Laporan Akhir Tahun Politik, Hukum, dan Keamanan
Tancap Gas di
Sektor Migas
Aris Prasetyo ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
16 Desember 2014
ADA
harapan sektor energi akan tumbuh saat pegiat transparansi dan anti korupsi
menduduki posisi penting sektor energi, terutama di sektor minyak dan gas
bumi. Sektor ini adalah yang paling penting di antara sumber energi lain.
Pasalnya, triliunan rupiah uang mengalir di sektor minyak dan gas bumi serta
amat rawan terjadi manipulasi dan korupsi.
Sudirman
Said ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), sebuah jabatan kementerian yang disebut-sebut sebagai salah
satu kementerian paling strategis. Pria 51 tahun ini berlatar belakang
akuntan dan pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia, organisasi yang
bergiat di bidang anti korupsi. Tak lama penunjukannya sebagai menteri pun ia
langsung melakukan gebrakan.
Menjabat
Menteri ESDM sejak 26 Oktober lalu, Sudirman langsung mencopot Direktur
Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Edy Hermantoro pada hari kesembilan ia
bekerja sebagai menteri.
Gebrakan
lain, belum genap sebulan bekerja, Sudirman membentuk Tim Reformasi Tata
Kelola Migas dengan menunjuk Faisal Basri sebagai ketua. Tim ini dibentuk
dengan tujuan memutus mata rantai mafia migas.
Posisi
strategis lainnya di lingkungan ESDM adalah penunjukan Amien Sunaryadi
sebagai Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (SKK) Migas.
Apakah
latar belakang orang-orang tersebut sudah cukup menjanjikan? Belum ada yang
bisa menjawab. Tak adil rasanya menilai kinerja mereka yang belum seumur
jagung. Namun, setidaknya ada asa yang tumbuh dengan penunjukan beberapa nama
tersebut, terutama niat pemerintah untuk memberantas atau mempersempit
pergerakan mafia migas.
Di
sektor migas, tantangan pemerintah adalah menaikkan produksi minyak siap jual
(lifting) dalam negeri yang terus
merosot saat terakhir kali mencapai puncak produksi 1,6 juta barrel per hari
(bph) pada 1977 atau 37 tahun lalu. Saat ini, produksi minyak nasional
sekitar 800.000 bph. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional rasanya (lagi-lagi) bakal tak
terealisasi.
Bahkan,
target produksi minyak tahun depan sebesar 900.000 bph pun ditanggapi sinis
oleh sebagian kalangan. Bisa menyentuh 845.000 bph saja sudah istimewa,
begitu kata mereka. Padahal, kebutuhan bahan bakar minyak harian nasional
mencapai 1,5 juta-1,6 juta bph sehingga kekurangan itu harus diimpor.
Pelaku
usaha di sektor migas mendesak pemerintah meringkas pengurusan perizinan
untuk kegiatan eksplorasi ataupun eksploitasi. Ratusan perizinan dan
keruwetan birokrasi yang selama ini telah lazim terjadi menyebabkan perlu
waktu bertahun-tahun untuk bisa mengantongi seluruh izin tersebut. Mereka
juga meminta pemerintah mengoreksi lagi pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
untuk eksplorasi dan eksploitasi migas di lepas pantai yang dirasa
memberatkan.
Pemangkasan
izin dan mempermudah investasi bagi investor akan menciptakan iklim yang
baik. Investor tentu akan bersemangat berinvestasi di Indonesia, apalagi jika
didukung dengan berbagai insentif. Tentu saja itu akan berdampak terhadap
potensi naiknya penemuan cadangan baru migas di Indonesia yang ujung-ujungnya
diharapkan mampu mendongkrak produksi dalam negeri.
Minerba, listrik, dan energi
terbarukan
Persoalan
di sektor energi tak melulu soal migas. Masih ada masalah lain yang menuntut
perhatian pemerintah, yaitu sektor mineral dan batubara (minerba), sektor
energi baru terbarukan, serta listrik. Fokus pemerintah pada awal kinerja
mereka di sektor migas hendaknya tidak mengurangi perhatian dan abai terhadap
tiga sektor lainnya tersebut.
Di
sektor minerba, misalnya. Pemerintah punya ”utang” untuk segera menuntaskan
masalah renegosiasi terhadap perusahaan pemegang kontrak karya (KK) dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Dari 107
perusahaan pemegang KK dan PKP2B, baru satu perusahaan yang menyepakati
renegosiasi. Padahal, sebelumnya ditargetkan penyelesaian seluruh renegosiasi
bisa rampung tahun ini.
Renegosiasi
merupakan amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Renegosiasi memuat enam hal, yaitu wilayah kerja, kelanjutan operasi
pertambangan, penerimaan negara, kewajiban pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri, divestasi,
serta penggunaan tenaga kerja lokal, barang, dan jasa di dalam negeri.
Semangat
dari renegosiasi adalah meningkatkan nilai tambah hasil tambang lewat
kewajiban pembangunan smelter serta pemakaian barang dan jasa di dalam
negeri. Selain itu, perubahan status kontrak menjadi izin usaha pertambangan
akan memudahkan kontrol negara,
dalam
hal ini pemerintah, terhadap perusahaan tambang. Jika perusahaan melanggar
ketentuan, izin bisa dicabut sewaktu-waktu.
Nyatanya,
tak mudah membuat perusahaan pemegang KK dan PKP2B untuk patuh menandatangani
renegosiasi itu. Persoalan pembangunan smelter ataupun divestasi adalah hal
yang dianggap memberatkan. Di samping itu, penciutan wilayah kerja berdampak
berkurangnya cadangan tambang mereka, yang berarti menurun pula pendapatan
perusahaan.
Beralih
ke sektor energi baru terbarukan. Sektor ini meliputi energi yang bersumber
dari angin, air, matahari, biomassa, dan panas bumi. Dalam berbagai
kesempatan, pemerintah mengatakan bahwa potensinya amat besar. Potensi panas
bumi sebesar 29.000 megawatt, tenaga air mencapai 75.000 megawatt, dan
potensi biomassa sebesar 32.600 megawatt.
Sayang,
potensi besar tersebut belum optimal pemanfaatannya. Berdasarkan data yang
dilaporkan Dewan Energi Nasional, pemakaian energi baru terbarukan masih 5
persen dari seluruh bauran energi nasional saat ini. Pada 2025, pemakaian
energi tersebut didorong sampai 23 persen dan menjadi 31 persen atau yang
terbesar pada 2050 di seluruh bauran energi.
Permasalahan lain di bidang energi adalah tenaga listrik. Tantangan
pemerintah adalah bagaimana dapat mempercepat pertumbuhan pembangkit listrik
untuk mengejar tingginya kebutuhan energi listrik dalam negeri. Lagi-lagi,
persoalan pembangunan pembangkit direcoki oleh rumit dan lamanya pembebasan
lahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar