Rabu, 31 Desember 2014

Dua Kurikulum 2006 dan 2013

Dua Kurikulum 2006 dan 2013

Elin Driana   ;   Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta; Salah Seorang Koordinator Education Forum

KOMPAS, 29 Desember 2014

                                                                                                                       


PENGHENTIAN Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru menjalankannya selama satu semester—dan hanya diterapkan di sekolah-sekolah yang sudah menjalankannya selama tiga semester—oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menuai beragam reaksi.

Tidak sedikit yang menyesalkan keputusan tersebut, baik dari kalangan guru, siswa, orangtua, maupun anggota masyarakat lainnya.  Reaksi yang cukup dominan antara lain kekhawatiran akan kembalinya pembelajaran pada model ceramah yang membosankan, latihan-latihan soal, atau hanya mengacu pada buku teks apabila menggunakan Kurikulum 2006.

Banyak kesamaan

Ditinjau dari prinsip-prinsip pembelajaran, sebetulnya tak ada perbedaan yang berarti antara Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22/2006—yang ditandatangani mendiknas terdahulu Bambang Soedibyo—menyebutkan bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip antara lain ”berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya”; ”beragam dan terpadu”; ”tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni”; ”relevan dengan kebutuhan kehidupan”; ”menyeluruh dan berkesinambungan”; ”belajar sepanjang hayat”; dan ”seimbang antara kepentingan nasional dan daerah”.  Adapun pelaksanaan kurikulum didasarkan pada prinsip-prinsip pembelajaran, antara lain: ”aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan”; ”menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, serta memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar”.

Pendekatan saintifik yang kerap dipromosikan sebagai keunggulan Kurikulum 2013 sebenarnya juga telah ada dalam Kurikulum 2006. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  No 41/2007 tentang Standar Proses disebutkan, ”Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi”.

Disebutkan bahwa dalam proses eksplorasi, peserta didik memiliki kesempatan untuk ”mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang tengah dipelajari”. Peserta didik pun difasilitasi untuk ”melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan”. Sementara itu, dalam proses elaborasi, peserta didik dibiasakan antara lain untuk ”membaca dan menulis melalui penugasan-penugasan yang bermakna, berdiskusi, memunculkan gagasan, baik secara lisan maupun tulisan”, serta ”berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut”. Adapun dalam proses konfirmasi, guru dan peserta didik berkesempatan untuk memberikan umpan balik dan melakukan refleksi atas pembelajaran yang telah dilalui.

Pembelajaran berbasis masalah dan proyek yang  kerap diklaim sebagai terobosan Kurikulum 2013 juga sebenarnya telah ada dalam Kurikulum 2006. Begitu pula dengan penilaian otentik, misalnya melalui unjuk kerja, hasil karya, proyek, dan produk, telah ada dalam Kurikulum 2006. Pendidikan karakter pun telah tercakup dalam Kurikulum 2006.

Faktor-faktor penentu

Jika terdapat banyak kesamaan prinsip-prinsip Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013, mengapa masih berkembang anggapan di sebagian guru, siswa, orangtua, dan anggota masyarakat lainnya bahwa pembelajaran dengan menggunakan Kurikulum 2006 berbeda daripada Kurikulum 2013? Keberhasilan implementasi kurikulum bergantung pada faktor-faktor penentu, seperti peningkatan kualitas guru, misalnya melalui pelatihan, pendampingan, dan kegiatan kolaboratif. Termasuk perubahan pola pikir dalam pembelajaran dan motivasi untuk melakukan perubahan dari praktik-praktik yang selama ini dilakukan ke arah yang lebih baik, pembenahan sarana dan prasarana penunjang, serta pemenuhan  standar-standar nasional pendidikan lainnya.

Prinsip-prinsip pembelajaran Kurikulum 2006 yang pada dasarnya sama dengan Kurikulum 2013 tampaknya tidak tersosialisasikan dan tidak terimplementasikan dengan semestinya karena tidak memadainya upaya pembenahan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan penerapan kurikulum tersebut. Akibatnya, ketika prinsip-prinsip pembelajaran yang dipandang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam menghadapi tantangan masa depan tersebut dikemas kembali dalam Kurikulum 2013, tak sedikit menganggap bahwa prinsip-prinsip itu tidak ada dalam Kurikulum 2006, tidak terkecuali di kalangan tim yang menyosialisasikan kurikulum tersebut.

Kini, masyarakat perlu diyakinkan bahwa kembali ke Kurikulum 2006 bukanlah suatu kemunduran dibandingkan dengan tetap menggunakan Kurikulum 2013. Kedua kurikulum tersebut memiliki keunggulan-keunggulan yang relatif sama dan keduanya pun sama-sama memiliki kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki. Siswa dan orangtua yang anak-anaknya bersekolah di sekolah yang menggunakan Kurikulum 2006 tidak perlu merasa dinomorduakan.

Selain itu, masyarakat perlu mengetahui secara lebih utuh masalah-masalah lebih substantif yang ada dalam Kurikulum 2013, di samping masalah-masalah dalam implementasinya, yang menjadi dasar penghentian Kurikulum 2013 di sekolah yang baru menjalankannya selama satu semester. Sebagai contoh, rumusan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dalam Kurikulum 2013 mengandung kelemahan-kelemahan dari sisi substansi dan logika. Ini kemudian berdampak pula pada perumusan indikator-indikator Kompetensi Dasar dan penyusunan bahan ajar.

Kurikulum masa depan

Seiring dengan berjalannya evaluasi dan implementasi Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006, diharapkan dalam praktiknya tak mencolok lagi dikotomi antara Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006. Justru diharapkan semakin mengarah pada kurikulum yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan keragaman latar belakang serta karakteristik peserta didik.

Penilaian sikap spiritual dan sosial dalam Kurikulum 2013 yang rumit dari sisi administratif—mengingat jumlah siswa yang bisa mencapai ratusan yang harus diamati seorang guru dan perlu dipertanyakan juga secara substantif—merupakan aspek yang mendesak untuk dievaluasi. Beban tatap muka minimal 24 jam per minggu bagi guru di luar tugas-tugas yang lain, jumlah mata pelajaran dan jam belajar siswa  serta beban siswa, perlu dikaji kembali dengan melibatkan juga ahli-ahli psikologi pendidikan dan perkembangan, misalnya. Orientasi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dalam mempersiapkan guru pun semestinya tidak lagi dibatasi oleh kurikulum tertentu. Akan tetapi, lebih pada pengembangan kemampuan dalam merancang, menjalankan, dan mengevaluasi proses pendidikan yang sesuai dengan keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik dan peka terhadap tuntutan-tuntutan perubahan.

Kurikulum pun sepatutnya dikembalikan pada fungsinya sebagai panduan pembelajaran, bukan diperlakukan sebagai buku petunjuk penggunaan mesin yang diikuti secara kaku.  Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 36 Ayat (2), menyebutkan, ”Kurikulum pada semua jenjang pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”. Kurikulum yang kaku dan terlalu rinci, terlebih bagi Indonesia dengan latar belakang dan karakteristik peserta didik yang beragam, tidak akan mampu mengimbangi tantangan-tantangan masa depan yang terus berubah dan semakin kompleks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar