Selasa, 30 Desember 2014

Budaya Bencana

Budaya Bencana

Teuku Dadek  ;   Mantan Camat di Kota Meulaboh Saat Gempa dan Tsunami
KOMPAS, 26 Desember 2014

                                                                                                                       


Masih terngiang di telinga ketika para ibu bertanya saat tsunami, ”Apa ini Pak? Apa ini kiamat?” Di tengah kepanikan, saya menjawab ”Bukan, langit masih cerah, kalau kiamat tidak ada yang tersisa.”

Para korban yang selamat ternyata tidak tahu bahwa gempa berpotensi mengungkit gelombang dahsyat ke darat. Karena itu juga, banyak yang selamat dari tsunami pertama, tetapi akhirnya menjadi korban tsunami gelombang kedua karena pulang ke rumah untuk melihat keluarga dan harta bendanya.

Beberapa orang Simeulue yang tinggal di Meulaboh berteriak-teriak kepada masyarakat sekitar untuk segera melarikan diri sebab laut akan melahirkan tembok air tinggi yang runtuh membawa bala, tetapi orang-orang darat tersebut hanya bingung. Bahkan, banyak masyarakat Meulaboh pergi ke laut yang seharusnya dihindari untuk melihat fenomena surut laut dan ikan-ikan bergelimpangan.

Simeulue pada 1907 pernah dilanda tsunami, berbekal kejadian inilah, orang Simeulue di darat memiliki pengetahuan tentang gempa yang berpotensi tsunami. Boleh dikatakan tidak ada korban langsung di Simeulue walaupun skala gempa dan tsunami sama dengan di Aceh lainnya.

Jarak Simeulue dan Meulaboh hanya 12 jam perjalanan laut dan satu jam perjalanan udara. Kontak budaya kedua masyarakat sangat intens.

Masa panen cengkeh tahun 1980-an membuat orang darat terkesima dengan kekayaan yang dapat diraih di Simeulue sebagai pemetik cengkeh. Sebaliknya, orang Simeulue berbondong-bondong ke Meulaboh menginap di losmen untuk sekadar belanja sepeda motor dan kulkas walaupun belum ada listrik di sana. 
Namun, pengetahuan bahwa gempa berpotensi tsunami tidak tertransfer baik.
Akankah pelajaran 2004 tersebut menjadi bagian dari budaya bencana masyarakat ke depan?

Sejarah menyatakan bahwa bencana tsunami (smong) pernah terjadi di Aceh dengan skala yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan adanya rutinitas dengan skala dan rentang yang besar dan jauh.

Dalam laporan penelitian Coastal Progradation Patterns As A Potential Tool Inseismic Hazard Assessment yang dilakukan multi-NGOs dan lembaga riset dari berbagai penjuru dunia, disebutkan bahwa tsunami pernah terjadi beberapa kali di perairan Meulaboh (Aceh Barat) sesuai dengan temuan deposit tanah bekas tsunami.

Penelitian ilmiah dan lapangan tersebut semakin mendukung catatan-catatan gempa dalam manuskrip di Aceh, misalnya di bulan Sya’ban 1211 H (Februari 1797) gempa 8,4 SR di perairan Laut Hindia tepatnya Mentawai dan Padang menimbulkan tsunami yang melanda pesisir pantai barat Sumatera.

Dalam catatan sampul manuskrip Tanoh Abee disebut ”al-zalzalah as-syadidah at-tsaniyah” (gempa besar kedua kali), Kamis 9 Jumadil Akhir 1248 H/3 November 1832 M. Lima tahun kemudian (September 1837) pada periode Sultan Muhammad Syah (1824-1838), Belanda mencatat gempa di Aceh dengan episentrum di perairan barat Aceh.

Pada abad yang sama, pada tahun 1861 terjadi gempa tektonik di Kota Singkil yang menghancurkan infrastruktur Belanda yang dibangun tahun 1852 (Hermansyah, ”Naskah Ta’bir Gempa: Antara Mitigasi Bencana dan Kearifan Lokal di Aceh (Kajian Terhadap Naskah-Naskah Kuno)”.

Budaya bencana

Akankah Aceh cukup kuat menghadapi bencana serupa ke depan?
Mari kita lihat kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat Aceh. Pertama, terhadap kebijakan pembangunan yang diterapkan pemerintah Aceh yang dapat kita nilai kurang mengadopsi bencana 2004.

Kota Banda Aceh pasca tsunami pernah dirancang dengan sesi pantai yang dikosongkan dari hunian masyarakat, dengan rencana pohon-pohon bambu untuk ketahanan pantainya, Meulaboh pun dicoba dikosongkan 500 meter dari pantai, tetapi gagal diwujudkan. Jalan Meulaboh–Banda Aceh tetap dibangun sejajar laut tanpa rambu-rambu evakuasi apabila kendaraan yang melintas terjebak gempa yang berpotensi tsunami.

Kedua, budaya bencana, saat kunjungan ke Jepang tahun 2012, saya bertanya kepada Dr Samsidik Tahir dari TDMRC mengapa orang Jepang meletakkan sandalnya menghadap ke arah keluar, bukan sebagaimana kebiasaan orang Indonesia menghadap ke pintu masuk. Ia menjawab, itu adalah bentuk kesiapsiagaan agar bisa segera menyelamatkan diri saat terjadi gempa.

Saya jadi ingat kejadian 2004, banyak perempuan terpaksa lari dengan pakaian apa adanya dan laki-laki bertelanjang kaki. Ini terjadi lagi pada gempa 26 Maret 2006, 11 April 2011.

Sebenarnya masyarakat memiliki budaya bencana, misalnya terhadap rumah hunian, dulu rumah-rumah di daerah banjir dibuat panggung. Kemudian generasi berikutnya menurunkan lantai rumah menjadi rumah semipermanen atau permanen yang tidak berpanggung lagi.

Rumah Aceh juga dirancang untuk kepentingan bencana. Atap yang dijalin mudah dilepas jika terjadi kebakaran, bentuknya yang berpanggung untuk menjauhi banjir. Selama rekonstruksi di Aceh, rumah panggung ini pernah dibangun di seputaran Krueng Teunom.

Namun, pelajaran 2004 tidak cukup kuat bagi kita untuk melembagakan budaya bencana.

Maka, pelaksanaan simulasi skala kecil dan besar harus dilaksanakan sesering mungkin, penempatan rumah jauh dari pantai harus menjadi pemahaman masyarakat, dan di tingkat rumah tangga harus ada skenario pencegahan dan evakuasi bencana.

Alat-alat rumah tangga berupa lemari dan lainnya yang mudah jatuh ditempel ke dinding, anak-anak perlu diajarkan cara menghadapi gempa dan tsunami di sekolah atau di rumah, termasuk ke mana harus menyelamatkan diri.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar