Bersama
Roza 10 Tahun Lalu
Sjamsoe’oed Sadjad ; Guru Besar Emeritus, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
|
KOMPAS,
26 Desember 2014
PADA
awal 2014 seorang rekan menelepon saya. Ia mengabarkan ada yang ingin
menerbitkan buku peringatan 10 tahun tsunami di Aceh dan penulisnya berencana
memuat pengalaman orang yang terkait langsung ataupun tak langsung dengan
korban.
Saya
bisa disebut sebagai korban tidak langsung tsunami. Namun, peristiwa itu
benar-benar menimbulkan depresi luar biasa. Saya kehilangan anak bungsu, Roza
(39), serta dua cucu: Maurin (6) dan Tazkia (2). Saya tidak berkomentar
terhadap permintaan itu. Dalam batin saya bertanya mengapa bukan suami dan anaknya
yang masih ada saja yang diwawancarai. Untunglah telepon itu tidak ada
kelanjutannya.
Telepon duka
Sepuluh
tahun lalu, empat hari sesudah tsunami terjadi, saya menerima telepon dari
salah seorang keluarga Mahdi yang tinggal di Jakarta. Mahdi adalah suami
Roza. Sanak keluarga itu mengabarkan, Roza menjadi korban tsunami beserta
anak-anaknya.
Sebagai
ayah Roza, saya dimintai pendapat apakah jenazahnya akan dimakamkan di Bogor,
tempat tinggalnya. Saya tegas menjawab, memohon bantuan yang ada di sana untuk
segera memakamkan sesuai dengan syariat agama. Tidak perlu membawanya pulang
ke Bogor.
Roza
baru 10 tahun mengabdikan diri di Aceh. Ia menjadi anggota staf pengajar di
Universitas Syiah Kuala Darussalam sesudah menyelesaikan program PhD di
Oregon State University (OSU). Ia menikah dengan Mahdi yang baru dikenalnya
dan bersama-sama studi pascasarjana di OSU. Mahdi adalah warga Banda Aceh,
anggota staf pengajar di Universitas Syiah Kuala Darussalam. Ia meraih gelar
magister di OSU dan gelar doktor diraih kemudian di Institut Pertanian Bogor
(IPB).
Roza
beberapa hari sebelum hari Minggu kelabu itu berada di Bogor bersama
suaminya. Sehabis menyeminarkan laporan kemajuan risetnya di Jakarta, Roza
mampir menengok saya sebelum kembali ke Banda Aceh.
Riset dengan
rencana penelitian dua tahun itu mengenai simulasi kemunduran benih yang
disimpan dalam penyimpanan yang disebut deteriorasi dalam periode simpan. Ia
berupaya menemukan model matematika simulasinya atas metode devigorasi cepat
secara kimiawi yang saya temukan sebagai ilmuwan benih tanaman.
Saya
banyak membantu pelaksanaan penelitian ini, juga penyimpanan benih terbuka
selama setahun, di Laboratorium Teknologi Benih IPB. Roza akan menganalisis
datanya dengan tujuan akhir bisa menemukan modelnya. Ia bahkan berencana
berangkat ke Oregon mendiskusikannya dengan mantan promotornya di OSU. Namun,
baru di tengah perjalanan riset, Allah menghendaki lain.
Sabtu
pagi Roza kembali ke Banda Aceh. Keesokan harinya, Minggu 26 Desember 2004,
dia tewas diterjang gelombang tsunami. Saya tak menyangka sama sekali bahwa
perpisahan dengan Roza saat itu merupakan perpisahan terakhir kami sebagai
ayah dan anak. Saya hanya mengantarkan kepergian Roza di teras rumah, di
bawah derasnya hujan.
Suaminya,
Mahdi, yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH)
Universitas Syiah Kuala Darussalam, bisa pulang ke Banda Aceh bersama Roza.
Mahdi pagi itu berangkat dengan mobil Laboratorium Teknologi Benih ke
terminal bus Damri lebih dulu karena harus menjemput temannya. Roza diantar
kakaknya, Elza, dengan mobil suaminya, Arif.
Malam
sebelumnya saya masih menyaksikan Roza mengemas bawaan sekoper penuh dengan
berbagai bingkisan untuk ketiga anaknya dan segenap handai tolan di Banda
Aceh. Ia senang bisa menemukan pesanan Maurin, anaknya yang baru masuk
sekolah dasar, berupa kaus dengan gambar boneka kesayangannya, Gorby.
Pada
Sabtu sore, Roza menelepon, menceritakan kegembiraan bertemu dengan
anak-anaknya sesudah seminggu berpisah. Saya sempat menanyakan rencana
menyapih anak bungsunya, Tazkia. Roza dengan ketawa-tawa menjawab bahwa
gara-gara digoda kakak-kakaknya, Tazkia pun menjadi ingat. Bahkan, saat masih
berada dalam mobil yang menjemput ke bandara, ia sudah kembali minta ASI.
Gagallah usaha menyapih si bungsu.
Waktu
itu Roza hanya sendirian karena suaminya berhenti di Medan untuk urusan
dinas, dan selamatlah Mahdi dari hantaman tsunami. Tinggallah Mahdi sekarang
bersama anak sulungnya, Luthfi, yang selamat karena bisa mendapatkan kasur
untuk pegangan sampai mendarat di atap rumah orang. Luthfi ditemukan di
tempat pengungsian di luar Banda Aceh.
Mengguncang jiwa
Ayah-ibu
Mahdi dan dua adik perempuannya, juga adik ipar dan dua anaknya, tewas
diterjang tsunami. Suatu tragedi yang sangat mengguncangkan jiwa Mahdi dan juga
saya, mertuanya.
Sejak
itu saya seperti tutup buku untuk keilmuan sesudah 40 tahun mengembangkannya
di IPB. Setahun kemudian saya selesai dengan tugas membimbing kandidat doktor
(S-3) kesepuluh terakhir. Usaha saya tinggal menulis buku dan berhasil menyelesaikan
beberapa. Buku terakhir yang saya terbitkan bertepatan perayaan ulang tahun
ke-80 pada 2011.
Manusia
memang perlu bersyukur apabila menemui kebahagiaan. Namun, sebaliknya manusia
harus bisa banyak pasrah dan mengikhlaskan jika mengalami kehilangan. Semua
itu hanya karena Allah semata.
Dengan
menahan air mata, saya hanya bisa pasrah jika mengenang kedekatan Roza dengan
almarhumah mamanya. Saya sering membayangkan Roza tidur di sofa dengan kepala
di pangkuan mamanya, yang masih berlangsung meski ia sudah menikah dan punya
anak.
Ternyata
Roza menyusul empat tahun sesudah kepergian mamanya. Semoga Allah mempersatukan mereka di sisi-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar