Selasa, 30 Desember 2014

Waktu

Waktu

Bre Redana   ;   Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas
KOMPAS, 28 Desember 2014

                                                                                                                       


Tahun 2014 segera berakhir, yang berarti 10 tahun saya tinggal di Ciawi. Sebagaimana desa atau kota kecil, waktu di sini berjalan lambat. Dalam kehidupan modern, kelambatan (slowness) adalah oposisi dari kecepatan (quickness). Pada yang terakhir itu, yakni kecepatan, ketergesaan, kebergegasan, dianggap terkandung segenap etos modernitas termasuk produktivitasnya. Time is money, kata ungkapan klise. Mengejar matahari, ucap para motivator, yang mengira dirinya nabi dan ucapannya dipercaya semua orang.

Kelambatan, keleletan, dianggap tak berkesesuaian dengan semangat zaman. Semangat zaman ini adalah kecepatan, keserentakan, didukung teknologi informasi yang membuat dunia rata, flat, homogen.

Waktu diapresiasi secara kuantitatif, tak boleh ada yang tercecer sedikit pun. Diorkestrasi oleh teknologi digital dalam wujud berbagai gadget, orang melakukan sejumlah pekerjaan secara sekaligus. Istilahnya: multitask.

Orang meloncat dari satu subyek ke subyek lain. Begitu pun dalam menangkap dan mencerna sesuatu. Belum selesai suatu hal ditangkap, dicerna, telah muncul hal lain yang lebih aktual, lebih menjadi trending topic. Segera orang meloncat ke subyek baru, ke yang baru lagi, begitu seterusnya.

Lalu, waktu yang dikira secara kuantitatif tak boleh bocor sedikit pun tadi, diam-diam kehilangan kualitasnya. Kehidupan manusia modern, dengan gombal persepsi di mana waktu seolah sebegitu berharganya, sebetulnya mengandung kontradiksi: mereka sangat boros waktu. Borosnya sama dengan semangat konsumsi mereka.

Orang kehilangan irama, ritme, jeda, dan menganggap waktu sebagai sesuatu yang semata-mata linier. Banyak yang tidak mengenal lagi pengertian waktu sebagai siklus, seperti dalam mitologi-mitologi lama, tambang pekerti dan kearifan hidup. (Ini yang membuat saya iri terhadap penulis-penulis Italia seperti Umberto Eco atau Italo Calvino. Mitologi sangat kuat menjadi dasar literatur mereka. Tanpa memahami dunia mitologi, Anda dijamin lintang pukang memahami karya penulis-penulis mutakhir itu).

Bersamaan aksi loncat sana loncat sini bak monyet, orang teralienasi dari kesejatian atau kasunyatan yang tersimpan dalam kelambatan, keheningan, kenglangutan, stillness. Banyak orang tampaknya bahkan takut terhadap kelambatan, keheningan, dan individuasi. Mereka selalu resah. Rumah, yang merupakan benteng pengungsian dari kegaduhan ruang publik, kota besar, dan kesibukan profesi, kalau bisa dihindari. Pada saat libur, orang memadati tempat-tempat hiburan dan rekreasi. Wilayah Puncak dan sekitarnya termasuk daerah di mana saya tinggal macet luar biasa dikepung mobil-mobil orang Jakarta.

Malam tahun baru adalah puncak hitungan waktu secara kuantitatif tadi. Bersama kecemasan dan dorongan bawah sadar untuk bersembunyi dari kesejatian hidup, terutama orang-orang berduit merayakannya dalam pesta-pesta gaduh dan mewah. Kita yang tak punya duit tak usah iri. Cuekin saja, di balik gemerlapan pesta dan busana mereka hanya terdapat kehampaan.

Pada akhir tahun seperti ini, setahun lalu, saya menunggui saat-saat akhir ibu saya. Saya ingat kata-katanya yang diucapkan pada Mbak, pembantu setia kami: kamu jangan bicara terus, aku ingin lebih punya waktu bersama anak-anakku. Waktuku wis meh entek, katanya dalam bahasa Jawa yang artinya waktuku sudah hampir habis. Waktu, ingin ia nikmati sebagai proses individuasi, dalam keheningan yang bakal membawanya kembali kepada yang Ilahi.

Betapa waktu terasa sangat lambat saat itu. Kamar sunyi dan temaram oleh penerangan lilin. Saya bisa menangkap dan merasakan setiap tarikan napasnya. Dalam proses individuasi yang disempurnakan doa itulah kemudian ibu pergi.

Sungguh akhir tahun yang memberi saya banyak pelajaran tentang waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar