Pelaksanaan
UU Korupsi dan Lex Specialis
Andi Hamzah ; Guru Besar Ilmu Hukum Pidana
|
KORAN
SINDO, 27 Desember 2014
Kita
telah memiliki sosok Jaksa Agung baru. Kita berharap, Jaksa Agung yang
akarnya berasal dari internal, bisa menjadi figur independen, mampu membuat
strategi penegakan hukum yang adil dan fair.
Ketegasan
Jaksa Agung baru penting mengingat saat ini mengemuka kasus-kasus hukum yang
kontroversial terhadap sejumlah perusahaan, baik swasta maupun BUMN.
Kasus-kasus tersebut karena cenderung Undang-Undang Pemberantasan Korupsi
ditafsirkan terlalu luas sehingga keluar dari teori hukum pidana.
Belakangan
ini kasus-kasus yang cukup ramai dibahas dan banyak menjadi kekhawatiran para
pebisnis adalah perkara pengadaan LTE PLTGU Belawan Medan dan kerja sama PT
Indosat Tbk dan anak usahanya PT Indosat Mega Media (IM2) dalam
penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz. Dua kasus ini mirip karena diduga
terjadi pemaksaan terhadap korporasi.
Pada
kasus-kasus ini, perdebatan yang sudah sejak lama terjadi adalah, apakah
layak tetap menggunakan Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
ataukah selayaknya menggunakan Undang- Undang Lex Specialis, mengingat ada
payung hukum khusus selain UU Tipikor. Adalah tugas mulia Jaksa Agung baru
menempatkan kasus apakah layak dengan UU Tipikor ataukah dengan lex
specialis, seperti UU Telekomunikasi dan UU Kepabeanan.
Cukup
menarik perhatian dalam perkara IM2, yang bahkan bisa dijadikan studi kasus
hukum karena kontroversinya. Kasus tersebut saat ini ramai di publik akibat
munculnya dua putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang muncul tak berselang
lama tapi saling bertentangan. Dalam perkara IM2, MA mengeluarkan dua putusan
kasasi yang tidak sinkron. Pertama, kerja sama Indosat dan anak usahanya
tersebut dianggap merugikan negara senilai Rp1,3 triliun berdasarkan
perhitungan BPKP.
Hal ini
tertuang dalam putusan Kasasi Nomor 282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli
2014, yang memutuskan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar
Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun disertai dengan denda
sebesar Rp 300 juta, dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp1,358 triliun
yang dibebankan kepada korporasi IM2.
Sedangkan
dalam putusan kasasi yang lain yaitu Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli
2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan Deputi Kepala Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara
IM2. Bagaimana penyelesaiannya?
Lex Specialis
Perkara ini adalah tentang kerja
sama antara PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT IM2 dalam penyelenggaraan 3G
di frekuensi 2.1 GHz. Bila melihat kasus ini melalui Undang-Undang Telekomunikasi
No 36 Tahun 1999, terdapat 11 rumusan delik. Dengan demikian apakah perbuatan
menyewa jaringan internet Indosat harus ada izin Menkominfo atau tidak perlu
izin?
Jika harus mengajukan izin menteri dan IM2 tidak mendapat izin tetapi
IM2 tetap melanjutkan usahanya, maka IM2 termasuk melanggar Pasal 47 jo pasal
11 ayat (1) jo Pasal 7 UU Telekomunikasi tersebut. Pasal itu memuat ancaman
pidana hingga maksimum enam tahun penjara dan denda maksimum 600 juta rupiah.
Itulah merupakan lex specialis.
Tetapi, saya tidak melihat pasal lain mana yang dilanggar. Hal ini juga
telah diperkuat oleh Surat Kementerian Komunikasi dan Informatika bernomor
T684/ M.KOMINFO/KU.04.01/11/ 2012 yang menegaskan bahwa kerja sama Indosat
dan IM2 tersebut telah sesuai aturan. Sesungguhnya, bila pejabat atau Menteri
Kominfo telah mengatakan bahwa kerja sama Indosat dan IM2 serta perbuatan
Indar Atmanto tidak melawan hukum karena sudah sesuai UU Telekomunikasi,
berarti dia tidak melawan hukum seandainya pun negara dapat rugi.
Kejaksaan Agung seharusnya menggunakan dasar Undang-Undang
Telekomunikasi sebagai pengecualian (lex specialis). Bukan dengan menggunakan
aturan yang bersifat umum (legi generali ). Dengan status lex specialis ,
artinya memiliki bobot lebih besar ketimbang undangundang legi generali.
Dalam memutuskan sebuah kasus yang menyangkut UU lex specialis, maka UU
legi generali harus mengikuti lex specialis. Namun mantan Dirut PT IM2, Indar
Atmanto telah dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU
No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Tidak tepat dalam perkara semacam IM2 ini menggunakan legi generali.
Layak Bebas
PT IM2 dan mantan dirutnya layak bebas jika satu atau semua bagian inti
delik tidak terbukti. Ada tiga bagian inti delik atau delictsbestanddelen
dalam Pasal 2. Pertama, unsur melawan hukum. Kedua, unsur memperkaya diri
sendiri atau suatu korporasi. Ketiga, dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Apabila ini digunakan untuk mengusut kasus penggunaan jaringan 3G PT
Indosat oleh PT IM2, maka ketiga bagian delik dalam Pasal 2 itu harus termuat
dalam surat dakwaan dan harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Namun, jika satu bagian inti saja tidak terbukti, maka putusannya menjadi
bebas.
Perbuatan melawan hukum artinya
beberapa pengertian, namun yang paling cocok untuk korupsi ialah ”tidak
mempunyai hak sendiri untuk menikmati uang tersebut”. Melawan hukum ini
berkaitan langsung dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi. Kedua bagian inti delik inilah yang paling penting.
Sedangkan bagian inti delik ”dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” otomatis terbukti jika dapat dibuktikan orang itu,
dengan melawan hukum dia memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi. Hal yang sering terjadi dalam praktek penegakan hukum, sering
salah kaprah mengenai Pasal 2 ini.
Ketika telah merugikan keuangan negara, sudah langsung dianggap telah
terjadi korupsi. Padahal yang terpenting harus dibuktikan bahwa orang itu
telah melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi. Bahkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang
sudah diratifikasi Indonesia menegaskan bahwa kerugian negara bukan unsur
korupsi.
Jadi walaupun negara sudah jelas mengalami kerugian tetapi orang itu
tidak memperoleh, mendapatkan, menerima uang yang jumlahnya besar
(memperkaya) atau menyebabkan orang lain atau korporasi menjadi kaya secara
melawan hukum? Saya ulangi yang terpenting dibuktikan ialah secara melawan
hukum telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Berapa jumlahnya dan perbuatan itu melawan hukum. Jika tidak dibuktikan
itu semua, maka putusan itu keliru. Kejaksaan Agung tidak menggunakan UU
Telekomunikasi, barangkali karena tidak berwenang menyelidiki delik
telekomunikasi. Dalam proses persidangan juga sudah menghadirkan Menkominfo
saat itu.
Bahkan ada surat edaran bahwa PT IM2 tidak merugikan negara. Sehingga
kementerian itu tidak gusar karena semua penyedia jasa layanan internet di
Indonesia menggunakan model bisnis yang sama. Jadi PT IM2 tidak melawan
hukum. Dan karena melawan hukum menjadi bagian dari inti delik korupsi Pasal
2, maka terdakwa harus diputus bebas jika tidak melawan hukum karena dakwaan
tidak terbukti.
Selain itu untuk dapat menghitung dapat merugikan negara, maka semua
akuntan atau auditor dapat dipanggil sebagai ahli tidak mesti BPKP. Namun
yang harus dibuktikan lebih dulu adalah apakah perbuatan terdakwa itu melawan
hukum atau bertentangan dengan UU Telekomunikasi atau tidak dan berapa jumlah
uang yang diperoleh secara melawan hukum? Upaya mencari keadilan bagi Indar
dengan dua putusan saling bertentangan maka ada langkah Peninjauan Kembali
(PK).
Jika putusan itu nyata ada kekeliruan hakim yaitu menjatuhkan pidana
yang tidak didakwakan maka PK adalah sesuai Pasal 263 KUHAP. Ada kelalaian
hukum yang nyata dan ada putusan yang saling bertentangan. Kasus IM2 memang
bisa menjadi pertaruhan dan tugas mulia kejaksaan dan Jaksa Agung baru untuk
kembali menata dan mendudukan persoalan pelaksanaan UU Tipikor (legi generali) dan lex specialis.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar