Jumat, 26 Desember 2014

Quo Vadis Pemerintahan Jokowi-JK?

                       Quo Vadis Pemerintahan Jokowi-JK?

Tandean Rustandy  ;   Chief Executive PT Arwana Citramulia Tbk
KORAN SINDO,  23 Desember 2014

                                                                                                                       


Rakyat memantau dan menantikan kinerja Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Para menteri mencontoh gaya kepemimpinan Presiden Jokowi untuk turun ke bawah.

Namun, blusukan beberapa menteri terkesan mementingkan pencitraan dan cenderung menyelesaikan persoalan di level mikro. Padahal mereka seharusnya membuat berbagai kebijakan strategis, bukan banyak bicara mengingat semakin kompleksnya problem bangsa kita saat ini.

Presiden Jokowi memulai perjalanan ke luar negeri dengan menghadiri KTT APEC di China, lalu KTT ASEAN di Myanmar, G-20 di Australia, dan terakhir KTT ASEAN Korea Selatan di Seoul. Ketika menghadiri berbagai KTT itu, Presiden selalu mengajak investor asing berinvestasi di Indonesia.

Sejak Indonesia merdeka, belum pernah ada presiden yang melakukan perjalanan perdana ke luar negeri langsung promosi investasi sehingga menimbulkan kesan Indonesia begitu haus bantuan luar negeri. Di sisi lain, Presiden Jokowi juga belum pernah menawarkan rencana investasi kepada pengusaha lokal. Padahal cukup banyak pengusaha lokal yang kuat dan mampu.

Amat disayangkan, belum konsolidasi ke dalam, Presiden sudah “jualan” keluar. Sebetulnya tanpa promosi Presiden, investor luar negeri sudah sangat tahu potensi bangsa kita. Tanpa diundang pun, para investor akan datang karena pasar Indonesia sangat menjanjikan. Pemerintah sekarang seharusnya fokus menghilangkan hambatan investasi seperti perizinan, pembebasan lahan, dan kelambanan birokrasi.

Apabila setiap jajaran pemerintah memiliki niat memperbaiki dan mengimplementasikan good governance, kami yakin niscaya rakyat akan menginvestasikan kemampuannya yang terbaik bagi bangsa ini. Sekalipun Indonesia negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, kebijakan pemerintah tidak boleh terlalu liberal. Memang Indonesia masih butuh investasi asing, setidaknya untuk modal dan teknologi.

Namun, sementara pemerintah membiarkan modal asing masuk dengan amat mudah, daya saing produk industri dalam negeri masih relatif rendah. Khusus untuk sektor manufaktur yang tidak berkaitan dengan sumber daya alam, modal asing yang masuk lebih banyak ke Pulau Jawa karena merupakan pangsa pasar terbesar di Indonesia. Pemerintah seharusnya menggiring mereka berinvestasi di luar Jawa.

Dengan kemampuan keuangan dan know-how teknologi yang lebih baik, para investor asing memiliki stamina untuk memulai di tempat yang belum disentuh investor lokal. Pemerintah pasti menyadari investasi penanaman modal asing (PMA) lebih banyak di sektor sumber daya alam, mulai dari tambang, perkebunan, dan perikanan.

Namun, PMA tidak membangun pabrik untuk secondary processing. Bisa dilihat di lingkungan kerja pertambangan, di mana kondisi rakyatnya tetap tidak sejahtera, sedangkan para penguasa daerah semakin makmur. Dengan royalti dan pajak yang kurang transparan serta penyerapan tenaga kerja lokal yang sedikit, mereka bisa bebas mengambil bahan mentah, langsung diekspor, kemudian uang hasil ekspor diparkir di luar negeri.

Biaya kerusakan alam yang ditimbulkan sangat besar, tetapi kurang diperhatikan. Semua ini karena law enforcement yang tidak tegas. Harapan kepada pemerintah baru, problem yang merugikan bangsa dan negara ini bisa terselesaikan dan pengelolaan kekayaan alam kita bisa berkelanjutan. Demikian halnya PMA di sektor industri manufaktur yang terlalu digampangkan, padahal mereka tidak terlalu memikirkan kepentingan jangka panjang bangsa kita.

Indonesia dijadikan “tukang jahit”. Mereka selalu memegang brand tanpa merencanakan alih teknologi. Pada dasarnya kita diberi order produksi massal dengan kualitas biasa. Kasus ini menjadi pembelajaran bagi menteri tenaga kerja dan serikat pekerja. Dengan kemampuan sumber daya manusia yang rendah dan tidak ditingkatkan kualitasnya, produk yang dihasilkan merupakan produk biasa yang bisa diproduksi negara lain.

Sebagai contoh, sepatu dengan harga jual di atas USD100 selalu diproduksi di Vietnam dan China. Sedangkan sepatu produk Indonesia untuk menengah ke bawah. Padahal biaya tenaga kerja Indonesia lebih mahal daripada Vietnam dan di negara tersebut stabilitas berusaha sangat baik tanpa unjuk rasa karyawan menuntut kenaikan upah.

Menteri tenaga kerja dan serikat buruh perlu konsolidasi dengan benchmarking ke negara tetangga yang memiliki kemampuan sama. Apabila selalu menuntut ke dalam tanpa perbandingan keluar, secara jangka panjang sektor industri manufaktur berbasis padat karya akan tidak menarik bagi investor dalam maupun luar negeri.

Sekarang sudah bisa dilihat, tren pertumbuhan investasi berbasis padat karya terus menurun. Upah buruh Vietnam di bawah Indonesia, tapi kesejahteraan dan kualitas hidup di sana lebih baik. Biaya hidup Vietnam bisa terjangkau karena makanan pokoknya sangat murah. Mengapa bisa demikian? Hal menarik, sekalipun sumber daya alamnya tidak kaya, Vietnam mampu berswasembada kebutuhan makanan pokok.

Biaya energi mereka tidak disubsidi, tetapi biaya produksi beras mereka lebih efisien dari kita. Kita bisa bandingkan juga dengan Thailand. Bahan makanannya bahkan lebih murah dari Vietnam. Biaya energi Thailand salah satu termahal di ASEAN, tapi mengapa kebutuhan hidup di sana luar biasa murah dibanding kita? Semestinya dengan kemelut dalam negeri yang cukup parah, Thailand terpuruk.

Kenyataannya jalanan antarprovinsi di negara tersebut tetap mulus, jumlah turis tetap terbesar di ASEAN, dan harga makanan boleh dikatakan termurah. Contoh Vietnam dan Thailand patut menjadi studi kasus untuk pembelajaran setiap lapisan golongan di Indonesia. Kelemahan fundamental kita yakni selalu mengandalkan berlimpahnya kekayaansumber daya alam.

Sejak merdeka tidak pernah sekalipun pemerintah berani membangun ekonomi tanpa bersandar pada hasil sumber daya alam. Tidak heran bila pertumbuhan ekonomi menjadi musiman, sangat bergantung kepada negara lain. Kita bukan Singapura maupun Thailand. Kita negara dengan populasi terbesar di ASEAN, keindahan alamnya tidak kalah dengan Italia, serta kekayaan sumber daya alamnya jauh dibanding Timur Tengah.

Tetapi, mengapa turis lebih banyak berkunjung ke Thailand dan Singapura, bahkan Malaysia? Rakyat Thailand, Malaysia, dan Singapura lebih sejahtera dari rakyat kita. Laut Vietnam dan Thailand tidak seluas Indonesia, tetapi mampu mengekspor hasil laut jauh di atas kita. Para pemimpin bangsa perlu berintrospeksi.

Kita negara besar, kaya, dan berdaulat, tetapi rakyat masih belum sejahtera. Kualitaspendidikanmasihkalah dari Malaysia, Thailand, maupun Vietnam. Lebih banyak warga negara Thailand, Vietnam, maupun Malaysia yang kuliah di universitas kelas atas di Amerika Serikat dibanding kita.

Setiap pemimpin mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan para pemimpin partai politik perlu belajar dari Confucius, seorang filsuf besar China yang mengatakan, ”Di negara yang dipimpin dengan baik, kemiskinan adalah sesuatu yang memalukan, sedangkan di negara yang dipimpin dengan buruk, kekayaan adalah sesuatu yang memalukan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar