Industri Ekstraktif
dan Keterbukaan
Erry Riyana Hardjapamekas ; Satu dari Dua
Perwakilan Pelaksana untuk Asia dalam Dewan Internasional EITI, Oslo,
Norwegia, 2011-2012
|
KOMPAS, 30 Desember 2014
INDONESIA adalah negara pertama di Asia Tenggara yang berpredikat taat
standar transparansi global untuk industri ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiative/EITI compliant country).
Prestasi membanggakan ini diberikan pada sidang Dewan Internasional di
Naypyidaw, Myanmar, 15 Oktober 2014. Inilah buah kerja keras Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian selama empat tahun terakhir untuk memenuhi
syarat standardisasi keterbukaan dan akuntabilitas industri ekstraktif.
Industri ekstraktif diartikan sebagai sumber daya yang bahan bakunya
diambil langsung dari alam sekitar tanpa bisa diperbarukan, alias sekali
ambil langsung habis. Masuk dalam kategori ini adalah sektor minyak dan gas
bumi serta mineral dan batubara. Inilah sumber daya yang sering diasosiasikan
dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, ”bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Hak mendapat informasi
Meski relatif baru, standar keterbukaan global ini telah diterapkan di
48 negara. Upaya standardisasi ini mendorong para kontraktor industri
ekstraktif untuk membuka jumlah yang mereka bayarkan kepada pemerintah.
Sebaliknya, pemerintah juga didorong melaporkan penerimaan negara dari para
kontraktor pertambangan.
Bertindak sebagai pengumpul dan penelaah (reconciliator) adalah tim independen. Tim ini bekerja di bawah
kelompok kerja yang disebut sebagai Tim Pelaksana Transparansi Industri
Ekstraktif, terdiri dari unsur pemerintah pusat dan daerah, asosiasi
industri, dan masyarakat sipil. Tim bekerja sejak 2010 berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 26 Tahun 2010 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Laporan EITI Indonesia ini menjawab hak informasi rakyat Indonesia yang
telah menunggu sejak republik ini merdeka akan seberapa kaya sesungguhnya
bangsa ini. Dua laporan telah dipublikasikan. Laporan pertama mencakup
periode 2009, laporan kedua mencakup dua periode sekaligus (2010-2011).
Berikutnya, pada pertengahan 2015 Tim Pelaksana akan menerbitkan laporan
untuk dua periode sekaligus (2012-2013).
Laporan EITI dibagi dalam dua sektor: (1) minyak dan gas, dan (2)
mineral dan batubara. Laporan sektor minyak dan gas untuk 2010-2011
menjelaskan aliran kontribusi kontraktor secara detail. Misalnya perbedaan
atas over/underlifting yang menjelaskan perlunya perbaikan pada penyelesaian
perselisihan. Laporan EITI ini mencakup 99,5 persen (Rp 285 triliun) dari
laporan keuangan pemerintah untuk penerimaan minyak dan gas.
Dari sektor mineral dan batubara, laporan EITI 2010-2011 itu memuat 83
perusahaan yang menjadi kontributor royalti di atas Rp 2,5 miliar.
Laporan ini cukup komprehensif mencatat bahwa dari 11.000 izin dan
kontrak pertambangan yang berlaku, 83 perusahaan memberikan kontribusi 90
persen royalti dan 60 persen pajak badan. Artinya, 10.000 izin tambang
lainnya berkontribusi hanya 10 persen royalti dan 40 persen pajak badan.
Informasi ini dapat menjadi fakta bahwa potensi pendapatan dari tambang masih
sangat besar dan harus ditingkatkan, seperti diinginkan Presiden Joko Widodo.
Potret
industri ekstraktif
Sebelum ada kewajiban transparansi berstandar global ini, klaim rakyat
Indonesia akan tanah air yang kaya baru sejauh ”katanya”. Rakyat yang tinggal
di sekitar area operasi penambangan mineral, gas bumi, dan batubara tidak
tahu berapa jumlah yang dibayarkan oleh perusahaan. Data tentang berapa besar
penerimaan tahunan atas bagi hasil pemerintah daerah dari satu perusahaan
tertentu pun belum pernah dilaporkan ke publik.
Padahal, faktanya adalah bahwa dari laporan keuangan pemerintah tahun
2012 dan 2013, penerimaan sektor migas dan tambang adalah Rp 347,7 triliun
dan Rp 357,1 triliun, atau rata-rata 26 persen dari total pendapatan negara.
Jika dimanfaatkan dengan baik, idealnya sumber daya alam yang sekali ambil
langsung habis itu digunakan untuk modal jangka panjang membangun dan
mengembangkan kapasitas manusia Indonesia.
Namun, data Bank Dunia pada 2011, yang menggunakan standar 2 dollar AS
paritas daya beli per hari (PPP), menunjukkan bahwa sekitar 42 persen
penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Pendapatan industri
ekstraktif ternyata tak berkorelasi positif dengan tingkat perbaikan
pembangunan manusia.
Kita dapat membandingkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten
Kutai Kartanegara dengan Kabupaten Bontang. Di tahun 2012, pendapatan Kutai
Kartanegara dari migas dan tambang Rp 3,42 triliun atau 4,5 kali lebih besar
daripada Bontang. Padahal, IPM Bontang 77,85 jauh lebih tinggi daripada Kutai
Kartanegara sebesar 74,24.
Meski demikian, ada kabar gembira di tahun 2013, yakni dari Riau dan
Kalimantan Timur. Keduanya memiliki IPM 76,53 dan 75,78, peringkat terbaik
ke-4 dan ke-5 secara nasional, dan di atas rata-rata Indonesia sebesar 73,81.
Dari sejumlah kontraktor migas yang beroperasi, pemerintah provinsi dan
kabupaten di Riau menerima bagi hasil migas sebesar Rp 13,3 triliun.
Sementara provinsi dan kabupaten di Kalimantan Timur menikmati Rp 25,7
triliun, yang sebagian besar berasal dari Blok Mahakam. Meski bukan
satu-satunya faktor, kita senang mengetahui bahwa kedua provinsi pemilik
industri ekstraktif yang signifikan itu punya prestasi dalam investasi sumber
daya manusianya.
Kajian Balitbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir 2013
mengindikasikan, pada kurun waktu tahun 2010 hingga 2012 terjadi kerugian
negara definitif Rp 6,7 triliun dan potensi kerugian Rp 12 triliun di sektor
pertambangan mineral dan batubara. Cukup mengecewakan bahwa jumlah kerugian
definitif dan potensinya itu setara dengan hampir dua kali lipat yang
diperoleh seluruh provinsi dan kabupaten di Riau dari industri ekstraktif di
tahun 2012, yang sebesar Rp 11,2 triliun.
Potensi kerugian itu kini bisa diminimalkan dengan mekanisme laporan
yang berstandar global. Dengan standar itu, berbagai data dan informasi dari
pemerintah maupun perusahaan tambang wajib dibuka, apakah yang terkait
perihal perizinan, produksi, atau alokasi.
Dengan demikian, kita bisa mendapat gambaran yang lebih lengkap dari
sektor industri ekstraktif, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas
tata kelola keuangan publik secara sistemik. Perbaikan diharapkan akan
merambat ke iklim investasi serta manajemen risiko yang mungkin timbul akibat
ketimpangan pembagian hasil.
Tak hanya itu. Rasa saling curiga pun bisa ditekan. Korupsi juga bisa
diminimalkan dengan meningkatnya akses publik. Sambil jalan publik bisa terus
belajar bagaimana memanfaatkan informasi itu untuk kepentingan masyarakat
luas. Laporan EITI menjelma menjadi senjata warga untuk berpartisipasi dalam
pembangunan yang inklusif.
Reformasi
sistemik
Apakah laporan EITI bisa dipercaya?
Sesuai standar global, kuncinya terletak pada dipisahkannya proses
implementasi pelaporan dan validasi oleh tim yang berbeda. Adapun rakyat,
yang punya keterwakilan di Tim Pelaksana Industri Ekstraktif, punya suara
untuk mengawasi secara langsung dan terbuka proses tersebut.
Dengan kewajiban pelaporan setiap tahun ini, kini rakyat Indonesia
berhak menuntut keterbukaan pemerintah dan produsen minyak, gas bumi,
mineral, dan batubara. Pada akhirnya kewajiban ini akan berkontribusi
terhadap reformasi sistemik dalam sektor industri ekstraktif.
Selangkah lagi kita bangsa Indonesia telah bergerak maju untuk mencapai
cita-cita pembangunan yang adil dan merata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar