Diskusi LMI-Kompas “Generasi Kreatif dan Kemandirian Kaum
Muda Indonesia”
Domain
Simbolik dan Orang Kreatif
|
KOMPAS,
24 Desember 2014
DISKUSI
mengenai generasi kreatif dan kemandirian kaum muda Indonesia ini penting
mengisi euforia kita tentang pemerintahan baru yang punya pikiran besar
tentang revolusi mental serta perhatian pada industri kreatif.
Sumpah
Pemuda adalah sebentuk kreativitas ketika generasi 1920-an melakukan pembongkaran
dengan cara kreatif, creative destruction. Konsep sosiologis tentang
generasi, menurut Ron Eyerman, mengandung arti lebih dari sekadar orang-orang
yang terlahir pada masa hampir sama. Konsep itu menyatakan sebuah kesamaan
pengalaman sehingga menciptakan sebuah dasar bagi cara pandang yang sama,
orientasi tujuan yang sama, dan bisa mempersatukan para pelaku meskipun tidak
saling bertemu.
Bagi
Karl Mannheim, sebuah generasi membentuk identitas kolektifnya dari
sekumpulan pengalaman yang sama, yang melahirkan sebuah identitas dalam cara
merespons, dan rasa keterikatan tertentu dalam suatu cara ketika semua
anggotanya bergerak dan terbentuk oleh kesamaan pengalaman mereka.
Dengan
pengertian generasi seperti ini, yang dituju bukan sekadar individu kreatif,
orang per orang, melainkan satu generasi yang bersifat kolektif memberi
respons kreatif terhadap tantangan zaman. Pengertian ini penting karena
sering kita terjebak pada semacam kekaguman terhadap orang-orang tertentu
yang berdarah-darah merangkak dari bawah tiba-tiba menjadi seorang menteri
lalu kita rayakan.
Dalam
film Laskar Pelangi, misalnya, banyak orang tertuju pada tokoh yang bisa
masuk sekolah Eropa dan seterusnya. Namun, yang justru paling mengesankan
dari cerita itu adalah seorang anak amat cerdas yang terpaksa meninggalkan
dunia sekolah karena orangtuanya meninggal dan harus menanggung beban
orangtuanya. Entah berapa banyak orang yang, secara potensial cukup kreatif
sebenarnya, dalam perkembangannya tercecer dan tak jadi apa-apa. Kita tidak
bisa membangun kreativitas hanya atas dasar peristiwa kebetulan orang per
orang. Kita ingin bahwa satu sistem memungkinkan suatu generasi yang punya
pengalaman bersama dan respons kreatif terhadap lingkungannya.
Kreativitas
adalah suatu proses yang melaluinya domain simbolik dalam kebudayaan berubah:
nyanyian baru, ide baru, mesin baru, dan seterusnya. Kreativitas dihasilkan
oleh interaksi suatu sistem yang terdiri dari tiga elemen, yaitu domain
simbolik, bidang pendukung, dan orang kreatif.
Domain
simbolik, biasanya disebut budaya, berisi seperangkat aturan, prosedur,
pengetahuan, dan informasi simbolik (meme)
sebagai titik tolak sekaligus titik ubah dari kreativitas. Bidang pendukung
meliputi segala orang, institusi, dan jaringan yang bertindak sebagai penjaga
pintu yang mendukung, menyaring, dan memvalidasi setiap inovasi untuk bisa
masuk dan membawa perubahan dalam domain budaya. Orang kreatif membawa
kebaruan dalam domain simbolik.
Renaisans dan Firenze
Sebuah
contoh paling kreatif dalam sejarah renaisans Eropa memberi pengalaman
bagaimana bekerjanya ketiga elemen itu. Seluruh sejarah renaisans Eropa boleh
dibilang terjadi di Firenze, Italia, dalam kurun 1400-1425, saat renovasi
menyeluruh dan perancangan kubah bagi Basilika Santa Maria Novella di kota
itu. Sedemikian hebat Firenze yang melahirkan karya paling kreatif dan paling
canggih itu sehingga, ketika Nazi dalam Perang Dunia Kedua memerintahkan
jenderalnya membumihanguskan Firenze, sang jenderal desersi. Katanya, ”Lebih baik saya dihukum Nazi ketimbang
menghancurkan Firenze sebab terlalu banyak keindahan yang musnah dari muka
bumi ini apabila Firenze dibumihanguskan.”
Bagaimana
kreativitas bekerja di sana? Selama 80 tahun gereja ini kosong melompong
tanpa kubah sebab tak satu orang pun pada masa itu yang kreatif menawarkan
suatu proposal meyakinkan yang menjamin sistem konstruksi yang mampu menahan
dari kemungkinan robohnya bangunan secara menyeluruh.
Pada
awal 1400-an mulai ada gerakan di Roma dan Firenze menggali kembali tradisi
warisan Yunani dan Romawi. Termasuk dalam hal ini seorang arsitek yang
mempelajari teknik arsitektur Romawi Purba. Teknik arsitektur Romawi Purba
yang ditemukan itu kemudian dia gabung dengan teknologi gotik termaju di
zamannya. Ia mengajukan proposal kepada gereja, yang sebelumnya menolak
banyak proposal lain, dan gereja mengabulkannya serta memberi ia kesempatan
membangun kubah untuk Basilika Satna Maria Novella itu.
Jaringan
institusi (gereja, pemodal, pemerintahan kota) mendukung kreativitas Firenze
itu. Pembangunan hampir setengah abad pintu barat dan utara Basi- lika Santa
Maria Novella dimulai dengan sayembara. Domain pemangku kepentingan tata
kota, Dewan Kota, membuka sayembara untuk pembuatan rancangan pintu itu.
Begitu sayembara dibuka, muncul hampir semua pendekar seni kreatif di zaman
itu dan yang keluar sebagai pemenang adalah Lorenzo Ghiberti. Berbeda dengan
pesaingnya dalam sayembara itu yang menggali sistem bangunan Romawi Purba,
Ghiberti mencari tahu bagaimana membuat patung pada masa Romawi Purba. Setelah
menemukannya, ia mengembangkan temuan itu dengan ilmu baru dan merancang
pintu barat dan pintu utara sedemikian rupa.
Sejarah
mencatat bahwa karya-karya seni kreatif berkembang di Firenze waktu itu
karena gereja tak saja mengambil satu desain dari seorang arsitek, tetapi
secara cermat ikut mengontrol dengan memilih bahan dan jenis patungnya. Para
pengusaha yang sedang tumbuh di Firenze waktu itu memberi ruang bagi karya
kreatif dengan menyediakan hadiah bagi orang kreatif, serta ikut mengoleksi
karya kreatif itu sehingga semua jadi satu kehidupan yang tumbuh
bersama-sama. Jaringan kurator dan jaringan pengkritik seni dikembangkan.
Pelajaran
yang bisa dipetik dari kasus Firenze ini adalah adanya dukungan bagi
orang-orang yang menemukan cara-cara baru, ilmu-ilmu baru, untuk membentuk
konstruksi.
Sandek dan poros maritim
Kita
mempunyai sejumlah kearifan tradisional, tetapi kita tidak pernah mencoba
mereartikulasikannya secara baru untuk mampu kompetitif dan menjawab
tantangan zaman. Sering kita bicara mengenai kearifan tradisional, tetapi
sering pula berhenti di dalam arkaisme itu sendiri. Yang diperlukan bukan
historisisme, bukan mengagumi Majapahit atau Sriwijaya.
Kita
tahu bahwa perahu nirmotor tercepat sepanjang sejarah umat manusia adalah
perahu sandek dari Mandar. Kita tentu tak ingin memuja terus-menerus dan
memfosilkan sandek di dalam mesin waktu bahwa seolah-olah kita hanya memuja
sandek sebagai perahu nirmotor tercepat di muka bumi. Yang ingin dilakukan di
dalam proses menemukan kembali domain simbol baru adalah bagaimana teknik
perkapalan bernama sandek diteliti dikembangkan jadi satu ilmu baru sehingga
tersedia cara baru memasuki apa yang disebut dengan poros maritim dunia itu.
Bakat
genetik orang Indonesia dalam karya kreatif tidak perlu diragukan. Kita
ditakdirkan sebagai sebuah bangsa dengan variasi genetik luar biasa. Bangsa
Indonesia memiliki multiple intelegensia yang menakjubkan. Barangkali jika
Howard Gardner bicara tentang tujuh jenis intelegensia, bibit-bibitnya yang
luar biasa tersua di Indonesia. Kalau begitu, di mana masalahnya, mengapa
orang kreatif di Indonesia tidak menemukan proses perwujudan eksistensialnya?
Barangkali
masalahnya ada dalam sistem pendidikan kita. Kita terlalu menekankan
pembelajaran yang sifatnya kelas, yang mengukur semua manusia atas satu jenis
kecerdasan tertentu. Dulu orang dikatakan pintar apabila nilai Matematika dan
IPA-nya tinggi. Kalau ingin beradab, masuk jurusan IPA. Kalau kurang dari
itu, masuk IPS. Kalau masih kurang, masuk jurusan Bahasa. Ternyata kita
temukan sekarang bahwa setiap intelegensia, kalau dikembangkan secara baik
dalam edukasi, akan memberi kontribusi yang sama terhadap total faktor
produktivitas kita. Devisa Brasil dan Argentina sekarang banyak disumbangkan
oleh ekspor para pemain sepak bola.
Mestinya
setiap jenis intelegensia dikembangkan sedemikian rupa sehingga bisa
melahirkan orang-orang dengan karakter sendiri-sendiri dan menjadi kreatif
dalam bidang intelegensia masing-masing. Karena itu, ke depan kurikulum di
sekolah dibatasi saja dengan memberi ruang bagi pilihan yang berbasis personal preferences.
Dengan
begitu, setiap orang punya ruang mengenali dirinya dan, dengan itu, dia
betul-betul bisa mengembangkan kreativitas sesuai dengan preferensi
intelegensianya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar