Menyelamatkan
Ekosistem Pasar Klewer
Heri Priyatmoko ; Anak bakul di
Pasar Klewer;
Alumnus Pascasarjana Sejarah
FIB, UGM
|
JAWA POS, 30 Desember 2014
SABTU malam, 27 Desember 2014, warga se-Solo Raya berduka. Radar Solo
(28/12), jaringan Jawa Pos Group, mendokumentasikan, si jago merah mengamuk
dan melalap Pasar Klewer yang dibangun pada 1971. Kobaran api dengan cepat
membesar lantaran angin juga berembus cukup kencang malam itu. Ribuan
pedagang panik dan tidak kuasa menahan air mata tatkala menyaksikan ribuan
kios habis dijilati api. Sekitar 2.300 kios beserta isinya ludes. Kebakaran
pasar sandang tersebut dinilai sebagai musibah kebakaran terbesar di Solo
Raya dalam beberapa tahun terakhir.
Ekosistem pasar yang tersusun rapi selama puluhan tahun pun hancur
dalam sekejap. Setidaknya terdapat tiga konsep lahir di ranah ekonomi pasar
tersebut yang rusak, yakni dagang, pedagang, dan perdagangan. Izinkan saya
mengutip pokok pemikiran antropolog Jennifer Alexander yang dituliskan dalam
Wanita Pengusaha di Pasar-Pasar Jawa (2000).
Konseptualisasi dagang memperlakukan pasar sebagai sistem tukar-menukar
barang, memeriksa secara geografis persebaran pasar, serta produksi barang
niaga. Berikutnya, konsep pedagang menempatkan pasar sebagai sistem sosial,
melukiskan tipe pedagang (pengecer, pedagang besar, serta perantara), dan
lembaga yang menyalurkan mereka ke jaringan hubungan sosial. Tidak melulu
bersifat ekonomi, relasi yang terjalin juga bersifat sosial karena mereka
menghubungkan anggota keluarga, pelanggan, dan klien.
Selanjutnya, konsep perdagangan memaknai pasar sebagai aliran informasi
yang terstruktur berdasar budaya dan cara bakul bertahan hidup. Konsep yang
terakhir itu memusatkan perhatian kita pada proses jual beli di suatu tempat,
memanfaatkan kemitraan, dan tawar-menawar mekanisme penentuan harga.
Peristiwa tawar-menawar yang lazim terjadi di dalam pasar sandang
tersebut kini juga tiada lagi. Padahal, transaksi ekonomi tradisional yang
dirumuskan ilmuwantermasyhur Clifford Geertz dengan istilah sliding prize
dalam bukunya Penjaja dan Raja (1973) tersebut merupakan media interaksi dan
menjaga kerukunan sosial di wilayah yang dijuluki ’’kota bersumbu pendek’’
itu.
Jika ingin belajar demokrasi yang baik, pasar tradisional semacam Pasar
Klewer sebelum kobongan adalah tempatnya. Juga, melihat kecerdikan dan
kegigihan pembeli yang berulang-ulang menawar dan hanya menaikkannya dalam
jumlah yang amat sedikit di antara rentang waktu yang berlangsung lama.
Banyaknya penganggur dan tersendatnya perekonomian kota adalah gambaran
yang mudah kita tebak untuk hari-hari ke depan. Pendapatan asli daerah (PAD)
kota pasti juga melorot drastis karena pasar yang puluhan tahun menjadi
sumber pemasukan terbesar tersebut telah luluh lantak.
Karena itu, langkah sigap yang harus ditempuh adalah segera membuat
pasar darurat untuk menyelamatkan ekosistem Pasar Klewer. Pemerintah Kota
Surakarta menyatakan, lokasi yang memungkinkan dan berdekatan dengan Klewer
adalah Alun-Alun Utara, Alun-Alun Selatan, Beteng Trade Centre, dan Pusat
Grosir Solo.
Perlu dijelaskan kepada pembaca, apakah alun-alun keraton yang dulu
sarat nilai filosofis tersebut merupakan lokasi yang tepat untuk pasar
darurat? Pakar tata ruang perkotaan Jawa Bagoes P. Wiryomartono (1995)
memaparkan, pasar secara harfiah berarti tempat berkumpul untuk tukar-menukar
barang atau jual beli sekali dalam lima hari Jawa.
Pasar dalam konsep urban Jawa adalah kejadian yang berulang secara
ritmik dengan transaksi tidak sentral. Yang sentral dalam kegiatan pasar
adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa. Berkumpul dalam
arti saling bertemu muka dan berjual beli pada hari pasaran menjadi semacam
panggilan sosial periodik. Kata lain pasar adalah peken dengan kata kerja
mapekan yang berarti berkumpul.
Peken adalah tempat berkumpul yang tidak berkaitan dengan upacara.
Berbeda dengan berkumpul karena ada ’’gawe’’ atau upacara atau slametan,
kegiatan pasar tidak dititipi ritual dan simbol-simbol. Hal itu menjadi
petunjuk bahwa hari pasaran bukanlah peristiwa ketika manifestasi kekuasaan
itu mengalami transformasi. Pada pertemuan ritual atau slametan, orang Jawa
percaya adanya transformasi kekuatan yang memengaruhi stabilitas jagat Jawa.
Jika pasar dipandang sebagai kejadian periodik yang tidak bersangkut
paut dengan konsep kekuasaan secara langsung, letak pasar secara urban Jawa
tidak akan di alun-alun. Pasar akan menjadi kejadian di luar alun-alun dan
masuk ke dalam kegiatan warga yang membuat kehidupan dunya bisa berlangsung.
Namun, seiring dengan perubahan zaman dan hancurnya hegemoni keraton,
alun-alun mengalami degradrasi nilai filosofis. Alun-alun difungsikan sebagai
ruang ekonomi, bukan tempat latihan prajurit dan pergelaran rampogan.
Pedagang batik pekalongan yang mencari sesuap nasi di Kota Solo, misalnya,
setiap Senin dan Kamis rutin mangkal di tanah lapang tersebut. Setiap
pergelaran ritual Sekaten, pasar malam juga ditampung di alun-alun.
Diperbolehkannya alun-alun dijadikan pasar darurat justru akan
menunjukkan keberpihakan dan kepedulian lembaga Keraton Kasunanan terhadap
nasib jutaan orang yang menggantungkan hidup pada pasar tersebut. Terlalu
lama masyarakat berjarak dan kurang respek terhadap keraton. Berbeda bila
dibandingkan dengan Keraton Kasultanan Jogjakarta yang penduduknya memiliki
ikatan emosional begitu kuat serta menjadi rujukan publik dalam hal budaya.
Masyarakat pasti menaruh hormat atas langkah bijak Keraton Kasunanan dan
berpeluang memperbaiki citra keraton di mata warga.
Upaya tersebut sebetulnya dapat mencegah maraknya kriminalitas karena
banyaknya penganggur yang tidak tertampung. Sebab, bila sudah menyangkut
urusan perut, tindakan apa pun mudah dikerjakan. Mereka sebagai tulang
punggung keluarga kudu memenuhi kebutuhan makan dan biaya sekolah buah hati.
Kebakaran pasar sandang yang sehari-hari beromzet miliaran rupiah
tersebut memang memukul jaringan ekonomi pasar. Kita tetap berharap pemkot
mengupayakan pasar darurat di alun-alun sehingga ekosistem Pasar Klewer bisa
terselamatkan dan bangkit dari keterpurukan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar