Rabu, 31 Desember 2014

Pajak dan Masa Depan Indonesia

Pajak dan Masa Depan Indonesia

Salahuddin Wahid   ;   Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng

KOMPAS, 29 Desember 2014

                                                                                                                       


SAAT ini Direktorat Jenderal Pajak menjadi sorotan publik dalam banyak hal: dari realisasi penerimaan pajak yang dipastikan tak akan tercapai hingga lelang jabatan Dirjen Pajak. Di antara beberapa hal itu, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan pejabat Direktorat Jenderal Pajak menarik dikupas karena Presiden memberi janji berupa dukungan penuh terhadap pelaksanaan tugas pengumpulan penerimaan negara melalui pajak. Presiden juga menyampaikan peningkatan target penerimaan pajak pada 2015 sebesar Rp 600 triliun.

Dukungan tersebut menggembirakan rakyat karena ketakadilan pajak atas warga negara kian parah. Faktanya, pengenaan dan penagihan pajak tajam ke rakyat kecil tumpul menghadapi konglomerat, orang kaya, dan pejabat negara. Ketakadilan itu bukan disebabkan kesalahan pegawai Pajak semata karena sesungguhnya pegawai Pajak hanya bertugas sesuai dengan aturan. Sayangnya, dalam pelaksanaan tugasnya, pegawai Pajak sering dapat gangguan dari banyak pihak sebab bersentuhan dengan kepentingan pihak tertentu.

Selama ini tak pernah ada perlindungan dari negara ketika pegawai Pajak melaksanakan tugas. Dengan dukungan langsung Presiden, pegawai Pajak bisa dilindungi ketika sedang melaksanakan tugas sehingga mampu melaksanakan tugas dengan benar tanpa takut lagi.

Mewujudkan dukungan

Pernyataan Presiden tidak cukup, harus segera ada implementasi nyatanya. Pada masa lalu pernyataan Presiden kerap dituangkan dalam instruksi presiden. Jadi, yang seyogianya dilakukan Presiden adalah mengeluarkan instruksi presiden untuk menerjemahkan perlindungan terhadap pelaksanaan tugas Ditjen Pajak, sekurang-kurangnya memuat beberapa hal berikut.

Pertama, melakukan penyusunan perppu atau UU untuk menempatkan Ditjen Pajak badan mandiri secara struktural di bawah Presiden dan terpisah dari Kementerian Keuangan. Ini penting agar Presiden dapat mengintervensi langsung dan meminta pertanggungjawaban pemimpin institusi serta untuk menciptakan ruang komunikasi yang intensif dengan pemimpin otoritas pengumpul penerimaan pajak tanpa harus melalui birokrasi yang rumit dan berliku. Di sini Menteri Keuangan hanya sebagai koordinator, tetapi tetap mempertimbangkan kebijakan perpajakan yang akan diambil.

Pembentukan badan perpajakan terpisah sebenarnya tak mustahil dilakukan karena hanya ada satu institusi perpajakan di negeri ini sehingga wewenang, tugas, dan fungsi Ditjen Pajak tak akan tumpang tindih dengan lembaga lain. Ia seharusnya mempermudah melakukan perubahan struktur pada institusi perpajakan daripada ketika pemerintah membentuk Otoritas Jasa Keuangan.

Pembentukan badan perpajakan bisa mendorong tercapainya reformasi birokrasi di institusi perpajakan secara maksimal. Reformasi birokrasi di Ditjen Pajak sudah berlangsung sejak 2002 dan merupakan salah satu pelopor reformasi birokrasi.

Kedua, Presiden mengawal perubahan UU Perpajakan, khususnya UU No 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, agar sesuai kepentingan penerimaan negara. Presiden juga bisa memiliki instrumen perpajakan yang berwenang dalam penegakan hukum. Instrumen ini bisa mengatur penyelesaian sengketa perpajakan dan penegakan law enforcement terhadap pengemplang pajak. Ini penting karena posisi Presiden lebih kuat daripada sekadar direktur jenderal sehingga ketika bersentuhan dengan pihak-pihak tertentu, ada kekuatan politik yang dapat menekan dan berkolaborasi dengan kemampuan tugas dan institusi perpajakan.

Ketiga, Presiden segera menerbitkan peraturan berupa sanksi administrasi terhadap pemimpin lembaga pemerintah pusat dan daerah, BUMN, BUMD, badan swasta, dan individu yang menghambat dan/atau menolak permintaan data dari institusi perpajakan untuk kepentingan penggalian potensi, pengawasan, dan penegakan hukum. Data perpajakan merupakan alat utama pegawai Pajak melaksanakan tugas sehingga seharusnya jumlah dan mutunya harus dijamin pemerintah, serta proses penggalian datanya pun seharusnya dilindungi pemerintah.

Keempat, membentuk divisi khusus di KPK untuk mengawasi pegawai Pajak. Penting mendukung dan melindungi petugas dari sisi ketahanan terhadap godaan korupsi karena nilai pemungutan pajak yang nominalnya luar biasa dan rentan dikorupsi. Diharapkan, kolaborasi dengan KPK ini akan meningkatkan sisi integritas para pegawai Pajak dan memaksimalkan pengawasan internal. Pembentukan badan perpajakan dan divisi KPK khusus pajak harus paralel sehingga berjalan seimbang dengan tujuan, memiliki kewenangan yang besar, tetapi juga maksimal diawasi.

Kelima, infrastruktur yang dibangun dengan dana APBN atau APBD perlu mencantumkan penjelasan bahwa infrastruktur itu dibangun dengan dana pajak yang dibayar rakyat Indonesia. Penting menumbuhkan kebanggaan dan kepercayaan masyarakat agar patuh membayar pajak sehingga mengurangi resistensi terhadap aturan perpajakan.

Peningkatan penerimaan

Berdasarkan data transformasi kelembagaan Ditjen Pajak,  proyeksi penerimaan pajak berdasarkan pertumbuhan alami: PDB (2015) Rp  11.128 triliun dan (2019) Rp 17.510 triliun. Rasio pajak (2015) 12,32 persen dan (2019) 12,42 persen sehingga penerimaan pajak pada 2015 Rp 1.371 triliun dan akan meningkat pada 2019 Rp 2.175 triliun.

Proyeksi penerimaan pajak yang lebih tinggi dapat dicapai dengan mengadakan sejumlah perbaikan yang dibutuhkan. Proyeksi optimistis itu pada 2019 akan capai rasio pajak 16 persen yang menghasilkan penerimaan pajak Rp 2.802 triliun. Terlihat ada potensi penambahan penerimaan pajak Rp 627 triliun pada 2019 dibandingkan dengan pertumbuhan alami. Proyeksi itu bukan angan-angan. Kita bandingkan dengan banyak negara Eropa yang rasio pajaknya di atas 30 persen (tertinggi adalah Belgia sebesar 46,8 persen)

Peningkatan penerimaan pajak itu memerlukan prasyarat lain berupa peningkatan jumlah, mutu, kesejahteraan pegawai badan perpajakan, serta penambahan kewenangan dan syarat lain seperti diuraikan di atas. Jumlah pegawai Ditjen Pajak sejak 2005 semakin meningkat dan mengalami titik balik pada 2012 yang berbalik menjadi menurun. Menurut perkiraan, untuk memenuhi target penerimaan pajak 2015 diperlukan penambahan 10.000 pegawai Ditjen Pajak sehingga total pegawai Pajak menjadi sekitar 41.000.

Ketika tangan midas Presiden menyentuh langsung sektor perpajakan, APBN dengan pembiayaan mandiri dari pajak bukan angan-angan belaka. Dengan dana melimpah, pembangunan Indonesia menuju negara maju suatu keniscayaan.

Dengan peningkatan penerimaan pajak itu, kita bisa membiayai kebutuhan kapal dan persenjataannya untuk mengawal kedaulatan laut, membangun sistem radar, dan membeli pesawat tempur untuk menjaga wilayah udara kita, meningkatkan peralatan tempur TNI AD, meningkatkan kesejahteraan anggota TNI dan Polri. Juga meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum supaya hukum betul-betul tegak dan menyejahterakan serta meningkatkan mutu para guru supaya kita bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga untuk membangun infrastruktur, termasuk tol laut, membiayai penelitian untuk memajukan industri, memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Pajak adalah masa depan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar