Jumat, 26 Desember 2014

Get Connected

                                                         Get Connected

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
KORAN SINDO,  25 Desember 2014

                                                                                                                       


Pada Anda yang baru saja menjalankan ibadah Natal, perkenankan saya ucapkan selamat Natal, damai sejahtera bagi kita semua. Tentu saja selamat berlibur pada Anda yang sedang dalam perjalanan.

Di abad yang terkoneksi oleh teknologi ini kita semua tetap terhubung, kendati letaknya berjauhan, apa pun juga latar belakang, etnik, dan keyakinan kita. Kadang keterhubungan ini menimbulkan ketegangan seperti pada pesta-pesta demokrasi lalu, tapi kadang juga memberikan senyuman.

Misalnya, seorang teman baru saja mengirimkan email tentang pengalamannya di sebuah mal yang biasanya mudah bertemu Santa. “Santanya tidak ada,” ujarnya, “waktu saya cari, sekuriti bilang Santa sedang salat asar dulu.” Saya kira jokes seperti itu hanya ada di sini.

Kita, Indonesia yang beragam, kadang merasakan ketegangan, tapi kadang juga senyuman. Tapi baiklah, saya baru saja membaca sebuah kajian yang sangat provokatif. Judulnya, Mobile is Eating the World. Isinya kurang lebih begini. Kajian itu dibuka dengan kalimat, “Untuk pertama kalinya teknologi dijual kepada setiap orang.”

Saya, sebagaimana juga banyak orang, mulanya tak begitu percaya bahwa teknologi akan mampu membawa perubahan yang signifikan. Anda mungkin masih ingat pada ujung tahun 1990-an. Ketika itu, saat harapan kita terhadap peran teknologi sudah melambung begitu tinggi, sudah tinggal landas. Kenyataannya kita masih tetap berada di landasan.

Itu sebabnya sampai pengujung 1990-an muncul istilah bubble technology. Janjinya lebih besar ketimbang kenyataannya. Kalau dalam istilah sekarang mungkin teknologi masih dianggap PHP, atau pemberi harapan palsu. Tapi, rupanya kondisi semacam itu tidak berlangsung terus. Ada perubahan yang membuat kehadiran teknologi mulai memainkan peran signifikan.

Supercomputer di Saku

Maaf, supaya persepsi kita sama, saya sedang membahas topik tentang smartphone. Datanya begini. Sampai dengan 1995, menurut data International Telecommunication Union (ITU), tak sampai 50 juta penghuni bumi yang online. Bahkan pada 1998, saat baru kembali dari studi di USA, ketika saya memperkenalkan internet marketing, kebanyakan orang geleng-geleng kepala.

Jangankan internet, kewirausahaan saja belum jalan saat itu. Tapi dalam lima tahun kemudian terjadi lompatan yang sangat signifikan. Jumlah penduduk bumi yang online meningkat menjadi lebih dari 400 juta. Bagaimana dengan tahun 2014? Menurut perkiraan ITU, jumlah penduduk bumi yang online sudah hampir mencapai 3 miliar.

Ini berarti nyaris separuh dari jumlah total penduduk bumi. Ini yang mengejutkan. Dari seluruh jumlah penduduk yang online itu ternyata dua per tiganya memakai smartphone. Itu artinya sekitar 2 miliar orang yang online dengan perangkat ponsel pintar tersebut. Itu belum seberapa.

Ramalan ITU yang saya nilai sangat provokatif adalah sampai dengan 2020 jumlah penduduk yang selalu online akan mencapai 4 miliar. Dan, nyaris 100% di antara, mereka akan online dengan peranti smartphone. Bagaimana ini bisa terjadi? Sederhana saja. Perangkat mobile tersebut kini menjadi semakin powerful. Pemicunya adalah teknologi transistor yang ada di dalamnya.

Sekarang ini dalam sebuah iPhone terbaru, jumlah transistor didalam CPU-nya sudah 625 kali lebih banyak ketimbang jumlah transistor pada prosesor Pentium buatan Intel pada 1995. CPU adalah singkatan dari central processing unit atau bagian dari komputer yang berfungsi mengolah setiap data yang masuk.

Baiklah, itu kalau kita bandingkan transistornya dengan transistor yang ada di dalam prosesor. Sekarang mari kita bandingkan langsung iPhone dengan komputer pribadi (personal computer atau PC). Rupanya iPhone terbaru yang diluncurkan oleh Apple memiliki jumlah transistor 25 kali lebih banyak ketimbang yang dimiliki oleh setiap PC buatan tahun 1995.

Jadi, mari kita sederhan akan maknanya. Itu artinya setiap pemilik smartphone memiliki super computer di dalam sakunya! Kombinasi antara “supercomputer “ tersebut dengan tersedianya akses internet itulah yang menjadi pemicu perubahan yang signifikan. Bukan lagi PHP seperti pada masa lalu.

Beberapa Perubahan

Sekarang saya ajak Anda mencermati beberapa perubahan yang sudah dan akan terjadi. Di Amerika Serikat, jumlah waktu yang dialokasikan seluruh warga negaranya melalui perangkat aplikasi mobile juga terus meningkat. Jika pada Juni 2013 masih kurang dari 500 miliar menit, setahun kemudian sudah menjadi hampir 750 miliar menit.

 Itu berarti peningkatan sekitar 50% hanya dalam tempo setahun. Lalu, ITU juga meramalkan pada 2020, jumlah smartphone bakal 2-3 kali lebih banyak ketimbang PC. Apa alasannya? Jelas, karena smartphone lebih personal, bisa mengakses dimana saja, koneksinya nyaris tanpa hambatan, dilengkapi kamera dan sensor, dan yang penting lebih mudah dioperasikan.

Beberapa di antara kelebihan itu tak bisa ditandingi oleh PC. Itu sebabnya banyak kalangan kemudian berolok-olok, smartphone membuat industri PC menjadi dwarfs. Anda tahu bukan dwarfs? Cebol. Kita juga bisa memotretnya dari sisi bisnis. Di perusahaan yang didirikan oleh Mark Zuckerberg, Facebook, penghasilan iklan yang mereka peroleh dari mobile advertising ternyata meningkat sangat signifikan.

Jika per Juni 2012 nilainya baru USD1 miliar, dua tahun kemudian sudah menjadi hampir USD3 miliar. Masih dari sisi bisnis, kita lihat efisiensi yang berhasil mereka ciptakan. Pada 2000 untuk mengoperasikan seluruh perangkat dan aplikasi mobile yang melibatkan sekitar 1 juta pengguna, perusahaan mesti mengerahkan 100 orang staf dan menghabiskan biaya hingga USD10 juta.

Kini mereka cukup mengerahkan 10 staf untuk menangani 10 juta pengguna. Biayanya cukup USD1 juta. Saya masih punya banyak data lain yang menggambarkan kian mendominasinya penggunaan perangkat dan aplikasi mobile. Tapi baiklah, sekarang kita lihat contoh-contoh yang sangat umum dan kasatmata di depan kita.

Saya yakin, Anda pasti setuju. Pada 1980-an masih banyak orang yang memotret dengan kamera yang menggunakan film. Sekarang? Anda pasti tahu jawabnya. Penjualan iPhone atau gadget yang berbasis kini jauh lebih tinggi ketimbang kamera-kamera buatan Jepang.
Manusia Masa Lalu

Itulah tren yang bergerak di dunia sekitar kita. Celakanya, saya yakin, hal-hal semacam ini masih terjadi di antara kita. Misalnya, Anda susah dihubungi oleh kolega atau sebaliknya Anda yang susah menghubungi seseorang. Entah telepon tidak diangkat, atau dalam kondisi off karena dimatikan.

Lalu, dikirimi SMS atau BBM tidak berbalas. Dikontak via Whatsapp, tidak tahu apa itu Whatsapp? Email selalu telat merespons karena jarang dibuka. Atau mungkin suatu kali Anda ketinggalan handphone, bisa juga smartphone, di rumah dan tetap tenang-tenang saja. Anda sama sekali tidak merasa terganggu.

Mungkin Anda juga punya account Facebook, tetapi sama sekali tidak pernah meng-up date status. Namun, meski Facebook masih populer, anak-anak muda sudah beralih ke media lain, termasuk Instagram. Atau Anda punya account Twitter, tetapi sama sekali tidak pernah mentweet suatu pesan tertentu.

Hanya sesekali mungkin Anda meretweet. Itu saja. Selebihnya pasif. Cuma menjadi penerima tweet. Kalau ya, mungkin Anda sudah menjadi “manusia masa lalu.” Dalam gurauan anak muda Betawi, mereka mungkin akan bilang, “Ke mane aje lu ?” Apa risikonya menjadi manusia masa lalu? Sederhana saja. Mungkin kita segera akan menjadi seseorang yang kurang atau bahkan tidak relevan lagi.

Mungkin kita juga bakal mengalami kesulitan berkomunikasi dengan anak-anak kita. Sebab kita begitu berbeda dengan mereka. Cobalah lihat anak-anak kita. Mereka selalu terkoneksi 24 jam per hari dan tujuh hari seminggu. Anda mau menjadi manusia masa lalu? Anda rela kehilangan waktu-waktu emas untuk bisa berkomunikasi dengan anak-anak? Saya tidak. Maka, berubahlah. Get connected!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar