Selasa, 30 Desember 2014

Jenak

Jenak

Arswendo Atmowiloto   ;   Budayawan
KORAN JAKARTA, 27 Desember 2014

                                                                                                                       


Dengan alasan ini tulisan di akhir tahun, saya ingin ngomongi soal kata jenak, yang menjadi nama rubrik di setiap Sabtu. Sebagai nama, jenak bisa berarti sebentar. Mungkin bisa diartikan jeda, berjarak. Ini saya rasakan setelah sibuk Natal kemarin, dan menjelang akhir tahun, lalu awal tahun baru.

Mungkin ada saat menjenak, menjaga jarak dengan persoalan yang berlangsung. Ini semacam siulan, yang menjadi selingan ketika bernyanyi. Semacam reffrain dalam hidup, sebelum akhirnya kembali ke nada semula. Jenak mungkin ada miripnya dengan jenaka, mungkin sudah termasuk jinak. Mungkin hanya “gothak-gathuk mathuk”, atau asal dicocok-cocokkan. Namun, kalau dalam pengertian menjaga jarak, saya kira ada manfaatnya. Saya pernah sesekali mengulangi itu, yaitu saat tanpa tujuan tertentu pergi ke suatu tempat, yang juga tidak direncanakan sebelumnya, dan melihat kemungkinan secara terbuka.

Kadang pergi ke tempat di mana masih bisa melihat sawah yang basah, yang luas, dan menatapi terus tanpa terganggu disapa atau ditanya. Atau sebetulnya ada tanya ada sapa, namun tanpa suara. Juga tidak dalam rangka mencari inspirasi, atau ilham, atau riset. Semata untuk menikmati, untuk berjenak saja.

Terakhir, kemarin ini, saya berjenak di Pasar Santa, daerah Kebayoran Baru, yang ramai dibicarakan. Saya berangkat, masuk ke sana, sendirian. Mungkin dalam hati mencatati ada ruangan lama, dan masih dipakai berjualan sayur, atau ruang atasnya masih ada penjahit, dan di tingkat atasnya masih ada penjahit atau penjual bumbu atau mainan, dan tingkat atasnya lagi warung nongkrong model kafé, dengan pajangan dagangan piringan hitam lama, lukisan modern, dan pernikpernik yang dinikmati sebagai pure hiasan, tanpa embelembel apa gunanya.

Dan menikmati naik-turun tangga, bertukar pandang, tak dihiraukan tukang yang mengergaji, atau yang mengecat calon kiosnya. Sampai kemudian di pintu keluar, duduk menikmati kelapa ijo. Ini peristiwa yang saya sebut menjenak. Keluar dari perhitungan sebab-akibat, dari kebiasaan pergi untuk sesuatu, dan atau jadwal resmi.

Menjenak adalah menikmati yang selama ini terlupakan karena kesibukan. Semacam selingan kegiatan yang dibiarkan menemukan iramanya sendiri. Dalam kehidupan, saya memang sering mengulang ini. Pergi tanpa tujuan, dan menatap apa yang sebelumnya tak diperhatikan. Kadang saya praktikkan dengan istri.

Jenuh dengan suasana rumah tangga, dengan urusan anak-menantucucu- pembantu, dengan iuran rukun tetangga dan atau bayar listrik, kami berdua pergi giiii, gitu saja. Sampai mendarat di pantai Ancol - bukan untuk munas atau sejenisnya, sampai malam, blusukan tempat yang tak pernah terlintas sebelumnya.

Awalnya memang istri bertanya-tanya, merasa aneh dengan curiga, kemudiannya menikmati. Ini yang saya rasakan menjelang besok, hari Minggu, lalu Senin–Selasa–Rabu yang dalam suasana libur dan menganggur. Saya ingin menikmati. Tanpa rencana pergi ke mana dan atau menginap atau alasan lain. Selain ngeri kalau terperangkap kemacetan dan memperparah stres. Saya memang ingin menikmati saat-saat untuk “tidak merencanakan dan tidak melakukan apa-apa”, sampai harus melakukannya.

Saya jadi ingat 25 tahun lalu ketika Titiek Hamzah, musisi sejak band wanita Dara Puspita, mencipta lagu yang liriknya sejenak/diamlah sejenak/….. Yang sangat mengesan karena setelah itu terjadi huru-hara dalam perjalanan hidup. Saya masih ingat betul kalimatnya, ajakannya untuk “berdiam sejenak”, dalam arti menyendiri.

Biarlah di akhir tahun ini, saya yang menulis di rubrik ini, saya berada di sini, sementara, sebelum akhirnya, yeaaah akhirnya hari Sabtu berikutnya bersapa dengan, dan dalam rencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar