaan dalam hidup.
Agama tak mampu menjadi semangat dan jalan untuk mengoreksi berbagai
kekeliruan yang terjadi. Sebab agama sekedar menjadi simbol semata, dan
nilai-nilainya tak jarang direduksi dalam kekuasaan atau uang. Pragmatisme
kehidupan ini juga dicerminkan dalam budaya komersialisasi yang begitu keras.
Pencemaran nilai-nilai agama oleh budaya komersialisme dewasa ini bahkan
sudah berada dalam tahap mencemaskan. Tak terkecuali Natal.
Kita mengerti mengapa Paus Benediktus pernah mengkritik tajam Natal
yang bercorak komersial sehingga kerap menggerus makna hakikinya. Tanpa
disadari, ketercerabutan nilai-nilai agama baik oleh kekuasaan maupun uang
sudah nyaris melumpuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Penghayatan nilai
kemanusiaan luntur oleh situasi yang membolehkan manusia bersikap serakah dan
mencaplok hak orang lain.
Kesenjangan adalah wujud ketidakadilan yang paling nyata. Namun
bukanlah kesenjangan itu yang dipermasalahkan melainkan mengapa kesenjangan
terjadi dan bagaimana sikap untuk mengatasi kesenjangan itulah yang menjadi
masalah. Kesenjangan terjadi akibat solidaritas yang lemah, dan upaya untuk
mengangkat kesejahteraan diri sering dengan menikam yang lebih lemah.
Setelah itu, kesenjangan itu sedikit demi sedikit dilupakan sebagai
masalah, sehingga solidaritas seolah-olah tidak diperlukan lagi. Ini terjadi
ketika semua orang berpikir “cari selamat sendiri-sendiri”. Watak
individualisme merupakan bawaan dari kebudayaan kapitalisme yang mengajarkan
hedonisme melalui penguasaan terhadap harta benda. Komersialisme merupakan
media untuk menghantarkan semua orang mendapatkan kesenangan personal.
Kebahagiaan kolektif tercipta akibat kebahagiaan personal. Namun ajaran
demikian, yang sekarang semakin nyata dan menjadi perikehidupan sehari-hari,
selalu mengabaikan fakta bahwa kebahagiaan individual itu tidak pernah datang
secara bersama- sama. Akibatnya, mereka bertarung untuk memperebutkan
kebahagiaan individual itu sering dengan menghancurkan lainnya. Inilah
“gelap” yang harus dihapus.
“Gelap” itu sebuah situasi di
mana ketidakadilan, kesenjangan, penindasan, penghisapan, nafsu serakah dan
kekejaman berbaur menghilangkan toleransi, keadilan dan kebijaksanaan.
Masihkah ada kesempatan bagi manusia untuk keluar dari jurang yang gelap ini?
Natal merupakan kehidupan baru, yakni momentum bagi refleksi diri manusia
agar berubah lebih solider, bijaksana, adil untuk melahirkan budaya damai.
Kelahiran Juru Selamat itu bermakna sebagai kelahiran kehidupan baru
yang lebih damai dan menyingkirkan penindasan. Kini penindasan demi
penindasan sudah ada di depan mata, bahkan dalam bentuknya yang elok-elok
seolah itu bukan penindasan. Makna Natal bagi orang beriman adalah untuk
melawan penindasan dengan menegakkan kedamaian dan memperluas sikap solider
dan menjunjung tinggi kesadaran berkehidupan bersama. Selamat Natal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar