Setop
Alih Fungsi Lahan Pertanian
Diah Ratnadewi ; Dosen Biologi Tumbuhan Pascasarjana
Departemen Biologi FMIPA IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Desember 2014
DALAM implementasi Nawa Cita,
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan untuk mengurangi
impor pangan dengan membuka lahan pertanian baru dan sekaligus sistem
irigasinya yang dimulai dengan membangun puluhan waduk di berbagai daerah.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia yang laju
pertumbuhannya 1,3% per tahun, setidaknya perlu tambahan lahan pertanian baru
sekitar 100 ribu hektare (ha) untuk tanaman pangan setiap tahunnya.Sementara
itu, untuk bisa menjadi eksportir pangan tropis, diperlukan tambahan luas
lahan pertanian baru 200 ribu ha per tahun.Kepala Balitbang Kementerian
Pertanian Haryono yang menargetkan perluasan lahan pertanian pangan seluas 1
juta ha di 2015 semoga dapat direalisasikan.
Dalam trimester pertama 2014,
Indonesia mengimpor pangan senilai US$2,77 miliar (sekitar Rp33,24 triliun).
Bahan pangan yang terbesar diimpor meliputi beras, jagung, kedelai, gula,
daging sapi, cabai, bawang merah, dan garam. Untuk sayur dan buah segar saja,
dalam kurun waktu Januari-Juli 2013 (Finance.detik.com,
September 2013), impor totalnya bernilai US$404,6 juta yang dipasok dari
berbagai negara. BPS mencatat nilai impor produk pertanian melonjak 346%
selama masa 10 tahun sejak 2003 hingga 2013.
Padahal wilayah daratan negara
kita membentang seluas 5.193.250 km2, terluas ketujuh dunia setelah Rusia,
Kanada, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Australia? Apa yang kurang dengan
kondisi iklim dan alam yang kita miliki, yang memungkinkan tanaman tumbuh
sepanjang tahun dan yang memungkinkan petani bekerja sepanjang musim? Apa
kurangnya luasan lahan subur yang dianugerahkan Tuhan kepada tanah air kita?
Salah satu sebab mengapa Indonesia mengimpor sebagian besar bahan pangan
pokok ialah luasan lahan pertanian pangan kita semakin merosot dari waktu ke
waktu. Lahan produktif tanaman pangan selama 16 tahun terakhir ini pelan tapi
pasti dialihfungsikan untuk kepentingan komersial.
Peta kesesuaian
Sejatinya setiap jenis tanaman
memiliki kebutuhannya sendiri akan kondisi tanah dan iklim mikro. Ketika
bangsa Belanda datang ke Nusantara, mereka menemukan kawasan `surgawi',
tempat hampir segala jenis tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan dengan
sangat baik. Implementasi dari survei dan penelitian tersebut direalisasikan
pada 1830, ketika Gubernur Jenderal van den Bosch menerapkan sistem budi daya
atau cultuur stelsel. Walaupun menurut sejarah sistem yang diterapkan Belanda
itu menyengsarakan rakyat Indonesia ketika itu, patut diakui bahwa bangsa
Belanda memanfaatkan lahan subur kita dengan sangat mengagumkan. Itulah yang
kemudian kita kenal pewilayahan pertanian/perkebunan, misalnya daerah
perkebunan karet di tanah Sumatra, tebu di Jawa, teh, tembakau, kopi di
dataran-dataran tinggi tertentu, cokelat, kelapa, kapuk randu di wilayah
terpilih lainnya; demikian pula pertanian pangan padi, kentang, sayuran,
bawang merah, kedelai, dan kacang tanah. Hindia Belanda kemudian dikenal
sebagai pemasok berbagai hasil pertanian dan perkebunan tropis kepada dunia.
Kini, setelah 69 tahun merdeka,
kita malahan menjadi negara pengimpor hasil pertanian/perkebunan untuk pangan
dan industri. Swasembada beras bahkan ekspor beras hanya pernah kita alami
beberapa tahun saja di era 1980-an. Perhatian dan kerja keras Presiden
Soeharto dalam hal ini layak diacungi jempol. Di dalam tujuh kali
Repelitanya, beliau fokus pada pengembangan pertanian.
Namun, lahan sawah beririgasi
yang dibangun dengan dana pinjaman luar negeri kala itu kini rusak
terbengkalai. Lahanlahan pertanian subur bahkan ramai-ramai dialihfungsikan
pemegang kekuasaan. Pemerintah daerah yang memegang otonomi daerah lebih
besar sejak era reformasi berlomba-lomba menggusur lahan pertanian demi
mendapatkan nilai ekonomi yang lebih besar. UU No 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan bertujuan melindungi keberadaan
lahan pangan; pembukaan areal pertanian baru yang luas dari tanah negara yang
diberikan kepada para petani guram (reforma agraria). UU itu diharapkan bisa
mengerem laju konversi lahan, tetapi nyatanya masih banyak diabaikan tanpa
adanya law enforcement ketika terjadi
alih fungsi lahan-lahan pertanian produktif menjadi lahan nonpertanian.
Contoh negara maju
Di negara Eropa seperti Belanda
dan Jerman, UU negara tidak mengizinkan alih fungsi lahan pertanian. Keluarga
petani tidak boleh menjual lahan pertanian untuk penggunaan lain, dengan
dalih apa pun. Pemerintahnya memberikan berbagai insentif kepada keluarga
petani agar mereka bersedia tetap bekerja di bidang pertanian, misalnya
dengan memperbaiki sarana prasarana pertanian, memberikan kredit lunak untuk
meningkatkan mutu produknya sehingga dapat bersaing di pasar dunia yang
semakin menuntut, memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak petani untuk
belajar tentang pertanian secara modern. Melanggar hak asasikah? Bisa
dibilang demikian, tetapi itulah fungsi negara. Siapa pun yang memegang kuasa
di pemerintahan wajib melaksanakannya, mengatur berdasarkan UU. Namun, petani
tidak ditinggalkan begitu saja. Mereka mendapatkan dukungan penuh untuk hidup
sama sejahteranya dengan rakyat lainnya yang bekerja di sektor nonpertanian.
Di negara-negara yang tergabung
dalam Uni Eropa (UE), penyusutan jumlah keluarga petani juga cenderung
meningkat, seperti terjadi di Indonesia. Namun, sejak pertengahan 1980-an, UE
menyepakati paket bantuan kredit lunak bagi generasi muda (usia kurang dari
40 tahun) untuk memulai dan/atau memantapkan usaha taninya (sumber: CAP Reform.eu, 2013). Di semua
negara yang sukses di bidang pertanian, luas lahan pengusahaan per keluarga
petani meningkat. Di Belanda, sebelum PD II rata-rata luas usaha taninya 14
ha, kini menjadi 80 ha. Negeri itu merupakan eksportir utama produk pertanian
di Eropa, lebih unggul daripada Prancis dan Spanyol yang wilayahnya lebih
luas.
Di Indonesia, sudah cukup lama
pertanian tidak lagi menarik sebagai bidang usaha karena penghasilan yang
didapat tidak sebanding dengan daya upaya yang diberikan. Hal tersebut
ditambah dengan gencarnya penggusuran lahan pertanian produktif sehingga luas
penguasaan lahan pertanian pangan kian sempit, rata-rata 0,3 ha per keluarga
(Sensus Pertanian 2013). Tercatat
laju konversi lahan pertanian pangan produktif sebesar 100 ribu ha per tahun,
menjadi kawasan niaga, perumahan, jalan, lapangan golf, dan kawasan industri.
Lalu lahan pertanian dicoba digeser ke wilayah baru dengan memanfaatkan lahan
tidur atau melakukan pembukaan hutan. Padahal, untuk itu, investasi yang
sangat tinggi masih diperlukan sampai lahan semacam itu (kering, masam,
salin, miskin hara, dan bekas tambang) dapat ditanami dan memberikan hasil
yang memadai. Di lahan-lahan marginal itu tanaman tidak akan memberikan hasil
panen yang lebih baik jika dibandingkan dengan di tanah pertanian subur.
Untuk
mengupayakan tercapainya kedaulatan pangan, pemerintah harus menyadari bahwa
ekstensifikasi dengan membuka lahan pertanian baru perlu segera dilaksanakan
karena intensifikasi pertanian mengalami kejenuhan. Namun, apabila kebijakan
zero alih fungsi lahan pertanian tidak dilaksanakan secara ketat, masalah
yang sama akan berulang. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk memaksanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar