Sejarah
Kelam Partai Golkar
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Desember 2014
PERTAMA kali dalam sejarah
Partai Golkar di era reformasi, pada Musyawarah Nasional (Munas) IX 2014 di
Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, 30 November-4 Desember 2014, hanya ada satu
calon ketua umum yang juga petahana, Aburizal Bakrie (ARB). Tak mengherankan
jika 547 pemilik suara pada munas itu secara aklamasi memilih kembali ARB
sebagai Ketua Umum Partai Golkar untuk periode 2014-2019. Awalnya, dari tujuh
calon penantang ARB, masih ada satu orang kader Golkar yang memberanikan diri
untuk tetap maju menjadi calon ketua umum, yakni Erlangga Hartarto.
Namun, karena adanya aturan tata
tertib yang dibuat secara tidak demokratis yang mengharuskan calon ketua umum
harus didukung minimal 30% pemilik suara yang hadir, Erlangga Hartarto mundur
dan membiarkan ARB sebagai calon tunggal. Sementara itu, enam calon ketua
umum lainnya--Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita,
Zainuddin Amali, Hajriyanto J Thohari, dan MS Hidayat--sudah mengundurkan
diri terlebih dahulu karena berbagai alasan, sebagian besar karena arena
munas memang disiapkan untuk memilih kembali ARB sebagai Ketua Umum Partai
Golkar dengan cara apa pun.
Munas IX Partai Golkar memang
amat berbeda dengan munas-munas sebelumnya di era reformasi. Pada Munas Luar
Biasa (Munaslub) Golkar 9-11 Juli 1998, misalnya yang mengesahkan perubahan
nama Golkar menjadi Partai Golkar agar citranya yang buruk sebagai pendukung
rezim otoriter Soeharto berkurang, Akbar Tandjung terpilih sebagai Ketua Umum
Partai Golkar 1998-2003 secara demokratis mengalahkan Jenderal Edi
Sudrajat.Pada Munas VII Partai Golkar di Bali, Desember 2004, Jusuf Kalla
terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar 2004-2009 mengalahkan Akbar
Tandjung.Pada Munas VIII Partai Golkar di Riau, Oktober 2009, Aburizal Bakrie
terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2009-2014 mengalahkan Surya
Paloh.
Catatan menarik lainnya, sejak
era reformasi Golkar juga diwarnai perpecahan demi perpecahan. Setelah kalah
dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pada 1998, Edi Sudrajat mendirikan
Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang kemudian menjadi PKPI yang kini
dipimpin mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.Menjelang Pemilu 2004, kader
Golkar R Hartono yang juga mantan KSAD mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa
(PKPB).Pasca-Pemilu 2004, mantan capres 2004 dari Partai Golkar Jenderal
Wiranto mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Prabowo Subianto yang gagal
terpilih menjadi capres dari Partai Golkar pada konvensi 2004 mendirikan
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).Surya Paloh juga mendirikan awalnya
Ormas Nasional Demokrat (Ormas NasDem) yang kemudian menjadi Partai NasDem.
Di era Orde Baru, semua Ketua
Umum Partai Golkar tidak dipilih secara demokratis, tetapi bergantung pada
blessing Ketua Dewan Pembina Golkar yang ialah Presiden Republik Indonesia
Soeharto.
Munas Golkar dan KMP
Kemenangan ARB pada Munas IX
Golkar di Bali ditentukan beberapa hal. Pertama, kelompok oligarki Partai
Golkar yang dekat dengan ketua umum tidak mau nasib politik mereka
terombang-ambing jika ARB tidak terpilih kembali menjadi Ketua Umum Partai
Golkar. Karena itu, mereka bersatu padu untuk memenangkan ARB sebagai ketua
umum dengan cara apa pun, persuasif ataupun paksaan terhadap mereka yang
memiliki suara pada munas, yaitu para ketua dan sekretaris DPD I dan II
Partai Golkar.
Cara manipulatif mereka lakukan
dengan membuat aturan tata tertib munas yang ibarat tempat bertanding tinju,
tidak memberikan ruang bagi para penantangnya untuk dapat melenggang ke ring
tinju. Secara persuasif para petinggi Golkar daerah juga diimingimingi
dukungan untuk tetap menjadi pengurus daerah Partai Golkar, menjadi calon
bupati atau gubernur, atau jabatan politik lainnya di tingkat lokal. Secara
koersif atau paksaan, mereka yang tidak mendukung ARB dipecat dari jabatan
masing-masing dengan alasan apa pun.
Kedua, ARB dan pendukungnya
berupaya meyakinkan para pemilik suara dari daerah bahwa Golkar akan tetap
berada di Koalisi Merah Putih (KMP). Di satu sisi, itu bertujuan mendapatkan
dukungan dari teman-teman koalisi KMP agar tetap mendukung ARB sebagai Ketua
Umum Golkar dengan alasan bahwa jika Ketua Umum Golkar bukan ARB, KMP akan
hancur. Di sisi lain, posisi ARB sebagai Ketua Presidium KMP dipropagandakan
kepada para pemilik suara daerah sebagai posisi yang menguntungkan.
Sikap Golkar yang menolak Perppu
No 1/2014 mengenai pemilihan kepala daerah langsung dipropagandakan akan
menguntungkan para pengurus Golkar daerah yang ingin maju menjadi calon
kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Padahal, kita
tahu bahwa belum tentu semua partai di KMP akan menolak Perppu Pilkada
Langsung, misalnya Partai Demokrat dan Partai Gerindra yang mungkin tidak
akan menolak perppu tersebut.Selain itu, Partai Demokrat sulit untuk
menolaknya karena perppu tersebut dibuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai pengganti UU Pilkada melalui DPRD yang menghebohkan tersebut.
Ketiga, ARB dan pendukungnya
berupaya meyakinkan para pengurus daerah Partai Golkar bahwa jika ARB
terpilih kembali, kader-kader muda Partai Golkar akan mendapatkan
tempattempat terhormat di DPP Partai Golkar dan akan mendapatkan kesempatan
untuk menjadi capres atau cawapres.
Tiga cara tersebut, selain
politik uang yang juga merebak pada Munas IX Golkar ini berselimut anggaran
untuk transportasi dan hotel, menyebabkan ARB tidak memiliki tandingan.
Konflik yang tak kunjung usai
Berbeda dengan munas-munas
sebelumnya yang walaupun terjadi konflik, langsung terjadi konsolidasi
partai, Munas IX ini bukan mustahil akan menimbulkan konflik berkepan jangan.
Pertama, sampai saat ini Kantor DPP Partai Golkar di bilangan Slipi, Jakarta,
masih diduduki Yorrys Raweyai dan anak buahnya yang merupakan bagian dari
Presidium Penyelamat Partai Golkar (P3G).
P3G juga sudah memecat ARB
sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Kedua, Ketua Pelaksana Munas Golkar Bali,
Nurdin Halid, sudah mengumumkan pemecatan beberapa kader Golkar yang menjadi
pengurus P3G, antara lain Agung Laksono, Priyo Budi santoso, Melkias Mekeng,
Yorrys Raweyai, dan Agun Gunanjar. Saling pecat di antara kader Golkar
tentunya akan memperuncing perseteruan antarelite Partai Golkar. Satu hal
yang aneh pula, mereka yang dipecat tersebut di antaranya ialah ketua tiga
kelompok induk organisasi (kino) yang menjadi cikal bakal Golkar pada
1957-1966.
Di usia ke-50 Partai Golkar,
partai itu tidak menunjukkan demokrasi internal yang apik, tetapi
memperpanjang daftar konflik yang terjadi di partai beringin itu sejak 1998.
Ini akan menjadi taruhan politik besar apakah Partai Golkar akan tetap
menjadi partai besar ataukah partai menengah pada Pemilu 2019 mendatang.
Pemilu
2019 merupakan pemilu serempak untuk memilih presiden/wakil presiden dan
anggota legislatif. Bila konsolidasi di Partai Golkar berjalan baik lima
tahun ke depan dan Golkar memiliki capres atau cawapres dengan elektabilitas
tinggi pada Pemilu 2019, Golkar akan tetap bertahan sebagai partai besar.
Namun, jika konsolidasi Golkar gagal, KMP makin melemah, dan tak ada kader
Golkar yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai capres, bukan mustahil
Golkar akan menjadi partai guram setelah Pemilu 2019. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar