Paus
dan Seni
Garin Nugroho ; Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa”
Kompas
|
KOMPAS,
28 Desember 2014
”Jika Anda sahabat sejati seni,
Anda sahabat kami.” Inilah pernyataan Paus Paulus VI yang tersohor kepada
seniman dunia (1964) yang dikutip kembali oleh Paus Benediktus XVI—23 Oktober
2009 dalam merayakan 45 tahun peristiwa itu bersama 100 lebih seniman dunia
di Kapel Sistine—Vatikan.
Menghadiri undangan Paus
Benediktus di Kapel Sistine terasa menjadi ingatan unik untuk memaknai Natal
dan Seni. Begitu banyak seniman dunia berkumpul dan bicara dengan latar
beragam agama serta profesi seni, bahkan juga yang ateis: Andrea Bocelli,
John David Mooney ataupun Bill Viola (seni instalasi), Zaha Hadid (arsitek
Iran), Susana Tamoro (novelis Italia), Ciaron 0’Coigligh, Angela Hewitt
(pianis Kanada), David Chipperfield (arsitek inggris), hingga Gustavos Aceves
(perupa Meksiko).
Pesan-pesan Paus terasa hidup
mengiringi lukisan pengadilan terakhir karya Michaelangelo, yang terlukis di
atas kepala saya di langit-langit Kapel Sistine, saya masih teringat kutipan
kecil pesan Paus itu: ”Seni sering kali memberi keterkejutan spiritual yang
melahirkan rasa lapar pada kemanusiaan.”
Kalimat ”rasa lapar pada
kemanusiaan” terasa muncul kembali pada hari-hari seputar Desember ketika
atmosfer perayaan Natal dan Tahun Baru 2015 bermunculan. Sebuah pertanyaan
sederhana muncul: ”Masihkah rasa lapar pada kemanusiaan menjadi dasar hidup
berbangsa dewasa ini?”
Desember ini terasa menjadi
perjalanan panjang dan melelahkan bagi saya, dari Palembang, Jember,
Yogyakarta, Solo, hingga Turki. Meski melelahkan, melihat spirit anak-anak
muda di berbagai pelosok negeri ini menunjukkan isyarat pesan Paus Benediktus
lainnya. Saya kutip pendek: ”Seni bukanlah kebutuhan kedua atau ketiga, seni
adalah kebutuhan kehidupan. Dostoevsky menyatakan bahwa manusia tidak bisa
hidup tanpa pengetahuan dan makan, tetapi kehidupan tanpa keindahan seni
tidak akan panjang.”
Saya juga mencatat pengalaman
lain dalam perjalanan panjang Desember ini. Di sebuah bandara saya bertemu
seorang politikus yang dengan gegap gempita bicara tentang era politik baru
yang menggugah massa dan media. Celakanya, pada akhirnya berbicara klise yang
berulang selalu saya dengar: ”Kalau lapar tidak bisa kerja dan mikir,
bagaimana mau berkarya idealis?”
Kata ”lapar” mengingatkan saya
pada sebuah film yang bercerita tentang keluarga Inggris di lubang
pengungsian saat diserbu tentara Jerman sewaktu Perang Dunia II. Adegannya
sederhana, sang ayah menyuruh anaknya yang masih kecil dan kelaparan membaca
buku sastra, sementara dentuman meriam menggetarkan lubang perlindungan itu.
Sang ayah berucap: ”Baca buku itu, kalau kamu masih mau tetap berpikir saat
lapar, maka saat kamu kenyang dan bisa makan apa saja, kamu akan merawat
kehidupan ini, tidak memakan apa saja dengan rakus, buku itu membuatmu
mengerti perasaan kecil manusia sekitarmu.”
Ingatan pada film itu selalu
terbawa setiap minum kopi di sudut-sudut Eropa, ketika turis-turis Asia
membanjiri bangunan heritage dan isinya yang membawa investasi ekonomi
kota-kota dan warganya serta inspirasi bagi karya teater, film, hingga
fashion yang memberi hidup Eropa. Saya berpikir, sekiranya adegan film
tentang ayah yang menyuruh membaca sastra di saat lapar itu terjadi di
Indonesia, mungkin kalimat sang ayah diganti: ”Kamu lapar, jangan baca
sastra, bodoh itu. Robohkan bangunan tua yang tidak menghasilkan ekonomi,
ganti dengan mal dan toko-toko, cepat... kerja.”
Adegan sederhana itu selalu
membawa ingatan sejarah bahwa bangsa-bangsa yang beradab di tengah krisis
besar ekonomi tidak hanya bicara ekonomi, tetapi juga menjaga kehidupan
dengan seluruh aspeknya yang paling marjinal sekalipun: pengetahuan,
teknologi, seni, hingga daya hidup pangan dan lingkungan. Mereka tidak saja
menjaga ekonomi seni yang massal, bahkan heritage hingga seni alternatif
sebagai gugatan kritis. Pada gilirannya, sesungguhnya mereka menjaga
kebudayaan, yakni cara berpikir, bertindak, dan bereaksi terhadap dunia
sekitar, tidak saja lewat membaca sejarah masa lampau, hari ini, tetapi juga
masa depan.
Periode Desember ini, beruntung
saya melihat pameran Ong Hari Wahyu yang penuh pitutur tanpa menuturi,
melihat film Tabularasa hingga Cahaya dari Timur tentang spirit hidup atas
kemanusiaan, karya instalasi Krisna Murti yang memberi inspirasi tentang
kelahiran dan ego kemanusiaan, karya tari Helda- Ikj tentang lampu kota dan
jalanan yang menyudutkan tubuh kemanusiaan, diskusi dengan Soenaryo, Hendro,
hingga Franki Raden dan tamu beragam negara di selasar Soenaryo, bicara
tentang dunia digital Indonesia yang penuh konsumtif terbesar dunia, tetapi
massal dan banal, kehilangan ekspresi individu yang menjadi ciri kemanusiaan.
Pada karya mereka, saya
merasakan: ”Rasa lapar pada kemanusiaan”. Terima kasih, sahabat-sahabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar