Akar
Rekening Gendut Kepala Daerah
W Riawan Tjandra ; Pengajar Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Alumnus Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana UGM Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Desember 2014
ISU mengenai dugaan adanya
rekening gendut oknum kepala daerah ternyata tak hanya sebuah wacana semata
ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai terdapat rekening gendut
sejumlah kepala daerah yang diduga bersumber dari kasus tindak pidana korupsi
dan atau pencucian uang. Soal rekening gendut itu awalnya merupakan temuan
dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan kemudian
dilaporkan ke KPK.Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan pendalaman dari laporan
PPATK itu merupakan salah satu upaya pencegahan korupsi.
Beberapa indikasi adanya
rekening gendut sejumlah kepala daerah terlihat dari, salah satunya, hasil
LHKPN dari FB, mantan Gubernur DKI Jakarta, yang menunjukkan peningkatan
secara signifikan sebelum dan setelah menjabat kepala daerah. Pimpinan KPK
sempat mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima laporan hasil analisis (LHA)
dari PPATK yang berisi transaksi keuangan mencurigakan milik FB, yang disebut
memiliki total harta pada 2012 sangat jauh berbeda dengan harta yang
dimilikinya pada 2001. Pada 16 Juli 2001, FB pertama kali melaporkan harta
kekayaannya dalam kapasitas sebagai Sekda Jakarta, sebesar Rp15,1 miliar dan
US$167 ribu.
Saat menjadi Wakil Gubernur DKI
Jakarta, pada 31 Juli 2006, harta yang dilaporkan sebesar Rp32,6 miliar dan
US$130 ribu. Total harta dilaporkan yang dimiliki FB dalam LHKPN per 14 Maret
2012 senilai Rp59,3 miliar dan US$325 ribu (Detik News, 17/12 15.07 WIB). Selain FB, Kejaksaan Agung kini
telah mengkaji adanya delapan kepala daerah baik yang aktif maupun sudah
mantan, termasuk Gubernur Sulawesi Tenggara NA, terkait rekening gendut.
Akar penyebab maraknya korupsi
politik yang dilakukan sejumlah oknum kepala daerah tak lain ialah tak
seimbangnya internalisasi integritas dengan pergeseran wewenang
penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah. Prinsip otonomi
seluas-luasnya yang dicanangkan dalam UUD Negara RI 1945 tak kongruen dengan
semangat tata kelola kepemerintahan yang baik. Di ranah politik lokal, sistem
penyelenggaraan pilkada yang bersifat langsung juga masih minim transparansi
dan akuntabilitas sehingga menjadi lahan subur bagi tumbuhnya sistem
demokrasi kleptokratis dan menjerat sederet oknum elite politik lokal.
Namun, terapi yang dilakukan
juga harus tepat. Jangan seperti pepatah `Membakar lumbung padi untuk
menangkap sejumlah tikus'. Ranah praksis tata kelola pemilihan kepala daerah
secara langsung harus dibenahi dengan menginternalisasikan prinsip
integritas, transparansi, dan akuntabilitas ke dalam sistem pilkada tersebut,
bukan dengan cara mengeliminasi sistem demokrasi langsung dalam pilkada.
Makna demokrasi langsung dalam sistem pilkada tak boleh bergeser menjadi
transaksi politik yang sejak dari proses pemilihan sampai saat menjabat
pejabat publik di daerah, para elite politik lokal terjerat oleh berbagai
`utang politik' yang mendorong terjadinya praktik-praktik tata kelola
pemerintahan yang bersifat kleptokratis.
Di sisi lain, perdebatan tak
substansial di atas permukaan mengenai sistem pilkada langsung/tak langsung
telah mencabut dari makna substantif untuk memperbaiki sistem tata kelola
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih berbasis pada akar kerakyatan. Berapa
banyak waktu dan tenaga terbuang sia-sia di saat proses legislasi di Senayan
hanya menyentuh aras permukaan di seputar diskursus hitamputih mengenai
sistem pilkada langsung atau tak langsung?
Seharusnya, perdebatan yang
dilakukan lebih bersifat paradigmatis untuk membahas penguatan kapasitas
sistem pilkada dengan mengintegrasikan secara lebih memadai prinsipprinsip
integritas, transparansi, partisipasi, dan akuntablitas dalam penyelenggaraan
pilkada langsung tersebut.
Sistem desentralisasi luas
melalui pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah (area division of power) dengan melalaikan sejumlah persyaratan
substansial terkait dengan penyelenggaraan pilkada langsung yang bersih,
hanya memindahkan praktik demokrasi kleptokratis dari pusat ke daerah.
Sayangnya, kesadaran dari pemerintahan yang berkuasa sebelumnya terkait
dengan hal tersebut terlambat dan baru disadari dengan hadirnya Perppu No 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Padahal, Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) telah mencatat hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang
dari total 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi
yang mengharuskan dilakukannya sejumlah perbaikan dalam pemilihan kepala
daerah (pilkada). Jumlah itu terdiri dari keterlibatan gubernur sebanyak 21
orang, wakil gubernur 7 orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali
kota 41 orang, dan wakil wali kota 20 orang.
Besarnya biaya yang dibutuhkan
calon kepala daerah untuk pilkada dianggap sebagai penyebab meningkatnya
perilaku korupsi pascapelaksanaan pilkada.
Biaya tinggi, bahkan acap kali
didanai dari utang, tentunya harus dapat dikembalikan ketika mereka sudah
memperoleh jabatan. Namun, ketika jabatan itu menemui tembok berupa
penghasilan terbatas, para elite politik itu kemudian bisa terjebak untuk
menyalahgunakan wewenang demi pengembalian modal yang telah dikeluarkan. Uang
telah menjadi kebutuhan mutlak dan komponen sangat strategis untuk meraih
suara pemilih, suatu faktor penting untuk menyokong berbagai macam kegiatan
kampanye, termasuk `uang perahu' dan pendukung jika menggunakan jalur parpol,
bukan independen.
Kepala daerah terpilih lebih
banyak berpikir untuk mengembalikan dana/uang yang telah digelontorkan untuk
mencari dukungan dan bahkan membeli suara dalam pilkada. Risiko terjadinya
korupsi di pemerintahan daerah semakin tinggi. Salah satu cara pemecahan
pengembalian dana politik tersebut ialah melakukan korupsi pada PBJP
(pengadaan barang/jasa pemerintah) di daerah, di samping sumber-sumber APBD
dan APBN lain. Potensi korupsi semakin membesar apabila PBJP di daerah tidak
dikawal dan dikontrol secara efektif dan baik, khususnya oleh masyarakat
madani sebagai penerima manfaat dari PBJP itu sendiri.
Seharusnya, dengan temuan-temuan
tersebut, perdebatan yang dilaksanakan terkait dengan sistem legislasi
terhadap penyelenggaraan pilkada langsung dilakukan pada pembenahan mendasar
pada sistem tata kelola pilkada yang dilakukan, bukan justru berbelok menjadi
memperdebatkan sistem pilkada yang diterapkan. Upaya untuk memperbaiki sistem
pilkada langsung dapat dilakukan setelah DPR RI menyetujui dan mengesahkan
Perppu No 1 Tahun 2014 menjadi undang-undang.
Keberadaan UU No 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan juga merupakan modal dasar yang penting
untuk memperbaiki tata kelola penyelenggaraan pemerintahan.Maka, di ranah
politik diperlukan perbaikan mendasar pada tata kelola pilkada langsung yang
dilaksanakan dengan didukung penataan di ranah teknokratis melalui perbaikan
sistem administrasi pemerintahan dan sistem pengendalian intern pemerintahan
(SPIP). Tentunya, budaya korupsi politik dengan mengharapkan kucuran money
politic yang sempat menggerus modal sosial di ranah masyarakat juga harus
dikikis habis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar