Rabu, 31 Desember 2014

Satu Dasawarsa Tsunami Aceh

Satu Dasawarsa Tsunami Aceh

Rasyid Indra Pratama   ;   Mahasiswa Teknik Sipil Kyoto University Jepang,

Aktif di Kyoto University Disaster Prevention School

JAWA POS, 26 Desember 2014

                                                                                                                       


PAGI, 26 Desember 2004, Aceh dan kawasan sekitarnya menjadi saksi bisu dahsyatnya terjangan gelombang tsunami yang merenggut ratusan ribu nyawa dan mengakibatkan ribuan orang lainnya kehilangan tempat tinggal. Tidak berselang lama, berita mengenai tsunami tersebut sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia dan mengundang simpati masyarakat internasional. Berbagai keran bantuan kemanusiaan pun dibuka dan mengalir tidak henti-hentinya menuju Aceh.

Sekarang, sepuluh tahun sudah berlalu. Aceh sudah tersenyum lagi. Rumah, jalan, dan jembatan sudah dibangun kembali. Pepohonan sudah tumbuh menghijau. Namun, kita tidak boleh lupa untuk berkaca pada kondisi sekarang, apakah kejadian satu dasawarsa yang lalu sudah menjadi pelajaran berharga untuk bangsa ini? Apakah sistem manajemen bencana untuk mencegah korban jiwa atau kerugian yang mungkin ditimbulkan untuk berbagai potensi bencana pada masa mendatang mulai terbangun secara terpadu dan menyeluruh? Masing-masing di antara kita punya jawabannya.

Kiranya, kita perlu sedikit belajar dari Jepang mengenai sistem manajemen bencana ini. Jepang terletak di sabuk Sirkum-Pasifik sehingga rentan dengan gempa bumi dan tsunami, sama dengan Indonesia. Pada 1995, Jepang mengalami gempa yang sangat besar di wilayah Prefektur Hyogo (biasa disebut The Great Hanshin Earthquake).

Akibat yang ditimbulkan cukup masif. Ribuan orang meninggal, ratusan ribu bangunan rusak, hingga jalan layang sepanjang satu kilometer runtuh. Kejadian tersebut cukup menjadi tamparan keras bagi pemerintah Jepang. Setelah The Great Hanshin Earthquake, pemerintah Jepang mengevaluasi dan secara besar-besaran memperbaiki sistem manajemen bencana.

Pada 2011, 56 tahun setelah The Great Hanshin Earthquake, gempa bumi besar kembali terjadi di Jepang, tepatnya di kawasan Tohoku di bagian utara Jepang. Kali ini diikuti tsunami sehingga kerusakan semakin parah hingga berujung pada bocornya reaktor nuklir di Fukushima. Sistem manajemen bencana yang telah dibuat sedemikian rupa ternyata belum sepenuhnya efektif mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh gempa bumi dan tsunami.

Namun, di luar semua celah kekurangan tersebut, setidaknya ada satu hal positif yang bisa kita ambil dari sistem manajemen bencana di Jepang. Hal itu bisa kita perhatikan langsung pada sebuah kota kecil di Jepang bernama Kamaishi yang juga rusak parah diterjang tsunami pada 2011.

Kota Kamaishi yang hancur lebur itu ternyata menyisakan sebuah keajaiban karena hampir seluruh siswa sekolah dasar dan menengahnya selamat dari terjangan tsunami. Di antara 3.000 siswa, ’’hanya’’ lima orang yang dikabarkan meninggal.

Pendidikan siap siaga bencana yang diberikan secara rutin di sekolah menjadi kunci tingginya jumlah siswa sekolah dasar dan menengah yang lolos dari terjangan tsunami di Kota Kamaishi. Mereka diajari cara melindungi serta menyelamatkan diri ketika gempa dan tsunami terjadi. Kegiatan tersebut dilakukan secara rutin dan berulang-ulang sehingga para siswa paham dan tangkas ketika penyelamatan diri yang sebenarnya perlu dilakukan.

Pendidikan siap siaga bencana seperti itulah yang saya rasa perlu diterapkan pula di Indonesia. Generasi muda bangsa ini adalah Indonesia masa depan. Jika dibandingkan dengan orang dewasa, mereka relatif lebih mudah menerima informasi yang disampaikan secara rutin dan berulang.

Dua hal itulah yang mendasari perlunya siswa di sekolah dijadikan prioritas dalam pendidikan siap siaga bencana. Sepulang sekolah, para siswa juga bisa menceritakan siap siaga bencana kepada orang tua mereka di rumah. Dengan demikian, akan lebih banyak yang tahu pentingnya pendidikan siap siaga bencana.

Peran bapak dan ibu guru tentu sangat diharapkan untuk mengajarkan pendidikan siaga bencana di sekolah. Menjadi sangat komplet apabila mahasiswa juga turut membantu guru di sekolah. Saat ini, hampir di setiap kota, atau setidaknya di kota yang lumayan besar, terdapat setidaknya satu universitas. Apabila dari tiap universitas tersebut ada satu grup mahasiswa saja yang tergerak untuk membantu sosialisasi pendidikan siaga bencana di sekolah-sekolah, saya membayangkan betapa cepatnya pendidikan siaga bencana tersebut tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia, tanpa menunggu instruksi tentang kurikulum siaga bencana dari pemerintah.

Serta, tentu saja, model pengajaran pendidikan siaga bencana kepada anak sekolah dasar dan menengah tidak bisa disamakan dengan pengajaran kepada orang dewasa. Perlu disajikan dengan cara-cara yang menarik seperti melalui drama dengan tokoh-tokoh kartun, dengan menggambar bersama, dan sebagainya.

Pendidikan siaga bencana merupakan salah satu bagian dari sistem manajemen bencana yang relatif paling ’’murah’’, namun sudah terbukti berhasil diterapkan di Kota Kamaishi. Tentu, pendidikan siaga bencana saja tidak cukup. Perlu berbagai tindakan lain, baik melalui infrastruktur atau sosial, untuk bisa secara efektif mengurangi risiko karena gempa dan tsunami.

Terakhir, tentu kita semua tidak pernah berharap tsunami sepuluh tahun yang lalu akan terulang. Namun, kita semua pun tahu bahwa bumi ini dinamis dan bersiklus. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan diri kita untuk semua kemungkinan. Membangun sistem manajemen bencana yang baik adalah investasi kita dan lingkungan kita pada masa depan.

Dengan sistem manajemen bencana yang baik, diharapkan ketika sewaktu-waktu bencana tiba, dampak yang ditimbulkan bisa ditekan seminimal-minimalnya. Hal tersebut dapat dimulai dari hal yang sederhana dengan cara mengajarkan pendidikan siaga bencana kepada adik-adik atau anak-anak kita di sekolah dasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar