Kerja
dan Refleksi
Kristi Poerwandari ; Penulis kolom
“Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
28 Desember 2014
”Aku
tidak bisa terus. Banyak persaingan, terus terpaksa kita harus ikut juga,
misalnya, menggelapkan pajak perusahaan. Soalnya saya yang mengurus itu.
Terus banyak yang ngomong macam-macam. Jadinya saya bingung sekali. Jadi,
sekarang saya masih sakit. Istirahat saja di rumah dulu. Belum bisa kerja
lagi.”
Kalimat di atas disampaikan
seorang teman yang sudah beberapa tahun tidak bekerja lagi, mengurung diri
saja di rumah.
Dalam era pasca modern seperti
sekarang, kita menghadapi sangat banyak tantangan bukan saja untuk
berkembang, melainkan juga sekadar untuk terus bertahan. Orang harus
berpikir, bergerak, dan bekerja cepat dengan jam kerja yang lebih lama
daripada sebelumnya.
Apabila di satu sisi kita
belajar nilai-nilai baik, seperti kejujuran, kesabaran, dan kepedulian kepada
orang lain, di sisi lain tuntutan riil yang kita hadapi adalah harus
menangkap peluang lebih cepat, berpikir lebih kreatif, bergerak lebih cerdik.
Kalau bisa mengantisipasi dan ”mencuri” ide-ide kreatif dan inovasi dari
kompetitor dan tampil duluan dengan produk baru, orisinal ataupun hasil ”mengintip”
karya orang lain.
Yang penting adalah kerja,
kerja, kerja. Sampai-sampai, banyak dari kita merasa betapa akhir tahun
aktivitas kerja tidak menurun, melainkan malah bertumpuk-tumpuk, untuk
menghasilkan uang maupun menghabiskan anggaran.
Refleksi
Albert Einstein bilang, ”Action without reflection leads to
burnout, reflection without action leads to cynicism.” Mungkin itu yang
terjadi pada banyak kita di masa kini. Kita tidak sempat berefleksi, sebagian
bekerja penuh ketegangan, sebagian yang lain didera tuntutan tugas rutin yang
bertumpuk-tumpuk dan bergerak seperti robot, tidak sempat berpikir lagi.
Padahal, refleksi merupakan hal penting agar manusia bisa menemukan makna
dari pengalamannya dan mengambil keputusan mengenai tindakan yang perlu diambil
untuk masa-masa selanjutnya.
Menarik bahwa penelitian
mengenai fungsi otak menemukan bahwa jaringan saraf yang bertanggung jawab
untuk mempertahankan dan memfokus perhatian pada lingkungan menunjukkan
peralihan ke modus default secara
spontan selama manusia beristirahat, melamun, ataupun ada dalam aktivitas
mental sadar tetapi tanpa fokus atensi khusus.
Modus default ini penting untuk
memungkinkan manusia memproses mental secara internal, misalnya dalam
tugas-tugas yang menuntut kesadaran diri, mengingat kembali pengalaman
pribadi, membayangkan masa depan, merasakan emosi terkait dampak-dampak
psikologis yang dialami orang lain, dan juga dalam mengembangkan keputusan
moral (Immordino-Yang dkk, 2012).
Singkat kata, temuan-temuan
mengarah pada pemahaman bahwa ”diistirahatkannya otak” terkait dengan
pemrosesan diri dan sosial dan menjadi dasar penting dari dimensi
keberfungsian psikologis manusia. Ketiadaan kesempatan yang memadai tenang
berefleksi mungkin berkonsekuensi negatif pada kesejahteraan sosial-emosional
manusia maupun dalam kemampuan kita untuk memberikan perhatian penuh pada
tugas.
Lebih lanjut dikembangkan
simpulan bahwa perkembangan keterampilan sosial emosional juga dapat
terganggu jika lingkungan tidak memberikan dukungan untuk pertumbuhannya,
misalnya jika lingkungan tidak memberikan kesempatan manusia beristirahat,
jika sekolah membombardir siswa dengan praktik-praktik pendidikan yang tidak
mencerahkan, atau kita dikuasai oleh media sosial.
Para peneliti di atas khawatir
bahwa tuntutan tinggi agar manusia mampu memberikan perhatian pada
tugas-tugas dari lingkungan dapat membiaskan kita dan generasi muda, untuk
lebih fokus pada aspek-aspek konkret, fisik, dan segera saja dari situasi.
Tetapi, tidak melatih kita melakukan refleksi internal yang konstruktif.
Kompetisi
Rupanya pepatah yang menyatakan
manusia perlu menyeimbangkan ”kerja, cinta, dan bermain” itu benar adanya.
Situasi sekarang membawa kita pada kondisi di mana semua dituntut memiliki
”nilai tambah” (= bisa menghasilkan uang bagi diri atau perusahaan) hingga
harus beraktivitas dengan ketegangan tinggi. Sama sekali tidak ada waktu
untuk bermain atau beristirahat. Mungkin itu sebabnya orang berkendaraan
seenaknya di jalanan, menyalip dari kiri, memaki-maki jika ada yang
menghambat langkahnya, tabrak lari. Dalam bekerja juga tidak lagi peduli
etika, misalnya melakukan plagiasi, membuat laporan fiktif, atau
mengambinghitamkan teman kerja.
Semua dituntut menang. Tetapi,
tampaknya itu tidak mungkin. Jika ada yang menang, terpaksa ada yang kalah.
Dalam masyarakat ada cukup banyak pula yang ”kalah” atau ”merasa kalah” dalam
persaingan yang demikian ketat, lalu lari dalam berbagai perilaku yang
merugikan diri sendiri. Misalnya mengurung diri dan tak mampu lagi
menjalankan fungsi produktif bekerja, terjebak dalam adiksi, atau tewas
karena minuman keras oplosan.
Sering pula individu-individu
atau kelompok yang merasa kalah ini jadi merugikan orang lain: mengancam,
melakukan kekerasan di rumah tangga, bukannya meringankan tetapi malah
menambahi beban lingkungan. Kita juga heran dengan sangat banyak terungkapnya
kekerasan seksual. Mungkinkah selain banyak penyebab lainnya, salah satu
faktor adalah ketegangan individu dengan tumpukan beban yang tidak mampu lagi
dicerna? Karena terlalu kompleks penyelesaiannya, oleh si individu tanpa
sadar dipindahkan menjadi ketegangan seksual yang mudah diselesaikan: ya
dengan cara mencari pihak yang lebih lemah sebagai sasaran pelampiasan
ketegangan?
Barangkali pembelajaran kita di
akhir tahun ini adalah bagaimana mampu bertahan dan terus berkembang, artinya
dengan menjadi ”pemenang”, tanpa harus membuat pihak lain menjadi the loser.
Bagaimana menyelesaikan persaingan dan konflik kepentingan di tingkat
individual, kelembagaan, hingga hubungan antarnegara dengan menjadi pemenang
tanpa membuat pihak lain kalah, terpuruk, dan jadi buruk?
Pertanyaan yang sulit sekali
dijawab, ya, maaf saya juga belum mampu menjawabnya. Selamat menyongsong
Tahun Baru 2015 yang semoga menjadi tahun yang lebih baik daripada satu tahun
yang telah kita jalani sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar