Rabu, 31 Desember 2014

Pendidikan Berbasis Pembangunan Mental-Spiritual

  Pendidikan Berbasis Pembangunan Mental-Spiritual

Abdul Syukur  ;   Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana UNJ
KOMPAS,  30 Desember 2014

                                                                                                                       


RAKYAT Indonesia sedang menanti Presiden Jokowi untuk memenuhi janji kampanye melakukan revolusi mental. Seluruh menteri Kabinet Kerja sudah ditugaskan untuk turut serta merealisasikan janji kampanye sesuai bidang kerjanya masing-masing. Tulisan ini membahas peran yang dapat dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Revolusi mental dalam konteks program kerja kependidikan didasarkan pada evaluasi terhadap kebijakan pendidikan sebelumnya yang menyebabkan rakyat Indonesia kehilangan jati diri sebagai satu bangsa bermartabat dan terhormat. Ini dampak dari sistem pendidikan nasional pemerintahan terdahulu yang terfokus pada pencapaian kompetensi kognitif.

Melalui tahapan pembangunan lima tahun yang dilaksanakan secara gradual sejak tahun 1969, pemerintah terdahulu menyiapkan generasi Indonesia sebagai warga negara industri sehingga visi kurikulum pendidikan nasional dirumuskan untuk menghasilkan lulusan yang mempunyai kecerdasan intelektual tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Tingkat kecerdasan intelektual diukur melalui teori kecerdasan intelligence quotients (IQ), yakni pembagian skor dalam matematika, logika matematika, dan bahasa dengan umur kalender.

Popularitas tes IQ di Tanah Air pada dekade 1980-an menyebabkan pencapaian hasil tesnya menjadi kebanggaan tersendiri. Sejalan dengan cara pandang ini, standar kurikulum pendidikan nasional memberikan jam pelajaran yang sangat banyak untuk mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam karena dinilai dapat membawa bangsa Indonesia sebagai warga negara industri maju.
Sistem ini mengabaikan pendidikan berbasis kebudayaan yang dirintis Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pertama Ki Hajar Dewantoro, dan ditetapkan UU No 4 Tahun 1950 ataupun UU No 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pengajaran dan Pendidikan Nasional.

Tercerabut akar budaya

Pengabaian ini mencabut generasi muda yang terdidik dari akar budaya bangsa Indonesia. Mereka adalah generasi baru yang tidak mewarisi nilai-nilai kebajikan leluhurnya. Contoh sederhana adalah menghilangnya nilai-nilai kegotongroyongan dalam kehidupan bermasyarakat.

Hingga ke tingkat desa sekalipun, kegotongroyongan diganti dengan upah kerja. Pendorong perubahan adalah pemerintah terdahulu melalui program kerja padat karya, yakni melibatkan masyarakat secara luas berdasarkan sistem upah kerja.
Satu dekade terakhir, penulis, dalam rangka tridharma perguruan tinggi, sering mendengar keluh-kesah para kepala desa ataupun lurah yang kesulitan mengerahkan warganya bekerja sosial berdasarkan nilai-nilai kegotongroyongan.

Berbagai contoh hilangnya kepedulian sosial dan sikap religiositas sebagai jati diri bangsa Indonesia dapat kita saksikan melalui media cetak dan elektronik. Banyak orang terdidik yang melakukan perbuatan tidak terhormat, sedangkan elite politik tanpa ragu memperlihatkan sikap mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang banyak.

Para pelajar dan mahasiswa tanpa sungkan mempertontonkan tawuran ataupun demo anarki. Sementara pimpinan sekolah ataupun kampus tidak berdaya mencegahnya. Kita dapat saja berkilah bahwa demo anarki mahasiswa kerap disusupi ”penumpang gelap bernama provokator” dengan kepentingan politik tertentu, tetapi ini adalah cerminan pembenaran terhadap ketidaksediaan kita mengakui adanya kesalahan dalam sistem pendidikan nasional.

Wajar saja apabila banyak orangtua meragukan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk menciptakan anak-anaknya menjadi manusia berkualitas, baik perilaku maupun kemampuannya. Maka, banyak orangtua mengirimkan anak-anak mereka bersekolah di luar negeri.

Tinggal kenangan

Predikat sebagai masyarakat religius dan sosial yang pernah disandang bangsa Indonesia menjadi kenangan yang sulit dipahami generasi muda karena sistem pendidikan nasional tidak menjadikannya sebagai prioritas dari target kompetensi lulusan. Kesalahan sistemik ini disadari konseptor Kurikulum 2013 sehingga berubahlah substansi kurikulum yang semula terfokus pada kemampuan kognitif menjadi kemampuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Keterpaduan itu dapat dilihat pada empat kompetensi inti seluruh mata pelajaran dalam Kurikulum 2013. Kompetensi sikap religius menjadi kompetensi pertama dan sikap sosial menjadi kompetensi kedua.

Namun, kedudukan terhormat ini tidak berbanding lurus karena penghargaan tertinggi pemerintah masih tercurah pada kemampuan kognitif yang dalam Kurikulum 2013 merupakan kompetensi inti ketiga. Dengan demikian, ukuran keberhasilan seorang pendidik tidak berubah, yakni pencapaian kompetensi kognitif.

Kampanye revolusi mental memberikan harapan baru tersusunnya sistem pendidikan berbasis mental-spiritual yang dapat mengembalikan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa religius yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Diperlukan penciptaan sistem penghargaan yang membanggakan terhadap pencapaian kompetensi religius dan sosial dalam kegiatan belajar dan mengajar yang dilakukan para guru di ruang kelas ataupun kepala sekolah dalam mengelola lingkungan sekolahnya.

Peserta didik yang memperoleh prestasi kompetensi religius dan sosial juga harus mendapatkan penghargaan yang membanggakan.

Saat ini kita sama-sama mengetahui bahwa kemajuan negara-negara industri maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga diimbangi dengan kemajuan di bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial dan budaya sehingga jati diri mereka sebagai bangsa semakin kuat sebagaimana diperlihatkan bangsa-bangsa maju, seperti Amerika, Jerman, dan Jepang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar