Kurtilas
Menurut Kacamata Guru SD
Qaimah Umar ; Guru pada SDN Harapan
Baru IV Bekasi
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Desember 2014
AKHIRNYA Menteri Kebudayaan dan
Pendidikan Dasar dan Menengah Bapak Anies Baswedan menghentikan sementara
implementasi Kurikulum 2013. Sontak beberapa teman saya ada yang gembira, ada
juga yang patah semangat, karena penghentian sementara berlaku pada sekolah
kami yang baru satu semester mengimplementasikan Kurikulum 2013 (Kurtilas).
Saya dan beberapa teman lainnya ialah termasuk orang yang kecewa, karena
semangat untuk melakukan perubahan cara mengajar dan menilai siswa yang
sedang menuju ke arah perubahan.
Beberapa hari setelah pengumuman
penghentian oleh Kemendikbud, muncul juga suara dan kebijakan berbeda dari
pemerintah daerah. Para pengawas juga tak sedikit yang kebingungan karena
jerih payah mereka mengikuti proses pelatihan Kurtilas menjadi sedikit
terganggu.
Selain itu, keputusan
penghentian sementara Kurtilas di tengah semester juga berdampak pada sisa
proses belajar mengajar yang harus diselesaikan para guru yang baru satu
semester mencoba menerapkannya. Bayangkan, sulitnya mengajar dengan dua
sistem yang berbeda karena implikasi teknis di sekolah dan di kelas sangat
merepotkan guru. Apalagi nanti di akhir tahun ajaran, para guru dituntut
untuk membuat evaluasi atau tes terhadap kemampuan siswa. Pada ujungnya yang
dituntut dari guru, seperti terus berputar di dalam lingkaran setan
formalitas kurikulum yang tak berujung.
Kelebihan dan kekurangan
Kurtilas sejatinya diharapkan
sebagai prasyarat bagi para guru untuk lebih kreatif dan inovatif dalam
mengajar. Kurtilas sebagai tools
bagi proses pengembangan kapasitas guru, sebenarnya mampu menarik perhatian
para pemangku kepentingan pendidikan. Dalam menghadapi dinamika perubahan
yang sedemikian cepat dan kebutuhan akan standar kualitas pendidikan yang
tinggi menyebabkan guru sangat perlu untuk menyesuaikan diri dan terus
memperbaiki keterampilan yang dimiliki melalui program pengembangan kapasitas
pembelajaran, lebih dari waktu-waktu sebelumnya.Dengan kebijakan Kurtilas,
sebenarnya para guru berharap akan ada pola pengembangan kemampuan kapasitas
guru secara berkelanjutan.
Kurtilas dengan panduan detail
buku pegangan siswa dan guru secara terpadu, sebenarnya itu dimaksudkan untuk
memudahkan sejumlah kegiatan belajar mengajar yang sengaja dirancang untuk
membantu pengembangan kapasitas guru. Kegiatan memahami kompetensi dasar
dengan logika premis yang runut dan runtun, sebenarnya akan membuat guru
ataupun siswa memperoleh keuntungan dalam merancang proses belajar mengajar
yang nyaman dan aman. Namun, berbagai rencana yang merupakan kelebihan dari
Kurtilas tersebut ternodai oleh banyaknya kesalahan teknis dalam buku
pegangan guru dan siswa. Terutama dalam hal sebaran peta kompetensi dasar
yang tidak proporsional dan sangat memberatkan guru.
Buku pegangan siswa dan guru
ternyata tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No
57 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SD/MI. Antara Permendikbud yang mengatur
isi silabus dengan buku pegangan guru dan siswa, terdapat banyak sekali
kerancuan dalam hal sebaran kompetensi dasar (KD) yang tidak proporsional.
Misalnya, ada beberapa KD yang dilaksanakan pada lebih dari 10 subtema,
tetapi ada pula KD yang dilaksanakan hanya 1 kali, bahkan ada KD yang tidak
dilaksanakan sama sekali. Hal itu tentu saja amat membingungkan guru karena
beban kerja menjadi bertambah, sedangkan panduan teknisnya malah terkesan
amburadul.
Belum lagi dengan kerangka
evaluasi yang mengharuskan guru menilai semua aspek kemampuan siswa setiap
hari dan melakukan pencatatan secara detail. Alih-alih akan meningkatkan kreativitas
guru malah berujung pada kelelahan yang tak perlu. Bisa dibayangkan, jika
seorang guru mengajar dua kelas, yakni setiap kelas jumlah siswanya sekitar
4045, berarti dia berhadapan dengan 90-an siswa setiap hari. Apakah mungkin
guru melakukan pencatatan dalam konteks penilaian terhadap seluruh siswanya?
Benar saja, buku rapor evaluasi siswa Kurtilas begitu rumit. Padahal,
pelatihan teknisnya tidak dilakukan secara sempurna.
Akhirnya, sementara ini saya
berkesimpulan bahwa Kurtilas sebenarnya baik karena pertama, membuat guru
lebih rajin dan karena itu memaksa diri mereka untuk kreatif. Kedua, Kurtilas
juga memaksa guru untuk mau membaca karena tak cukup dengan mengandalkan buku
teks semata saja. Buku pegangan guru cukup membantu menjelaskan proses belajar.
Namun, kesalahan teknis, seperti tidak sinkronnya kompetensi dasar dengan
indikator membuat guru bingung.
Sebagaimana halnya kurikulum
lama, akhirnya guru terjebak pada logika formal kurikulum yang terlalu mengandalkan
aspek administratif. Banyaknya pencatatan yang harus dibuat dan dilakukan
guru dalam proses belajar Kurtilas membuat guru kehabisan waktu. Sementara
kompetensi dasar yang ingin diselesaikan menumpuk dalam satu minggu, aspek
penilaian, dan evaluasi juga harus dilakukan secara harian dan kepada setiap
anak.
Kembalikan ke sekolah
Saya setuju Kurtilas harus
dievaluasi kembali. Basis evaluasi bukan hanya pada aspek teknis kurikulum
tertulis seperti yang sudah ada dalam peraturan menteri tentang silabus,
melainkan juga pada aspek implementasi di sekolah. Banyak guru mengalami
kebingungan karena instruksi antara kementerian dan pemerintah daerah (pemda)
tak jarang sering berbeda. Hal itu terlihat dari kegamangan para pengawas
sekolah yang tidak begitu menguasai esensi Kurtilas secara filosofis ataupun
pedagogis. Karena itu, dengan menetapkan Kurtilas tetap berlaku pada sejumlah
sekolah, saya berharap ke depan, Kemendikbud memiliki cukup pelatih dan
pendamping yang mau terjun langsung ke sekolah-sekolah terpilih. Bukan hanya
memberikan pelatihan Kurtilas, melainkan juga mendampingi keseharian guru
dalam mengajar di kelas.
Berbagai bentuk pendampingan
perlu dilakukan di dalam sekolah atau juga upayaupaya mandiri yang dilakukan
guru dalam mengembangkan potensi diri. Minimnya jumlah pengawas, sebenarnya
bisa disiasati dengan meminta para dosen perguruan tinggi ikut terlibat dalam
proses pendampingan sekolah dalam melaksanakan Kurtilas. Selain itu, sekolah
juga dapat menggunakan strategi pengembangan kapasitas guru dengan belajar
dari sekolah-sekolah swasta yang telah memiliki program yang dimaksud.
Sekolah-sekolah yang sampai saat
ini masih diperbolehkan melaksanakan Kurtilas perlu diberi pelatihan ulang
terhadap seluruh warga sekolah. Dengan melibatkan secara langsung kepala
sekolah, pengawas, Dinas Pendidikan, LSM, dan orangtua ialah sebuah
keniscayaan karena implikasi dari Kurtilas terjadi bukan hanya terhadap
proses belajar mengajar yang dilakukan guru, melainkan juga memiliki
implikasi manajerial.Penambahan jam pelajaran, pembelian media belajar yang
memungkinkan guru menjadi lebih kreatif, serta membuat sistem biaya
operasional sekolah yang transparan dan bertanggung jawab, tentu merupakan
konsekuensi logis dari implementasi Kurtilas.
Karena itu, keterlibatan seluruh
pemangku kepentingan pendidikan di tingkat sekolah perlu diberi perhatian
secara serius jika ingin implementasi Kurtilas sukses.
Dengan mengembalikan operasional
Kurtilas ke sekolah, maka proses peningkatan kapasitas guru setidaknya akan
mampu untuk: (1) meningkatkan keterampilan kinerja seluruh staf, (2)
memperbaiki keterampilan kinerja setiap guru, (3) memperluas pengalaman guru
agar kariernya berkembang dan mendapatkan promosi, (4) mengembangkan
pengetahuan dan pemahaman profesional setiap guru, (5) memperluas bekal kependidikan
guru, (6) membuat staf merasa lebih berharga, (7) meningkatkan kepuasan
kerja, (8) mengembangkan cara pandang yang lebih baik terhadap pekerjaan, (9)
membantu guru mengantisipasi dan mempersiapkan diri menghadapi perubahan,
(10) memperjelas kebijakan soal mana kewenangan sekolah dan mana kewenangan
kementerian (Craft, 2000).
Pada akhirnya, muara dari
keseluruhan kegiatan implementasi Kurtilas sebenarnya ingin meningkatkan
kapasitas guru, yakni hasil akhirnya ialah peningkatan hasil belajar siswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar