Selasa, 30 Desember 2014

Kerja dan Refleksi

Kerja dan Refleksi

Kristi Poerwandari   ;   Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS, 28 Desember 2014

                                                                                                                       


”Aku tidak bisa terus. Banyak persaingan, terus terpaksa kita harus ikut juga, misalnya, menggelapkan pajak perusahaan. Soalnya saya yang mengurus itu. Terus banyak yang ngomong macam-macam. Jadinya saya bingung sekali. Jadi, sekarang saya masih sakit. Istirahat saja di rumah dulu. Belum bisa kerja lagi.”

Kalimat di atas disampaikan seorang teman yang sudah beberapa tahun tidak bekerja lagi, mengurung diri saja di rumah.

Dalam era pasca modern seperti sekarang, kita menghadapi sangat banyak tantangan bukan saja untuk berkembang, melainkan juga sekadar untuk terus bertahan. Orang harus berpikir, bergerak, dan bekerja cepat dengan jam kerja yang lebih lama daripada sebelumnya.

Apabila di satu sisi kita belajar nilai-nilai baik, seperti kejujuran, kesabaran, dan kepedulian kepada orang lain, di sisi lain tuntutan riil yang kita hadapi adalah harus menangkap peluang lebih cepat, berpikir lebih kreatif, bergerak lebih cerdik. Kalau bisa mengantisipasi dan ”mencuri” ide-ide kreatif dan inovasi dari kompetitor dan tampil duluan dengan produk baru, orisinal ataupun hasil ”mengintip” karya orang lain.

Yang penting adalah kerja, kerja, kerja. Sampai-sampai, banyak dari kita merasa betapa akhir tahun aktivitas kerja tidak menurun, melainkan malah bertumpuk-tumpuk, untuk menghasilkan uang maupun menghabiskan anggaran.

Refleksi

Albert Einstein bilang, ”Action without reflection leads to burnout, reflection without action leads to cynicism.” Mungkin itu yang terjadi pada banyak kita di masa kini. Kita tidak sempat berefleksi, sebagian bekerja penuh ketegangan, sebagian yang lain didera tuntutan tugas rutin yang bertumpuk-tumpuk dan bergerak seperti robot, tidak sempat berpikir lagi. Padahal, refleksi merupakan hal penting agar manusia bisa menemukan makna dari pengalamannya dan mengambil keputusan mengenai tindakan yang perlu diambil untuk masa-masa selanjutnya.

Menarik bahwa penelitian mengenai fungsi otak menemukan bahwa jaringan saraf yang bertanggung jawab untuk mempertahankan dan memfokus perhatian pada lingkungan menunjukkan peralihan ke modus default secara spontan selama manusia beristirahat, melamun, ataupun ada dalam aktivitas mental sadar tetapi tanpa fokus atensi khusus.

Modus default ini penting untuk memungkinkan manusia memproses mental secara internal, misalnya dalam tugas-tugas yang menuntut kesadaran diri, mengingat kembali pengalaman pribadi, membayangkan masa depan, merasakan emosi terkait dampak-dampak psikologis yang dialami orang lain, dan juga dalam mengembangkan keputusan moral (Immordino-Yang dkk, 2012).

Singkat kata, temuan-temuan mengarah pada pemahaman bahwa ”diistirahatkannya otak” terkait dengan pemrosesan diri dan sosial dan menjadi dasar penting dari dimensi keberfungsian psikologis manusia. Ketiadaan kesempatan yang memadai tenang berefleksi mungkin berkonsekuensi negatif pada kesejahteraan sosial-emosional manusia maupun dalam kemampuan kita untuk memberikan perhatian penuh pada tugas.

Lebih lanjut dikembangkan simpulan bahwa perkembangan keterampilan sosial emosional juga dapat terganggu jika lingkungan tidak memberikan dukungan untuk pertumbuhannya, misalnya jika lingkungan tidak memberikan kesempatan manusia beristirahat, jika sekolah membombardir siswa dengan praktik-praktik pendidikan yang tidak mencerahkan, atau kita dikuasai oleh media sosial.



Para peneliti di atas khawatir bahwa tuntutan tinggi agar manusia mampu memberikan perhatian pada tugas-tugas dari lingkungan dapat membiaskan kita dan generasi muda, untuk lebih fokus pada aspek-aspek konkret, fisik, dan segera saja dari situasi. Tetapi, tidak melatih kita melakukan refleksi internal yang konstruktif.

Kompetisi

Rupanya pepatah yang menyatakan manusia perlu menyeimbangkan ”kerja, cinta, dan bermain” itu benar adanya. Situasi sekarang membawa kita pada kondisi di mana semua dituntut memiliki ”nilai tambah” (= bisa menghasilkan uang bagi diri atau perusahaan) hingga harus beraktivitas dengan ketegangan tinggi. Sama sekali tidak ada waktu untuk bermain atau beristirahat. Mungkin itu sebabnya orang berkendaraan seenaknya di jalanan, menyalip dari kiri, memaki-maki jika ada yang menghambat langkahnya, tabrak lari. Dalam bekerja juga tidak lagi peduli etika, misalnya melakukan plagiasi, membuat laporan fiktif, atau mengambinghitamkan teman kerja.

Semua dituntut menang. Tetapi, tampaknya itu tidak mungkin. Jika ada yang menang, terpaksa ada yang kalah. Dalam masyarakat ada cukup banyak pula yang ”kalah” atau ”merasa kalah” dalam persaingan yang demikian ketat, lalu lari dalam berbagai perilaku yang merugikan diri sendiri. Misalnya mengurung diri dan tak mampu lagi menjalankan fungsi produktif bekerja, terjebak dalam adiksi, atau tewas karena minuman keras oplosan.

Sering pula individu-individu atau kelompok yang merasa kalah ini jadi merugikan orang lain: mengancam, melakukan kekerasan di rumah tangga, bukannya meringankan tetapi malah menambahi beban lingkungan. Kita juga heran dengan sangat banyak terungkapnya kekerasan seksual. Mungkinkah selain banyak penyebab lainnya, salah satu faktor adalah ketegangan individu dengan tumpukan beban yang tidak mampu lagi dicerna? Karena terlalu kompleks penyelesaiannya, oleh si individu tanpa sadar dipindahkan menjadi ketegangan seksual yang mudah diselesaikan: ya dengan cara mencari pihak yang lebih lemah sebagai sasaran pelampiasan ketegangan?

Barangkali pembelajaran kita di akhir tahun ini adalah bagaimana mampu bertahan dan terus berkembang, artinya dengan menjadi ”pemenang”, tanpa harus membuat pihak lain menjadi the loser. Bagaimana menyelesaikan persaingan dan konflik kepentingan di tingkat individual, kelembagaan, hingga hubungan antarnegara dengan menjadi pemenang tanpa membuat pihak lain kalah, terpuruk, dan jadi buruk?

Pertanyaan yang sulit sekali dijawab, ya, maaf saya juga belum mampu menjawabnya. Selamat menyongsong Tahun Baru 2015 yang semoga menjadi tahun yang lebih baik daripada satu tahun yang telah kita jalani sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar