Waktu
Bre Redana ; Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas
|
KOMPAS,
28 Desember 2014
Tahun 2014 segera berakhir, yang
berarti 10 tahun saya tinggal di Ciawi. Sebagaimana desa atau kota kecil,
waktu di sini berjalan lambat. Dalam kehidupan modern, kelambatan (slowness) adalah oposisi dari
kecepatan (quickness). Pada yang
terakhir itu, yakni kecepatan, ketergesaan, kebergegasan, dianggap terkandung
segenap etos modernitas termasuk produktivitasnya. Time is money, kata ungkapan klise. Mengejar matahari, ucap para
motivator, yang mengira dirinya nabi dan ucapannya dipercaya semua orang.
Kelambatan, keleletan, dianggap
tak berkesesuaian dengan semangat zaman. Semangat zaman ini adalah kecepatan,
keserentakan, didukung teknologi informasi yang membuat dunia rata, flat,
homogen.
Waktu diapresiasi secara
kuantitatif, tak boleh ada yang tercecer sedikit pun. Diorkestrasi oleh
teknologi digital dalam wujud berbagai gadget, orang melakukan sejumlah
pekerjaan secara sekaligus. Istilahnya: multitask.
Orang meloncat dari satu subyek
ke subyek lain. Begitu pun dalam menangkap dan mencerna sesuatu. Belum
selesai suatu hal ditangkap, dicerna, telah muncul hal lain yang lebih
aktual, lebih menjadi trending topic. Segera orang meloncat ke subyek baru,
ke yang baru lagi, begitu seterusnya.
Lalu, waktu yang dikira secara
kuantitatif tak boleh bocor sedikit pun tadi, diam-diam kehilangan
kualitasnya. Kehidupan manusia modern, dengan gombal persepsi di mana waktu
seolah sebegitu berharganya, sebetulnya mengandung kontradiksi: mereka sangat
boros waktu. Borosnya sama dengan semangat konsumsi mereka.
Orang kehilangan irama, ritme,
jeda, dan menganggap waktu sebagai sesuatu yang semata-mata linier. Banyak yang
tidak mengenal lagi pengertian waktu sebagai siklus, seperti dalam
mitologi-mitologi lama, tambang pekerti dan kearifan hidup. (Ini yang membuat
saya iri terhadap penulis-penulis Italia seperti Umberto Eco atau Italo
Calvino. Mitologi sangat kuat menjadi dasar literatur mereka. Tanpa memahami
dunia mitologi, Anda dijamin lintang pukang memahami karya penulis-penulis
mutakhir itu).
Bersamaan aksi loncat sana
loncat sini bak monyet, orang teralienasi dari kesejatian atau kasunyatan
yang tersimpan dalam kelambatan, keheningan, kenglangutan, stillness. Banyak
orang tampaknya bahkan takut terhadap kelambatan, keheningan, dan
individuasi. Mereka selalu resah. Rumah, yang merupakan benteng pengungsian
dari kegaduhan ruang publik, kota besar, dan kesibukan profesi, kalau bisa
dihindari. Pada saat libur, orang memadati tempat-tempat hiburan dan
rekreasi. Wilayah Puncak dan sekitarnya termasuk daerah di mana saya tinggal
macet luar biasa dikepung mobil-mobil orang Jakarta.
Malam tahun baru adalah puncak
hitungan waktu secara kuantitatif tadi. Bersama kecemasan dan dorongan bawah
sadar untuk bersembunyi dari kesejatian hidup, terutama orang-orang berduit
merayakannya dalam pesta-pesta gaduh dan mewah. Kita yang tak punya duit tak
usah iri. Cuekin saja, di balik gemerlapan pesta dan busana mereka hanya
terdapat kehampaan.
Pada akhir tahun seperti ini,
setahun lalu, saya menunggui saat-saat akhir ibu saya. Saya ingat
kata-katanya yang diucapkan pada Mbak, pembantu setia kami: kamu jangan
bicara terus, aku ingin lebih punya waktu bersama anak-anakku. Waktuku wis
meh entek, katanya dalam bahasa Jawa yang artinya waktuku sudah hampir habis.
Waktu, ingin ia nikmati sebagai proses individuasi, dalam keheningan yang
bakal membawanya kembali kepada yang Ilahi.
Betapa waktu terasa sangat
lambat saat itu. Kamar sunyi dan temaram oleh penerangan lilin. Saya bisa
menangkap dan merasakan setiap tarikan napasnya. Dalam proses individuasi
yang disempurnakan doa itulah kemudian ibu pergi.
Sungguh akhir tahun yang memberi
saya banyak pelajaran tentang waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar