Darah Biru Golkar
Rendy Pahrun Wadipalapa ; Pengajar
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya
|
KOMPAS, 29 Desember 2014
SEJAUH
menyangkut genesis partai politik, nenek moyang kita tak pernah mewariskan
apa-apa kepada kita ihwal pengetahuan kepartaian. Partai politik adalah
sesuatu yang dikonstruksi dan dibentuk relatif baru, selain ia juga inovasi
orisinal dari demokrasi modern pasca kemerdekaan. Sistemnya dirancang secara
modern, anti feodal, dan mendambakan sirkulasi elite yang sehat.
Maka,
tatkala keutuhan partai sebesar Golkar terancam robek karena regenerasi
kepemimpinan yang dinilai payah, alarm harus dibunyikan karena itu artinya
partai gagal melihat jernih dirinya dalam konteks politik modern.
Upaya
mengusung kembali Aburizal Bakrie sebagai ketua umum—di tengah pelbagai
sorotan atas kepemimpinan dan performa politiknya—dan berhasil, memancing
implosi politik dari dalam partai beringin sendiri.
Regenerasi
dan kaderisasi adalah dua kata mantra yang dilanggar oleh siasat elite yang
hendak menahan status quo selama mungkin. Ringkas kata: idealnya tak ada
”darah biru” yang boleh diistimewakan dalam politik.
Kerugian
Golkar
mungkin hanya salah satu contoh tentang rapuhnya partai-partai pemeran utama
dalam kalender politik hari ini. Sirkulasi elite sering mencelakakan
partai-partai pada situasi krisis, yang bukan hanya menyangkut kepemimpinan,
melainkan juga menghubungkannya secara total dengan konsistensi ideologi dan
gagasan yang ia bawa.
Ada
beberapa kerugian mendasar dari dipeliharanya skema ”darah biru” atau sangre
azul dalam politik. Pertama, skema ini hanya memberikan tangga naik bagi
segelintir elite dalam lingkaran paling inti, dan tak diciptakan anak tangga
turun.
Partai
bukanlah pasar bebas, tetapi bukan pula berarti dibasmi segala gerakan sahih
untuk suatu regenerasi. Kecemburuan dan pembusukan dari dalam adalah
konsekuensi selanjutnya.
Itu
sebabnya, kuasa Soeharto dan Cendana atas Golkar selama seperempat abad
menciptakan pembusukan yang sukar dihapus dan menjadi cacat sejarah yang
memengaruhi performa Golkar pada era Reformasi. Berapa kali pun buku putih
dirilis untuk mencuci sejarah tampak sebagai usaha sia-sia.
Kedua,
politik ala darah biru sekaligus menegaskan bahwa genealogi partai-partai
pasca Orde Baru di Indonesia sesungguhnya warisan Orde Baru belaka.
Mati-matian ilmuan politik membedakan antara pseudo-demokrasi era Soeharto
dan masa kini; padahal kini kita tahu jika semua itu sekadar bertukar wajah.
Siasat
sistematis untuk mengurung kepemimpinan politik dalam lingkaran tertentu
adalah corak khusus dari rezim yang lalu. PDI-P dengan poros Megawati,
Demokrat yang SBY-sentris, atau PPP yang berjuang setengah mati demi
Suryadharma Ali adalah beberapa saja yang dihinggapi masalah serupa. Isu
kepemimpinan seolah menjadi pemicu turbulensi abadi dengan motif sama:
pemimpin petahana yang enggan turun gelanggang.
Ketiga,
membuntu sirkulasi dan regenerasi elite berarti juga menjauhkan partai dari
gerak progresif. Lagi-lagi kondisi demikian tak sesuai dengan takdir politik
yang mengelola sekaligus menjalankan kekuasaan sebijak-bijaknya demi rakyat.
Kelompok
lama dianggap terlampau lamban merespons keadaan dan menjawab tantangan
karena mereka disibukkan pada konsolidasi ruling elite yang tiada habisnya.
Sekalipun ada pergantian kepemimpinan, pergantian itu haruslah
diselenggarakan di antara mereka yang sama-sama memiliki ”trah” atau restu
yang diberikan kamitua pendahulunya. Tak ada bedanya antara pengganti dan
yang diganti.
Resep ideologi
Ideologi
mungkin disepelekan dalam politik hari ini. Ia dikerdilkan sebatas jargon dan
bukan substansi. Tetapi, andai kita tak malas berkaca pada sejarah, resep
paling andal untuk penyakit partai hari ini ada dalam ideologi.
Dunia
pernah terpukau oleh pameran ideologi dalam partai-partai Indonesia pada
dekade 50-an yang sepi dari konflik kepemimpinan internal partai.
Mereka
sibuk merancang ideologi paling tepat bagi pembangunan negeri, bergotong
royong menciptakan pemikir-pemikir macam Sjahrir atau Hatta.
Konflik
yang terjadi pun pada gilirannya menjadi konflik bermutu tinggi, yaitu
perdebatan tiada henti tentang gagasan-gagasan bernas, dari yang normatif dan
mendasar, hingga yang paling konkret.
Politik,
bagaimanapun, mendasarkan dirinya pada manusia, bukan institusi dan bukan
struktur, sehingga memperjuangkan institusi dan mengeksklusikan manusia
adalah sesat pikir.
Perpecahan
yang terjadi akan membuat semua orang kembali meninjau arah dari partai,
kesesuaian cita-cita, dan seterusnya. Andai tak sesuai, potensi perpecahan
yang mulanya bisa dihitung menjadi menular dan menyebar hingga sukar
dikalkulasi lagi risiko dan akibat-akibatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar