Get
Connected
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 25 Desember 2014
Pada
Anda yang baru saja menjalankan ibadah Natal, perkenankan saya ucapkan
selamat Natal, damai sejahtera bagi kita semua. Tentu saja selamat berlibur
pada Anda yang sedang dalam perjalanan.
Di abad
yang terkoneksi oleh teknologi ini kita semua tetap terhubung, kendati
letaknya berjauhan, apa pun juga latar belakang, etnik, dan keyakinan kita.
Kadang keterhubungan ini menimbulkan ketegangan seperti pada pesta-pesta
demokrasi lalu, tapi kadang juga memberikan senyuman.
Misalnya,
seorang teman baru saja mengirimkan email tentang pengalamannya di sebuah mal
yang biasanya mudah bertemu Santa. “Santanya tidak ada,” ujarnya, “waktu saya
cari, sekuriti bilang Santa sedang salat asar dulu.” Saya kira jokes seperti itu hanya ada di sini.
Kita,
Indonesia yang beragam, kadang merasakan ketegangan, tapi kadang juga
senyuman. Tapi baiklah, saya baru saja membaca sebuah kajian yang sangat
provokatif. Judulnya, Mobile is Eating
the World. Isinya kurang lebih begini. Kajian itu dibuka dengan kalimat,
“Untuk pertama kalinya teknologi dijual kepada setiap orang.”
Saya,
sebagaimana juga banyak orang, mulanya tak begitu percaya bahwa teknologi
akan mampu membawa perubahan yang signifikan. Anda mungkin masih ingat pada
ujung tahun 1990-an. Ketika itu, saat harapan kita terhadap peran teknologi
sudah melambung begitu tinggi, sudah tinggal landas. Kenyataannya kita masih
tetap berada di landasan.
Itu
sebabnya sampai pengujung 1990-an muncul istilah bubble technology. Janjinya lebih besar ketimbang kenyataannya.
Kalau dalam istilah sekarang mungkin teknologi masih dianggap PHP, atau
pemberi harapan palsu. Tapi, rupanya kondisi semacam itu tidak berlangsung
terus. Ada perubahan yang membuat kehadiran teknologi mulai memainkan peran
signifikan.
Supercomputer di Saku
Maaf, supaya persepsi kita sama, saya sedang membahas topik tentang smartphone. Datanya begini. Sampai
dengan 1995, menurut data International Telecommunication Union (ITU), tak
sampai 50 juta penghuni bumi yang online. Bahkan pada 1998, saat baru kembali
dari studi di USA, ketika saya memperkenalkan internet marketing, kebanyakan orang geleng-geleng kepala.
Jangankan internet, kewirausahaan saja belum jalan saat itu. Tapi dalam
lima tahun kemudian terjadi lompatan yang sangat signifikan. Jumlah penduduk
bumi yang online meningkat menjadi lebih dari 400 juta. Bagaimana dengan
tahun 2014? Menurut perkiraan ITU, jumlah penduduk bumi yang online sudah hampir mencapai 3 miliar.
Ini berarti nyaris separuh dari jumlah total penduduk bumi. Ini yang
mengejutkan. Dari seluruh jumlah penduduk yang online itu ternyata dua per
tiganya memakai smartphone. Itu
artinya sekitar 2 miliar orang yang online dengan perangkat ponsel pintar
tersebut. Itu belum seberapa.
Ramalan ITU yang saya nilai sangat provokatif adalah sampai dengan 2020
jumlah penduduk yang selalu online
akan mencapai 4 miliar. Dan, nyaris 100% di antara, mereka akan online dengan
peranti smartphone. Bagaimana ini bisa terjadi? Sederhana saja. Perangkat
mobile tersebut kini menjadi semakin powerful.
Pemicunya adalah teknologi transistor yang ada di dalamnya.
Sekarang ini dalam sebuah iPhone terbaru, jumlah transistor didalam
CPU-nya sudah 625 kali lebih banyak ketimbang jumlah transistor pada prosesor
Pentium buatan Intel pada 1995. CPU adalah singkatan dari central processing unit atau bagian
dari komputer yang berfungsi mengolah setiap data yang masuk.
Baiklah, itu kalau kita bandingkan transistornya dengan transistor yang
ada di dalam prosesor. Sekarang mari kita bandingkan langsung iPhone dengan
komputer pribadi (personal computer
atau PC). Rupanya iPhone terbaru yang diluncurkan oleh Apple memiliki jumlah
transistor 25 kali lebih banyak ketimbang yang dimiliki oleh setiap PC buatan
tahun 1995.
Jadi, mari kita sederhan akan maknanya. Itu artinya setiap pemilik
smartphone memiliki super computer di dalam sakunya! Kombinasi antara
“supercomputer “ tersebut dengan tersedianya akses internet itulah yang
menjadi pemicu perubahan yang signifikan. Bukan lagi PHP seperti pada masa
lalu.
Beberapa
Perubahan
Sekarang saya ajak Anda mencermati beberapa perubahan yang sudah dan
akan terjadi. Di Amerika Serikat, jumlah waktu yang dialokasikan seluruh
warga negaranya melalui perangkat aplikasi mobile juga terus meningkat. Jika
pada Juni 2013 masih kurang dari 500 miliar menit, setahun kemudian sudah
menjadi hampir 750 miliar menit.
Itu berarti peningkatan sekitar
50% hanya dalam tempo setahun. Lalu, ITU juga meramalkan pada 2020, jumlah
smartphone bakal 2-3 kali lebih banyak ketimbang PC. Apa alasannya? Jelas,
karena smartphone lebih personal, bisa mengakses dimana saja, koneksinya
nyaris tanpa hambatan, dilengkapi kamera dan sensor, dan yang penting lebih
mudah dioperasikan.
Beberapa di antara kelebihan itu tak bisa ditandingi oleh PC. Itu
sebabnya banyak kalangan kemudian berolok-olok, smartphone membuat industri
PC menjadi dwarfs. Anda tahu bukan dwarfs? Cebol. Kita juga bisa
memotretnya dari sisi bisnis. Di perusahaan yang didirikan oleh Mark Zuckerberg,
Facebook, penghasilan iklan yang mereka peroleh dari mobile advertising
ternyata meningkat sangat signifikan.
Jika per Juni 2012 nilainya baru USD1 miliar, dua tahun kemudian sudah
menjadi hampir USD3 miliar. Masih dari sisi bisnis, kita lihat efisiensi yang
berhasil mereka ciptakan. Pada 2000 untuk mengoperasikan seluruh perangkat
dan aplikasi mobile yang melibatkan sekitar 1 juta pengguna, perusahaan mesti
mengerahkan 100 orang staf dan menghabiskan biaya hingga USD10 juta.
Kini mereka cukup mengerahkan 10 staf untuk menangani 10 juta pengguna.
Biayanya cukup USD1 juta. Saya masih punya banyak data lain yang
menggambarkan kian mendominasinya penggunaan perangkat dan aplikasi mobile.
Tapi baiklah, sekarang kita lihat contoh-contoh yang sangat umum dan
kasatmata di depan kita.
Saya yakin, Anda pasti setuju. Pada 1980-an masih banyak orang yang
memotret dengan kamera yang menggunakan film. Sekarang? Anda pasti tahu
jawabnya. Penjualan iPhone atau gadget yang berbasis kini jauh lebih tinggi
ketimbang kamera-kamera buatan Jepang.
Manusia
Masa Lalu
Itulah tren yang bergerak di dunia sekitar kita. Celakanya, saya yakin,
hal-hal semacam ini masih terjadi di antara kita. Misalnya, Anda susah
dihubungi oleh kolega atau sebaliknya Anda yang susah menghubungi seseorang.
Entah telepon tidak diangkat, atau dalam kondisi off karena dimatikan.
Lalu, dikirimi SMS atau BBM tidak berbalas. Dikontak via Whatsapp,
tidak tahu apa itu Whatsapp? Email selalu telat merespons karena jarang
dibuka. Atau mungkin suatu kali Anda ketinggalan handphone, bisa juga
smartphone, di rumah dan tetap tenang-tenang saja. Anda sama sekali tidak
merasa terganggu.
Mungkin Anda juga punya account
Facebook, tetapi sama sekali tidak pernah meng-up date status. Namun, meski Facebook masih populer, anak-anak
muda sudah beralih ke media lain, termasuk Instagram. Atau Anda punya account Twitter, tetapi sama sekali
tidak pernah mentweet suatu pesan tertentu.
Hanya sesekali mungkin Anda meretweet.
Itu saja. Selebihnya pasif. Cuma menjadi penerima tweet. Kalau ya, mungkin
Anda sudah menjadi “manusia masa lalu.” Dalam gurauan anak muda Betawi,
mereka mungkin akan bilang, “Ke mane
aje lu ?” Apa risikonya menjadi manusia masa lalu? Sederhana saja.
Mungkin kita segera akan menjadi seseorang yang kurang atau bahkan tidak
relevan lagi.
Mungkin kita juga bakal mengalami kesulitan berkomunikasi dengan
anak-anak kita. Sebab kita begitu berbeda dengan mereka. Cobalah lihat
anak-anak kita. Mereka selalu terkoneksi 24 jam per hari dan tujuh hari
seminggu. Anda mau menjadi manusia masa lalu? Anda rela kehilangan
waktu-waktu emas untuk bisa berkomunikasi dengan anak-anak? Saya tidak. Maka,
berubahlah. Get connected! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar