Trisula
Perangi Korupsi
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan
Utara
|
KOMPAS,
04 Desember 2014
BANGSA kita sejatinya memiliki
senjata trisula untuk memerangi kejahatan korupsi. Namun, senjata pamungkas
ini kurang ampuh karena ketajaman tiga mata pisaunya kurang padu. Pamor
trisula itu berjangkar pada otoritas kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Bagaimanakah trisula itu menjadi satu kekuatan besar dan bertaji?
Postur kabinet pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla dibangun oleh komitmen memilih sosok yang bersih dan
steril dari korupsi. Calon yang ditandai merah dan kuning oleh KPK tidak
dipilih presiden karena khawatir mengganggu kerja kabinet.
Begitu pula hasil analisis PPATK
soal perolehan harta dan analisis transaksi keuangan juga masuk penilaian.
Artinya, proses perekrutan menteri sudah berjalan selektif, integratif, dan
berorientasi pada perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas dari unsur
KKN.
Kesalehan pribadi yang dimiliki
para menteri tersebut tentu menjadi modalitas penting dalam melembagakan
kesalehan sebuah sistem. Sistem yang telah tercipta baik nantinya akan
bekerja dan secara otomatis menyingkirkan jaringan korupsi.
Salah satu perwujudan kesalehan
kelembagaan adalah pengetatan monitoring tata kelola keuangan di
kementerian/lembaga agar lebih transparan dan akuntabel.
Di ranah ini acap terjadi
maladministrasi akibat kelalaian/ketidaktahuan pejabat dalam melakukan
diskresi kewenangan. Perlu keterlibatan peran preventif KPK untuk menjelaskan
ranah kebijakan yang potensial dimejahijaukan.
Sistem integritas nasional atau
kajian-kajian di sejumlah kementerian/lembaga juga sudah dikirim ke
masing-masing kementerian untuk dijadikan pedoman.
Langkah preventif ini adalah
upaya besar agar idealisme kekuasaan eksekutif sebagai salah satu trisula
pemberantasan korupsi lebih imun dari serangan virus korupsi.
Namun, mengusung konsep
pemerintahan yang bersih tak cukup dengan menempatkan komposisi menteri berintegritas
tinggi. Di bawah menteri ada pejabat eselon I yang tak kalah strategis
jabatan dan perannya.
Posisi-posisi eselon yang
memegang jabatan krusial dan rentan dijangkiti korupsi, seperti direktur
jenderal pajak dan direktur-direktur di BUMN, harus diuji rekam jejaknya dan
diteliti harta kekayaannya sebagaimana halnya dilakukan kepada menteri
kabinet kerja.
Hal krusial lain sejatinya
terkait ketepatan presiden menggunakan hak prerogatifnya memilih Jaksa Agung.
Sayangnya, presiden telah menunjuk HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang
notabene berlatar belakang politisi.
Padahal, posisi Jaksa Agung
sangat penting dan strategis dalam supremasi hukum. Publik khawatir sosok
Jaksa Agung berlatar parpol tidak mampu bersikap independen.
Namun, nasi telah jadi bubur.
Meski penunjukan Jaksa Agung kontradiktif dibanding ketika memilih menteri,
mudah-mudahan Jaksa Agung yang baru menjadi salah satu bagian trisula
pemberantasan korupsi dengan tetap memegang teguh independensi dan menerapkan
hukum tanpa pandang bulu.
Pemurnian legislatif
Semangat mengasah kembali
ketajaman trisula kekuasaan juga harus diikuti oleh lembaga legislatif.
Sebagai lembaga yang menjalankan otoritas legislasi, DPR dipastikan tidak
menggerogoti atau membonsai kewenangan KPK melalui kerja-kerja politik
legislasi. Harapan ini wajar mengingat wacana mencabut ”nyawa” KPK kerap
terjadi.
Keseriusan KPK dalam proyeksi
pencegahan korupsi di DPR selayaknya disikapi dengan melakukan pemurnian
peran otentik lembaga politik.
Kader-kader partai dijaring dan
diisi oleh sosok berintegritas tinggi dan steril dari persoalan hukum. Begitu
pula semua sumber pendanaan partai juga harus dikelola secara transparan.
Saya sangat mengapresiasi
pemerintah yang menutup keran bercokolnya panji-panji koruptor di DPR.
Misalnya, ketika 48 anggota legislatif terpilih periode 2014-2019 tidak jadi
dilantik karena tersangkut korupsi. Tujuannya agar sistem dan pola perekrutan
pejabat tidak memberikan ruang bagi koruptor mengambil peran dalam
pemerintahan.
Korupsi di negeri tengah
memasuki situasi genting. Koruptor susul-menyusul ditangkap KPK bak mercon di
hari Lebaran. Silakan disimak data yang dihimpun Pusat Kajian Antikorupsi FH
UGM Yogyakarta.
Selama semester I-2014 saja
tercatat 86 pelaku korupsi dan 27 orang di antaranya pegawai daerah. ICW
mengalkulasi kerugian negara selama semester I tersebut mencapai Rp 3,7
triliun. Genting bukan?
Reformasi yudikatif
Tentu masyarakat memahami bahwa
institusi peradilan merupakan benteng terakhir penegakan hukum. Seserius apa
pun KPK dan dua trisula kekuasaan negara (eksekutif dan legislatif) dalam
memerangi korupsi, jika tidak didukung oleh komitmen yang baik dari lembaga
peradilan, pekerjaan itu akan sia-sia.
Karena itu, penguatan institusi
strategis di bidang hukum penting dilakukan. Keberpihakan hakim terhadap
penyelamatan uang negara ataupun kondisi keterpurukan sendi bernegara akibat
korupsi sangat dibutuhkan karena pengadilan menjadi tumpuan terakhir
pemberantasan korupsi.
Para koruptor harus divonis
berat agar memberikan efek jera. Jika perlu, cabut hak politiknya agar tak
lagi punya akses menduduki jabatan publik.
Memang hukum kita harus memiliki
patron. Kita punya Hakim Agung Artidjo Alkostar yang pernah mencabut hak
politik terpidana korupsi, Luthfi Hasan Ishaaq.
Melalui putusannya, Artidjo
seolah berseru kepada seluruh hakim agar jangan kalah dengan koruptor yang
telah membuat rakyat jatuh miskin.
Kita
berharap di era pemerintahan Joko Widodo, trisula pemberantasan korupsi lebih
tajam dan tak pandang bulu. Dengan demikian, kepaduan tuah trisula menjadi
berkah bagi bangsa untuk keluar dari cengkeraman gurita korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar