(Proses)
Transformasi Mental
Mudji Sutrisno ; Budayawan
|
KORAN
SINDO, 24 Desember 2014
Ketika
Mochtar Lubis menuliskan ciri-ciri manusia Indonesia dua dekade lalu, satu
watak negatif yang menonjol adalah sikap munafiknya. Maka itu, pertanyaan
langsung untuk proses perubahannya mengarah ke jalan pendidikan dari
transformasi mental kultural menjadi transformasi sikap menghayati kenyataan
dan tindakan nyata.
Transformasi
memuat sekaligus unsur mengolah watak-watak negatif yang bercokoldari cara
pikirsampaicara bertindak. Pokok ini mengandaikan proses tidak bisa dikarbit
atau dijalanpintaskan lantaran butuh internalisasi nilai, bukan hanya cukup
pemahaman dan menyadari materi persoalan.
Ketika
antropolog Koentjaraningrat meneliti sikap mentalitas mana yang cocok dan
yang tidak cocok dengan pembangunan (baca: sebagai modernitas), ditunjuklah
sikap malas dalam menghayati waktu dan ruang yang tidak cocok dengan sikap
rajin, kreatif, dan dinamis menyerap serta daya eksplorasi.
Apakah
jalan keluarnya mesti lewat pendidikan? Apakah pendidikan kesadaran yang
tidak cukup untuk kognitif tahu lalu paham saja tanpa tindak laku nyata?
Inilah ranah pertanyaan perubahan mentalitas pribadi atau perubahan sistemik
bila strukturalisme memberi tahu bahwa manusia itu tidak hanya mengonstruksi
kenyataan dengan sistem, namun ia juga dikonstruksi oleh sistem dengan
catatan bahwa sistem merupakan konstruksi rasional manusia untuk menata
sesuatu (a rational ordering of
something).
Sejak
kita memiliki sistem pendidikan akademik mulai dari TK, SD, dan seterusnya
sampai di perguruan tinggi, kita sudah berasumsi bahwa manusialah subjek
sadar yang mampu merefleksi aksinya dan mengolahnya hingga mau mengubah
perilakunya menjadi semakin baik.
Pengandaian
inilah yang menyumberi kenapa untuk perguruan tinggi, sebelum orangorang
menjadi ahli di bidangnya (baca: profesional dan kompeten), dua dekade lalu
ada studium generale yang merupakan ilmu humanis budaya (humaniora) untuk
menyadarkan dan menegaskan bahwa ilmu-ilmu itu tidak bebas nilai, namun harus
menjadi ranah sarana penyejahteraan manusia dengan harkatnya.
Artinya,
humanisasi sebagai jalan budaya makin memanusiakan manusia itulah yang
mengontrol pemakaian dan praksis ilmu-ilmu agar tidak menjadi dehumanis dan
antibudaya hidup. Meminjam pemikiran Jurgen Habermas, yang digarap sebagai
sikap adalah rasionalitas tujuan dan bukan rasionalitas instrumentalis atau
teknis belaka. Mengapa studium generale
humaniora dilepaskan?
Mengapa
kita mengeluh apabila yang berlaku adalah nilai pragmatis, teknis, dan
praktis jangka pendek di antara pengambil- pengambil kebijakan dan tokoh-tokoh
parpol serta intelektual kita? Mengapa pula transformasi perubahan mentalitas
menjadi lebih dewasa, beradab, yang diharapkan dari pendidikan ternyata
menghasilkan pragmatisme perilaku dan jalan pintas tidak menghargai proses,
tetapi melulu berorientasi hasil? Jawabnya ada dua.
Pertama,
karena nilai kehidupan berdasar pada proses sebagian yang hakiki dari
kehidupan ini dilupakan. Lihatlah, kita dikandung sebelum lahir selama
sembilan bulan. Kita menapaki proses dari anak, remaja, dewasa, sampai usia
lanjut berbingkai proses dan proses.
Kedua,
pendidikan menuntut syarat transformasi yang berarti perubahan proses
kesadaran dan mentalitas serta mengolah nilai-nilai (yang baik, yang benar,
yang suci dan yang indah dari kehidupan) agar membatin dan menjadi sikap
perilakunya. Tidak cukup kognisi pengetahuan, tidak cukup tahu dan paham bila
tanpa ranah olahan di budi, nurani dalam refleksi mengolah
pengalaman-pengalaman hidup untuk menjadi aksi transformatif menuju peradaban
dan bukan mundur ke kebiadaban.
Karena
itu, harus disimak baik-baik penelitian Umar Kayam bahwa ciri negatif bangsa
ini yang tidak mampu mengolah dalam refleksi dan tak mengontrolnya adalah
cepat marah dan mengamuk bila berkonflik. Tidak pertama-tama diskusi dahulu
bila konflik kepentingan, tetapi marah dahulu.
Lihatlah
perilaku motor dan mobil di lalu lintas Jakarta, padahal mereka umumnya kelas
menengah terdidik. Lihat para yang mulia dan terhormat anggota-anggota DPR
yang tidak mulia dan tidak pantas dihormati lagi akhirakhir ini saat
berkelahi, menjungkir balik meja sidang.
Lalu? Hanya dengan kembali ke kesadaran nilai pokok hidup adalah proses
merefleksi beraksi-merefleksi lagi untuk transformasi di sanalah harapan pada
pendidikan mentalitas masih menemukan sinarnya. Hanya dengan teladan-teladan
guru-guru kehidupan yang beri contohlah kita bisa mentransformasikan diri
dalam mentalitas kita. Inikah sebabnya, karena waktu sudah mendesak,
jargonnya dari evolusi menjadi revolusi mentalitas. Utopiakah? PR kita semua!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar