Rabu, 31 Desember 2014

Darah Biru Golkar

Darah Biru Golkar

Rendy Pahrun Wadipalapa   ;   Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya

KOMPAS, 29 Desember 2014

                                                                                                                       


SEJAUH menyangkut genesis partai politik, nenek moyang kita tak pernah mewariskan apa-apa kepada kita ihwal pengetahuan kepartaian. Partai politik adalah sesuatu yang dikonstruksi dan dibentuk relatif baru, selain ia juga inovasi orisinal dari demokrasi modern pasca kemerdekaan. Sistemnya dirancang secara modern, anti feodal, dan mendambakan sirkulasi elite yang sehat.
Maka, tatkala keutuhan partai sebesar Golkar terancam robek karena regenerasi kepemimpinan yang dinilai payah, alarm harus dibunyikan karena itu artinya partai gagal melihat jernih dirinya dalam konteks politik modern.

Upaya mengusung kembali Aburizal Bakrie sebagai ketua umum—di tengah pelbagai sorotan atas kepemimpinan dan performa politiknya—dan berhasil, memancing implosi politik dari dalam partai beringin sendiri.

Regenerasi dan kaderisasi adalah dua kata mantra yang dilanggar oleh siasat elite yang hendak menahan status quo selama mungkin. Ringkas kata: idealnya tak ada ”darah biru” yang boleh diistimewakan dalam politik.

Kerugian

Golkar mungkin hanya salah satu contoh tentang rapuhnya partai-partai pemeran utama dalam kalender politik hari ini. Sirkulasi elite sering mencelakakan partai-partai pada situasi krisis, yang bukan hanya menyangkut kepemimpinan, melainkan juga menghubungkannya secara total dengan konsistensi ideologi dan gagasan yang ia bawa.

Ada beberapa kerugian mendasar dari dipeliharanya skema ”darah biru” atau sangre azul dalam politik. Pertama, skema ini hanya memberikan tangga naik bagi segelintir elite dalam lingkaran paling inti, dan tak diciptakan anak tangga turun.

Partai bukanlah pasar bebas, tetapi bukan pula berarti dibasmi segala gerakan sahih untuk suatu regenerasi. Kecemburuan dan pembusukan dari dalam adalah konsekuensi selanjutnya.

Itu sebabnya, kuasa Soeharto dan Cendana atas Golkar selama seperempat abad menciptakan pembusukan yang sukar dihapus dan menjadi cacat sejarah yang memengaruhi performa Golkar pada era Reformasi. Berapa kali pun buku putih dirilis untuk mencuci sejarah tampak sebagai usaha sia-sia.

Kedua, politik ala darah biru sekaligus menegaskan bahwa genealogi partai-partai pasca Orde Baru di Indonesia sesungguhnya warisan Orde Baru belaka. Mati-matian ilmuan politik membedakan antara pseudo-demokrasi era Soeharto dan masa kini; padahal kini kita tahu jika semua itu sekadar bertukar wajah.

Siasat sistematis untuk mengurung kepemimpinan politik dalam lingkaran tertentu adalah corak khusus dari rezim yang lalu. PDI-P dengan poros Megawati, Demokrat yang SBY-sentris, atau PPP yang berjuang setengah mati demi Suryadharma Ali adalah beberapa saja yang dihinggapi masalah serupa. Isu kepemimpinan seolah menjadi pemicu turbulensi abadi dengan motif sama: pemimpin petahana yang enggan turun gelanggang.

Ketiga, membuntu sirkulasi dan regenerasi elite berarti juga menjauhkan partai dari gerak progresif. Lagi-lagi kondisi demikian tak sesuai dengan takdir politik yang mengelola sekaligus menjalankan kekuasaan sebijak-bijaknya demi rakyat.
Kelompok lama dianggap terlampau lamban merespons keadaan dan menjawab tantangan karena mereka disibukkan pada konsolidasi ruling elite yang tiada habisnya. Sekalipun ada pergantian kepemimpinan, pergantian itu haruslah diselenggarakan di antara mereka yang sama-sama memiliki ”trah” atau restu yang diberikan kamitua pendahulunya. Tak ada bedanya antara pengganti dan yang diganti.

Resep ideologi

Ideologi mungkin disepelekan dalam politik hari ini. Ia dikerdilkan sebatas jargon dan bukan substansi. Tetapi, andai kita tak malas berkaca pada sejarah, resep paling andal untuk penyakit partai hari ini ada dalam ideologi.

Dunia pernah terpukau oleh pameran ideologi dalam partai-partai Indonesia pada dekade 50-an yang sepi dari konflik kepemimpinan internal partai.
Mereka sibuk merancang ideologi paling tepat bagi pembangunan negeri, bergotong royong menciptakan pemikir-pemikir macam Sjahrir atau Hatta.
Konflik yang terjadi pun pada gilirannya menjadi konflik bermutu tinggi, yaitu perdebatan tiada henti tentang gagasan-gagasan bernas, dari yang normatif dan mendasar, hingga yang paling konkret.

Politik, bagaimanapun, mendasarkan dirinya pada manusia, bukan institusi dan bukan struktur, sehingga memperjuangkan institusi dan mengeksklusikan manusia adalah sesat pikir.

Perpecahan yang terjadi akan membuat semua orang kembali meninjau arah dari partai, kesesuaian cita-cita, dan seterusnya. Andai tak sesuai, potensi perpecahan yang mulanya bisa dihitung menjadi menular dan menyebar hingga sukar dikalkulasi lagi risiko dan akibat-akibatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar