TIK
dan “Kota Cergas”
Suhono Harso Supangkat ;
Guru Besar ITB;
Koordinator Prakarsa Kota Cergas Indonesia; Anggota
Cityprotocol.org
|
KOMPAS,
31 Desember 2014
AKHIR-akhir
ini beberapa wali kota dan gubernur telah mengumandangkan status atau
rencananya menjadikan kotanya menjadi smart
city. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah
meluncurkan sebagian aplikasi smart
city-nya pada 15 Desember lalu. Wali Kota Bandung sedang menyiapkan command room dengan seragam
”Startrek”-nya, suatu ruangan operasi kota secara digital yang diharapkan
mengetahui pergerakan kota tiap menit.
Demikian juga Wali Kota Bogor dengan green and smart room-nya. Surabaya dengan aplikasi finger print serta rencana Wali Kota Makassar
dengan pembuatan kartu identitas dan pembayaran elektroniknya.
Pertanyaannya
adalah apakah itu semua sudah disebut smart
city? Kenyataannya Bandung sedang dilanda banjir, Jakarta masih macet,
masih banyak pedagang kaki lima, dan lain sebagainya? Selanjutnya apakah smart city itu baru sebatas jargon
atau hanya sebagai pencitraan kota (city
branding)? Ataukah smart city
itu suatu konsep kerangka kerja atau untuk pemasaran (gimic marketing)?
Jika
suatu kerangka kerja, apakah smart city
bisa dibangun dalam tiga atau empat tahun? Ini yang selalu diembuskan oleh
gubernur, wali kota, bupati, atau pejabat baru. Tentu saja ini suatu hal yang
wajar karena masa kerja mereka hanya lima tahun.
Sebagai
penggiat dan peneliti smart city,
penulis telah melakukan beberapa observasi di berbagai belahan dunia, di
antaranya Eropa dan Asia. Ternyata selain industri, beberapa kota dan
organisasi sedang bergiat meningkatkan inovasi kota dengan menamainya sebagai
smart city.
Jika
melakukan pencarian (googling) di
internet, kita akan menemukan banyak sekali konsep ataupun definisi smart city. Namun, pada inti dan
umumnya smart city adalah suatu usaha mengelola sumber daya kota, baik alam,
lingkungan, manusia, kelembagaan, kemitraan, maupun interaksi kota yang
cerdas dan gegas (umumnya teknologi, informasi, komunikasi/TIK membantu).
Tujuannya adalah mewujudkan kota yang aman, nyaman, dan berkelanjutan.
Anatomi kota
Salah
satu organisasi dunia yang konsen terhadap pembangunan smart city adalah Cityprotocol.org, yang setiap tahun
menyelenggarakan world congress on
smart city. Organisasi ini tengah mengusulkan suatu konsep dengan memandang atau menganalisis suatu
kota seperti tubuh manusia.
Kota
adalah rangkaian dari sistem-sistem (systems
of sytems), bisa dilihat dari sektor transportasi, kesehatan, pendidikan,
bencana, dan lain-lain, tetapi juga bisa dilihat dari kewilayahan (kelurahan,
kecamatan) ataupun kehidupan lainnya.
Cityprotocol.org
telah mengusulkan basis anatomi kota menjadi tiga komponen utama, yaitu (1)
struktur, (2) interaksi, dan (3) masyarakat. Setiap komponen dibagi dengan
beberapa lapisan (layer).
Lapisan
pertama dari komponen struktur kota adalah lingkungan yang dibentuk oleh tiga
elemen dasar: air, udara, dan bumi. Ketiga elemen itu memiliki pengaruh besar
dalam persoalan banjir, longsor, dan lain-lain. Infrastruktur adalah lapisan
kedua dari komponen struktur. Lapisan ini pendukung dari pergerakan air,
materi, energi, dan lain-lain. Sementara lapisan ketiganya tersusun dengan
nama domain pembangunan (built domain),
seperti bangunan rumah, gedung, distrik, hingga megapolitan.
Komponen
interaksi terdiri atas empat lapisan: fungsi kota, ekonomi, budaya, dan
informasi. Fungsi kota menyangkut kehidupan, kerja, pendidikan, belanja,
hingga seni pertunjukan. Sementara lapisan budaya melibatkan tradisi, nilai,
dan cara penduduknya mengelola kehidupan.
Adapun
lapisan informasi dibangun oleh sistem operasi kota (city operating system),
indikator kinerja kota.
Kota cergas
Walau
masih menunggu masukan dari publik untuk perbaikan, cara pandang
Cityprotocol.org tersebut sangat komprehensif dan bisa menjadi acuan pemangku
kepentingan kota untuk membangun suatu kota idaman.
Dihubungkan
dengan jargon smart city, konsep anatomi kota tersebut saat ini telah menjadi
pegangan kongres dunia tentang smart city yang setiap tahun diagendakan di
Barcelona, Spanyol.
TIK
memang memiliki peran penting , terutama dalam komponen kedua, yaitu
interaksi. Dengan adanya interaksi di komponen pertama dan ketiga, pemahaman
tentang kota dan tindakan untuk mengatasi persoalan bisa dilakukan dengan
cerdas dan gegas (cergas).
Sementara
itu, diskusi dengan beragam kalangan, padanan kata smart city diusulkan
dengan nama kota cergas, gabungan dua kata: cerdas dan gegas. Kata ini sedang
dalam proses usulan masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Di
Indonesia, ada beberapa prakarsa untuk mengukur suatu kota, apakah kota
sedang menuju kota cergas atau hanya ikut-ikutan, masih inisiasi, sudah mulai
membangun terpisah, atau sudah terintegrasi.
Salah
satu unit di Institut Teknologi Bandung telah mengusulkan suatu pengukuran
tingkat kematangan kota cergas yang
disebut sebagai Garuda Smart City
Maturity Model.
Pengukuran
ini melibatkan 3 sektor pengungkit (enabler),
3 sektor utama, dan 5 level kematangan. Tiga sektor pengungkit adalah
manusia, tata kelola, dan TIK, sementara tiga sektor utama adalah lingkungan,
masyarakat, dan ekonomi. Ada 111 indikator pendukung.
Selain
pengukuran, juga telah dikembangkan karya anak bangsa, yaitu platform kota
cergas (smart system platform)
sebagai otak interaksi antara komponen struktur dan masyarakat.
Membangun
kota cergas tidaklah sederhana, bisa terwujud dalam 5-10 tahun saja sudah
luar biasa. Dibutuhkan suatu kesabaran, fondasi dan rencana jangka panjang
yang kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar