Jumat, 26 Desember 2014

Natal dan Perubahan Mentalitas

Natal dan Perubahan Mentalitas

Aloys Budi Purnomo  ;   Rohaniwan;
Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan, Keuskupan Agung Semarang
KOMPAS,  24 Desember 2014

                                                                                                                       


Bagi bangsa ini, frasa ”revolusi mental” kian populer sejak didengungkan Joko Widodo saat masih calon hingga menjadi Presiden RI. Dari wacana hingga gerakan revolusi mental digemakan dalam berbagai bidang sebagai daya dorong untuk membangun kehidupan bangsa ini agar kian berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan bermartabat dalam kebudayaan.

Izinkan saya melalui renungan Natal 2014 ini memberikan perspektif spiritual-teologis terkait revolusi mental. Dalam perspektif spiritual-teologis peristiwa Natal, yakni kenangan atas peristiwa historis kelahiran Yesus Kristus, revolusi mental mendapatkan landasannya melalui penjelmaan dan pelayanan yang murah hati.

Dalam keyakinan iman Kristiani, Natal adalah kenangan penuh syukur dan kegembiraan atas sosok pribadi yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani; bukan untuk merampas kehidupan, melainkan memuliakannya; bukan untuk menguasai, melainkan untuk mengabdi.

Teologi inkarnasi (penjelmaan) menegaskan bahwa peristiwa Natal adalah awal dari komitmen kasih Allah, pencipta langit dan bumi, yang karena begitu besar kasih-Nya, mengutus putra-Nya yang tunggal menjadi manusia agar dunia dan seisinya beroleh keselamatan (bdk Yohanes 3:16).

Penjelmaan ditandai oleh pengosongan diri demi representasi bela rasa di antara kita. Persis di sinilah esensi revolusi mental dihayati bukan sebagai suatu yang statis, melainkan dinamis. Ia tidak mandek, melainkan mengalir dan menggerakkan.

Tujuannya adalah keselamatan, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan orang lain, bukan diri sendiri. Maka, revolusi mental itu meretas segala bentuk egoisme personal ataupun komunal.

Perwujudan

Penghayatan dan perwujudan revolusi mental tampak dalam gerakan keluar dari diri sendiri dan hadir dalam kebersamaan dengan yang lain, terutama yang sedang mengalami kehampaan, kekeringan, kesulitan, penderitaan, peminggiran, dan pemiskinan.

Subyek perwujudan revolusi mental adalah kelompok kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Lawan dari itu adalah sikap menutup diri yang membuat kemanusiaan menjadi lebih buruk karena terbelenggu egoisme dan pencitraan diri yang narsistik.

Dewasa ini, kita menyaksikan banyak pihak mencoba untuk menjauhkan diri dari pihak lain, bahkan dengan semangat permusuhan.

Mereka berlindung dalam kenyamanan privasi dan lingkaran kelompok kecil sebagai kawan dan memunculkan pihak lain sebagai lawan, bahkan musuh.
Dengan demikian, realitas sosial hidup bersama yang mestinya saling menopang diretas, dikhianati. Masyarakat politik kita cenderung bermental demikian, tak heran muncul kelompok-kelompok yang saling bersitegang.

Hal ini tampak dari munculnya Koalisi Merah Putih versus Koalisi Indonesia Hebat. Atau, di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kita pernah muncul kelompok DPR tandingan. Di dalam partai muncul partai tandingan.
Kehidupan sosial politik menjadi terbelenggu oleh penyakit kecurigaan, ketidakpercayaan, ketakutan kehilangan privasi, bahkan sikap defensif yang cenderung destruktif bagi tercapainya kemaslahatan hidup bersama.

Semua itu tak lebih dari sebentuk imanentisme, pengucilan, pengingkaran, dan pengkhianatan terhadap liyan. Relasi dibelenggu oleh kepentingan sesaat, bahkan hasrat akan kekuasaan yang melahirkan kekerasan dan kehancuran.
Revolusi mental Natal menawarkan dan menghadirkan relasi baru di antara kita, antara sesama dan semesta, antara kita dengan Sang Pencipta. Romantisisme Natal pascamodern yang egoistik dan komunalistik tak lagi relevan dalam konteks revolusi mental Natal.

Natal diwartakan dalam hakikat kerelaan untuk senantiasa menjalankan dan menjalani risiko perjumpaan tatap muka dengan sesama dan semesta.
Itulah makna kelahiran sosok pribadi yang dinamai Yesus Kristus. Ia hadir di tengah kita, dengan segala rasa sakit siapa pun yang dijumpainya, sekaligus dengan kegembiraan yang terus merasuki kehidupan.

Karena itu, penghayatan iman yang benar terkait dengan Natal tidak mandek pada perayaan, melainkan perwujudannya.

Meminjam seruan Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013 no 88), iman yang benar akan Putra Allah yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus ”tidak bisa dilepaskan dari pemberian diri, keanggotaan dalam komunitas, pelayanan, rekonsiliasi dengan sesama. Putra Allah, dengan menjadi manusia, memanggil kita kepada revolusi mental sepenuhnya menuju pada kelemahlembutan.”

Memberdayakan

Mentalitas baru bersumber dari spirit Natal mewujud melalui relasi baru yang ditandai kehadiran yang memberdayakan. Kelahiran Yesus membuka lembaran baru kehidupan yang ditandai oleh kehadiran Allah yang menyertai Sang Emmanuel agar manusia menemukan peneguhan dan makna dalam hidup bersama. Dia tinggal di antara kita, menumbuhkan solidaritas, persaudaraan, serta hasrat akan kebaikan, kebenaran, dan keadilan.

Kehadiran sosok pribadi yang demikian akan selalu menjadi kerinduan sepanjang zaman tak akan hancur oleh serangan apa pun.

Tak heran, meski Munir telah dibunuh, atau Wiji Thukul yang sejak 27 Juli 1996 hingga hari ini masih dihilangkan, tetap menggemakan gerakan revolusi mental melalui kehadiran yang memuliakan martabat kehidupan manusia.

Semoga era baru pemerintahan Jokowi-JK membangkitkan kembali hasrat terwujudnya keadilan bagi mereka yang selama ini diperlakukan tidak adil—tetapi kasusnya tak pernah tuntas diselesaikan dalam perspektif kemanusiaan—sebagai sisi lain gerakan revolusi mental. Selamat Natal 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar