Senin, 08 Desember 2014

Pertaruhan Kiblat Demokrasi

                                   Pertaruhan Kiblat Demokrasi

Hasibullah Satrawi  ;   Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida), Jakarta
MEDIA INDONESIA, 06 Desember 2014

                                                                                                                       


TINGGINYA tensi politik nasional pada saat dan pasca-Pemilihan Presiden 2014 membuat kita semua menahan `napas'. Harapan, kekhawatiran, dan kecemasan terkait dengan keberlanjutan hidup berbangsa dan bernegara acap bercampur aduk di tengah pertarungan politik yang nyaris kehilangan akal sehat. Paling tidak demikian yang dirasakan penulis.Kini, setelah semuanya sejatinya menjadi normal kembali, campur aduk perasaan seperti itu justru masih bertahan. Hal tersebut terjadi karena pertarungan politik yang tak terkendali masih terus berkelanjutan, menggiring negeri ini ke tepi jurang perpecahan dan keterbelahan.

Apa yang belakangan terjadi di gedung parlemen dapat dijadikan sebagai salah satu bukti nyata dari apa yang telah disampaikan.Untuk pertama kalinya sejak era reformasi, parlemen kita dibelah menjadi dua antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. Begitu juga dengan perpecahan di tubuh sebagian partai politik (parpol). Sangat ironis karena pertarungan politik yang sampai pada tahap hancur-hancuran seperti ini acap diatasnamakan demi Merah Putih dan Indonesia Hebat.

Kiblat demokrasi

Bila dilihat dari perspektif demokrasi, apa yang belakangan dipertontonkan di jagat politik nasional dapat disebut sebagai kemunduran berdemokrasi. Mengingat esensi demokrasi tak lain ialah komitmen atas asas musyawarah, menjaga persaudaraan, dan mempertahankan kebersamaan di tengah aneka macam perbedaan atau bahkan pertarungan secara politik.

Ini sungguh terasa sangat menyesakkan mengingat kemunduran demokrasi seperti sekarang ini terjadi hanya beberapa saat setelah demokrasi Indonesia mendapatkan apresiasi dari banyak negara di dunia, khususnya pada pemerintahan SBY. Setidaktidaknya karena dalam 10 tahun terakhir, proses transisi pemerintahan berjalan secara lancar dan teratur, nyaris tanpa adanya gejolak yang berarti.

Dalam hemat penulis, suka atau tidak, inilah salah satu warisan SBY yang paling berharga bagi Republik ini. Benar bahwa dalam satu dasawarsa terakhir masih terdapat kekurangan di sana-sini, seperti pemerataan ekonomi, penegakan hukum, tingginya kasus korupsi, tingginya aksi intoleransi yang bercorak keagamaan, bahkan aksi-aksi terorisme juga masih kerap terjadi.

Kekurangan-kekurangan itulah yang membuat negara-negara lain masih `memandang sebelah mata' demokrasi di Indonesia selama ini. Negara-negara maju, contohnya, kerap mempersoalkan persoalan intoleransi dan kerukunan umat beragama yang masih bermasalah dalam 10 tahun terakhir.Begitu juga dengan persoalan kemiskinan dan ketersediaan lapangan kerja yang salah satunya tergambar jelas dari banyaknya anak bangsa yang harus bekerja di negeri orang, termasuk di sebagian negara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti di negara-negara Arab Teluk.

Namun, sejumlah kekurangan yang ada seperti tadi disebutkan tidak secara otomatis menghapus kemajuan-kemajuan yang juga terjadi. Setidak-tidaknya kemajuan dalam bentuk proses demokratisasi dan transisi pemerintahan yang berjalan secara teratur tanpa adanya korban jiwa, sebagaimana telah disampaikan. Kemajuan demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir akan sangat tampak jelas bila dilihat dari perspektif perbandingan, khususnya perbandingan dengan negara-negara lain yang sama-sama berpenduduk mayoritas muslim seperti di Timur Tengah dan Dunia Arab.Sebagaimana dimaklumi bersama, proses demokrasi di wilayah itu berjalan penuh darah dan terus memakan korban jiwa seperti terjadi di Suriah, Mesir, Yaman, Libia, dan yang lainnya.

Itu sebabnya, dalam banyak kesempatan, penulis kerap menegaskan Indonesia berpotensi menjadi kiblat demokrasi bagi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.Potensi Indonesia menjadi kiblat demokrasi jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Turki dan Iran yang selama ini dikenal cukup demokratis ketimbang negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lain.

Turki hampir mustahil menjadi kiblat demokrasi mengingat negara itu identik dengan sekularisme yang masih belum diterima mayoritas umat Islam. Kondisi Iran kurang lebih sama karena negara itu dikenal sebagai negeri Syiah yang masih bersifat minoritas di dunia Islam, sedangkan demokrasi yang berkembang di Indonesia terbebas dari dua sandungan di atas.

Dalam sebuah seminar, ada sebuah ilus trasi yang sangat menarik terkait dengan perbandingan Indonesia dengan negara-negara lain di Timur Tengah. Ilustrasi tersebut disampaikan salah satu ulama terkemuka asal Suriah, Syekh Mahmud Syahadah. Dalam kesaksiannya, beliau menegaskan rumah kelahirannya hanya berjarak kurang lebih 300 km dari Damaskus sebagai ibu kota Suriah yang dalam tiga tahun terakhir dilanda perang saudara. Namun, semenjak Suriah dilanda perang tak berujung seperti sekarang, Syekh Mahmud Syahadah menegaskan tidak pernah bisa pulang ke kam pung halamannya. Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, beliau sudah lima kali bolak-balik ke Indonesia.

Pertaruhan demokrasi

Pertanyaannya ialah apakah perkembangan demokrasi yang ada selama ini harus dikorbankan demi kepentingan politik kelompok seperti jamak terjadi belakangan? Apakah dari perkembangan seperti tadi, bangsa ini harus terjun bebas terpuruk dalam perpecahan dan keterbelahan sebagaimana jamak terjadi belakangan di negara-negara Timur Tengah? Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dipastikan tidak akan membiarkan semua ini terjadi.

Dalam kondisi seperti ini, semua perkembangan yang ada menjadi sebuah tantangan bagi Jokowi. Itu disebut demikian karena dalam kapasitasnya sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan, Jokowi akan dimintai pertanggungjawaban atas segala apa pun yang terjadi di Republik ini dalam lima tahun ke depan. Oleh karena itu, sebagai presiden, Jokowi tidak cukup hanya kerja, kerja, dan kerja. Di luar itu, juga harus mampu memastikan orang lain bisa bekerja. Presiden tak hanya pekerja, tetapi juga pencipta momentum agar semua pihak bisa bekerja.

Dalam kondisi seperti ini, Presiden Jokowi harus bisa melakukan apa pun untuk memastikan dirinya dan pihak lain bisa bekerja, termasuk merangkul para lawan yang berpotensi mengganggu pekerjaannya dan pekerjaan orang lain. Bermacam otoritas yang dimiliki presiden harus digunakan Jokowi untuk menciptakan momentum yang kondusif untuk bekerja bagi semua.

Di luar yang telah disampaikan, Jokowi juga menjadi tantangan bagi segenap elemen bangsa ini, khususnya para lawan politiknya.Seberapa besar pun ketidaksukaan terhadap Jokowi, faktanya mantan Gubernur DKI Jakarta itu telah resmi menjadi Presiden Indonesia. Mendukung pemerintahan Jokowi sama dengan mendukung kebaikan seluruh bangsa. Pun demikian sebaliknya.

Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi dapat disebut sebagai ujian penentuan bagi demokrasi Indonesia ke depan; apakah Indonesia akan menjadi benar-benar hebat dan mewujudkan segala potensi yang dimiliki selama ini? Atau, justru mundur terpuruk dalam perpecahan dan keterbelahan? Semuanya tergantung apa yang kita semua lakukan ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar