Senin, 08 Desember 2014

Setop Alih Fungsi Lahan Pertanian

                           Setop Alih Fungsi Lahan Pertanian

Diah Ratnadewi  ;   Dosen Biologi Tumbuhan Pascasarjana
Departemen Biologi FMIPA IPB
MEDIA INDONESIA, 06 Desember 2014

                                                                                                                       


DALAM implementasi Nawa Cita, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan untuk mengurangi impor pangan dengan membuka lahan pertanian baru dan sekaligus sistem irigasinya yang dimulai dengan membangun puluhan waduk di berbagai daerah. Untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia yang laju pertumbuhannya 1,3% per tahun, setidaknya perlu tambahan lahan pertanian baru sekitar 100 ribu hektare (ha) untuk tanaman pangan setiap tahunnya.Sementara itu, untuk bisa menjadi eksportir pangan tropis, diperlukan tambahan luas lahan pertanian baru 200 ribu ha per tahun.Kepala Balitbang Kementerian Pertanian Haryono yang menargetkan perluasan lahan pertanian pangan seluas 1 juta ha di 2015 semoga dapat direalisasikan.

Dalam trimester pertama 2014, Indonesia mengimpor pangan senilai US$2,77 miliar (sekitar Rp33,24 triliun). Bahan pangan yang terbesar diimpor meliputi beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, cabai, bawang merah, dan garam. Untuk sayur dan buah segar saja, dalam kurun waktu Januari-Juli 2013 (Finance.detik.com, September 2013), impor totalnya bernilai US$404,6 juta yang dipasok dari berbagai negara. BPS mencatat nilai impor produk pertanian melonjak 346% selama masa 10 tahun sejak 2003 hingga 2013.

Padahal wilayah daratan negara kita membentang seluas 5.193.250 km2, terluas ketujuh dunia setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Australia? Apa yang kurang dengan kondisi iklim dan alam yang kita miliki, yang memungkinkan tanaman tumbuh sepanjang tahun dan yang memungkinkan petani bekerja sepanjang musim? Apa kurangnya luasan lahan subur yang dianugerahkan Tuhan kepada tanah air kita? Salah satu sebab mengapa Indonesia mengimpor sebagian besar bahan pangan pokok ialah luasan lahan pertanian pangan kita semakin merosot dari waktu ke waktu. Lahan produktif tanaman pangan selama 16 tahun terakhir ini pelan tapi pasti dialihfungsikan untuk kepentingan komersial.

Peta kesesuaian

Sejatinya setiap jenis tanaman memiliki kebutuhannya sendiri akan kondisi tanah dan iklim mikro. Ketika bangsa Belanda datang ke Nusantara, mereka menemukan kawasan `surgawi', tempat hampir segala jenis tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan dengan sangat baik. Implementasi dari survei dan penelitian tersebut direalisasikan pada 1830, ketika Gubernur Jenderal van den Bosch menerapkan sistem budi daya atau cultuur stelsel. Walaupun menurut sejarah sistem yang diterapkan Belanda itu menyengsarakan rakyat Indonesia ketika itu, patut diakui bahwa bangsa Belanda memanfaatkan lahan subur kita dengan sangat mengagumkan. Itulah yang kemudian kita kenal pewilayahan pertanian/perkebunan, misalnya daerah perkebunan karet di tanah Sumatra, tebu di Jawa, teh, tembakau, kopi di dataran-dataran tinggi tertentu, cokelat, kelapa, kapuk randu di wilayah terpilih lainnya; demikian pula pertanian pangan padi, kentang, sayuran, bawang merah, kedelai, dan kacang tanah. Hindia Belanda kemudian dikenal sebagai pemasok berbagai hasil pertanian dan perkebunan tropis kepada dunia.

Kini, setelah 69 tahun merdeka, kita malahan menjadi negara pengimpor hasil pertanian/perkebunan untuk pangan dan industri. Swasembada beras bahkan ekspor beras hanya pernah kita alami beberapa tahun saja di era 1980-an. Perhatian dan kerja keras Presiden Soeharto dalam hal ini layak diacungi jempol. Di dalam tujuh kali Repelitanya, beliau fokus pada pengembangan pertanian.

Namun, lahan sawah beririgasi yang dibangun dengan dana pinjaman luar negeri kala itu kini rusak terbengkalai. Lahanlahan pertanian subur bahkan ramai-ramai dialihfungsikan pemegang kekuasaan. Pemerintah daerah yang memegang otonomi daerah lebih besar sejak era reformasi berlomba-lomba menggusur lahan pertanian demi mendapatkan nilai ekonomi yang lebih besar. UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan bertujuan melindungi keberadaan lahan pangan; pembukaan areal pertanian baru yang luas dari tanah negara yang diberikan kepada para petani guram (reforma agraria). UU itu diharapkan bisa mengerem laju konversi lahan, tetapi nyatanya masih banyak diabaikan tanpa adanya law enforcement ketika terjadi alih fungsi lahan-lahan pertanian produktif menjadi lahan nonpertanian.

Contoh negara maju

Di negara Eropa seperti Belanda dan Jerman, UU negara tidak mengizinkan alih fungsi lahan pertanian. Keluarga petani tidak boleh menjual lahan pertanian untuk penggunaan lain, dengan dalih apa pun. Pemerintahnya memberikan berbagai insentif kepada keluarga petani agar mereka bersedia tetap bekerja di bidang pertanian, misalnya dengan memperbaiki sarana prasarana pertanian, memberikan kredit lunak untuk meningkatkan mutu produknya sehingga dapat bersaing di pasar dunia yang semakin menuntut, memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak petani untuk belajar tentang pertanian secara modern. Melanggar hak asasikah? Bisa dibilang demikian, tetapi itulah fungsi negara. Siapa pun yang memegang kuasa di pemerintahan wajib melaksanakannya, mengatur berdasarkan UU. Namun, petani tidak ditinggalkan begitu saja. Mereka mendapatkan dukungan penuh untuk hidup sama sejahteranya dengan rakyat lainnya yang bekerja di sektor nonpertanian.

Di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE), penyusutan jumlah keluarga petani juga cenderung meningkat, seperti terjadi di Indonesia. Namun, sejak pertengahan 1980-an, UE menyepakati paket bantuan kredit lunak bagi generasi muda (usia kurang dari 40 tahun) untuk memulai dan/atau memantapkan usaha taninya (sumber: CAP Reform.eu, 2013). Di semua negara yang sukses di bidang pertanian, luas lahan pengusahaan per keluarga petani meningkat. Di Belanda, sebelum PD II rata-rata luas usaha taninya 14 ha, kini menjadi 80 ha. Negeri itu merupakan eksportir utama produk pertanian di Eropa, lebih unggul daripada Prancis dan Spanyol yang wilayahnya lebih luas.

Di Indonesia, sudah cukup lama pertanian tidak lagi menarik sebagai bidang usaha karena penghasilan yang didapat tidak sebanding dengan daya upaya yang diberikan. Hal tersebut ditambah dengan gencarnya penggusuran lahan pertanian produktif sehingga luas penguasaan lahan pertanian pangan kian sempit, rata-rata 0,3 ha per keluarga (Sensus Pertanian 2013). Tercatat laju konversi lahan pertanian pangan produktif sebesar 100 ribu ha per tahun, menjadi kawasan niaga, perumahan, jalan, lapangan golf, dan kawasan industri. 

Lalu lahan pertanian dicoba digeser ke wilayah baru dengan memanfaatkan lahan tidur atau melakukan pembukaan hutan. Padahal, untuk itu, investasi yang sangat tinggi masih diperlukan sampai lahan semacam itu (kering, masam, salin, miskin hara, dan bekas tambang) dapat ditanami dan memberikan hasil yang memadai. Di lahan-lahan marginal itu tanaman tidak akan memberikan hasil panen yang lebih baik jika dibandingkan dengan di tanah pertanian subur.

Untuk mengupayakan tercapainya kedaulatan pangan, pemerintah harus menyadari bahwa ekstensifikasi dengan membuka lahan pertanian baru perlu segera dilaksanakan karena intensifikasi pertanian mengalami kejenuhan. Namun, apabila kebijakan zero alih fungsi lahan pertanian tidak dilaksanakan secara ketat, masalah yang sama akan berulang. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk memaksanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar