Sabtu, 06 Desember 2014

Trisula Perangi Korupsi

                                           Trisula Perangi Korupsi

Achmad Fauzi ;   Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
KOMPAS,  04 Desember 2014

                                                                                                                       


BANGSA kita sejatinya memiliki senjata trisula untuk memerangi kejahatan korupsi. Namun, senjata pamungkas ini kurang ampuh karena ketajaman tiga mata pisaunya kurang padu. Pamor trisula itu berjangkar pada otoritas kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bagaimanakah trisula itu menjadi satu kekuatan besar dan bertaji?

Postur kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dibangun oleh komitmen memilih sosok yang bersih dan steril dari korupsi. Calon yang ditandai merah dan kuning oleh KPK tidak dipilih presiden karena khawatir mengganggu kerja kabinet.

Begitu pula hasil analisis PPATK soal perolehan harta dan analisis transaksi keuangan juga masuk penilaian. Artinya, proses perekrutan menteri sudah berjalan selektif, integratif, dan berorientasi pada perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas dari unsur KKN.

Kesalehan pribadi yang dimiliki para menteri tersebut tentu menjadi modalitas penting dalam melembagakan kesalehan sebuah sistem. Sistem yang telah tercipta baik nantinya akan bekerja dan secara otomatis menyingkirkan jaringan korupsi.

Salah satu perwujudan kesalehan kelembagaan adalah pengetatan monitoring tata kelola keuangan di kementerian/lembaga agar lebih transparan dan akuntabel.

Di ranah ini acap terjadi maladministrasi akibat kelalaian/ketidaktahuan pejabat dalam melakukan diskresi kewenangan. Perlu keterlibatan peran preventif KPK untuk menjelaskan ranah kebijakan yang potensial dimejahijaukan.

Sistem integritas nasional atau kajian-kajian di sejumlah kementerian/lembaga juga sudah dikirim ke masing-masing kementerian untuk dijadikan pedoman.
Langkah preventif ini adalah upaya besar agar idealisme kekuasaan eksekutif sebagai salah satu trisula pemberantasan korupsi lebih imun dari serangan virus korupsi.

Namun, mengusung konsep pemerintahan yang bersih tak cukup dengan menempatkan komposisi menteri berintegritas tinggi. Di bawah menteri ada pejabat eselon I yang tak kalah strategis jabatan dan perannya.

Posisi-posisi eselon yang memegang jabatan krusial dan rentan dijangkiti korupsi, seperti direktur jenderal pajak dan direktur-direktur di BUMN, harus diuji rekam jejaknya dan diteliti harta kekayaannya sebagaimana halnya dilakukan kepada menteri kabinet kerja.

Hal krusial lain sejatinya terkait ketepatan presiden menggunakan hak prerogatifnya memilih Jaksa Agung. Sayangnya, presiden telah menunjuk HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang notabene berlatar belakang politisi.
Padahal, posisi Jaksa Agung sangat penting dan strategis dalam supremasi hukum. Publik khawatir sosok Jaksa Agung berlatar parpol tidak mampu bersikap independen.

Namun, nasi telah jadi bubur. Meski penunjukan Jaksa Agung kontradiktif dibanding ketika memilih menteri, mudah-mudahan Jaksa Agung yang baru menjadi salah satu bagian trisula pemberantasan korupsi dengan tetap memegang teguh independensi dan menerapkan hukum tanpa pandang bulu.

Pemurnian legislatif

Semangat mengasah kembali ketajaman trisula kekuasaan juga harus diikuti oleh lembaga legislatif. Sebagai lembaga yang menjalankan otoritas legislasi, DPR dipastikan tidak menggerogoti atau membonsai kewenangan KPK melalui kerja-kerja politik legislasi. Harapan ini wajar mengingat wacana mencabut ”nyawa” KPK kerap terjadi.

Keseriusan KPK dalam proyeksi pencegahan korupsi di DPR selayaknya disikapi dengan melakukan pemurnian peran otentik lembaga politik.
Kader-kader partai dijaring dan diisi oleh sosok berintegritas tinggi dan steril dari persoalan hukum. Begitu pula semua sumber pendanaan partai juga harus dikelola secara transparan.

Saya sangat mengapresiasi pemerintah yang menutup keran bercokolnya panji-panji koruptor di DPR. Misalnya, ketika 48 anggota legislatif terpilih periode 2014-2019 tidak jadi dilantik karena tersangkut korupsi. Tujuannya agar sistem dan pola perekrutan pejabat tidak memberikan ruang bagi koruptor mengambil peran dalam pemerintahan.

Korupsi di negeri tengah memasuki situasi genting. Koruptor susul-menyusul ditangkap KPK bak mercon di hari Lebaran. Silakan disimak data yang dihimpun Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM Yogyakarta.

Selama semester I-2014 saja tercatat 86 pelaku korupsi dan 27 orang di antaranya pegawai daerah. ICW mengalkulasi kerugian negara selama semester I tersebut mencapai Rp 3,7 triliun. Genting bukan?

Reformasi yudikatif

Tentu masyarakat memahami bahwa institusi peradilan merupakan benteng terakhir penegakan hukum. Seserius apa pun KPK dan dua trisula kekuasaan negara (eksekutif dan legislatif) dalam memerangi korupsi, jika tidak didukung oleh komitmen yang baik dari lembaga peradilan, pekerjaan itu akan sia-sia.
Karena itu, penguatan institusi strategis di bidang hukum penting dilakukan. Keberpihakan hakim terhadap penyelamatan uang negara ataupun kondisi keterpurukan sendi bernegara akibat korupsi sangat dibutuhkan karena pengadilan menjadi tumpuan terakhir pemberantasan korupsi.

Para koruptor harus divonis berat agar memberikan efek jera. Jika perlu, cabut hak politiknya agar tak lagi punya akses menduduki jabatan publik.
Memang hukum kita harus memiliki patron. Kita punya Hakim Agung Artidjo Alkostar yang pernah mencabut hak politik terpidana korupsi, Luthfi Hasan Ishaaq.

Melalui putusannya, Artidjo seolah berseru kepada seluruh hakim agar jangan kalah dengan koruptor yang telah membuat rakyat jatuh miskin.
Kita berharap di era pemerintahan Joko Widodo, trisula pemberantasan korupsi lebih tajam dan tak pandang bulu. Dengan demikian, kepaduan tuah trisula menjadi berkah bagi bangsa untuk keluar dari cengkeraman gurita korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar