Pertaruhan
Kiblat Demokrasi
Hasibullah Satrawi ; Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida), Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Desember 2014
TINGGINYA tensi politik nasional
pada saat dan pasca-Pemilihan Presiden 2014 membuat kita semua menahan
`napas'. Harapan, kekhawatiran, dan kecemasan terkait dengan keberlanjutan
hidup berbangsa dan bernegara acap bercampur aduk di tengah pertarungan politik
yang nyaris kehilangan akal sehat. Paling tidak demikian yang dirasakan
penulis.Kini, setelah semuanya sejatinya menjadi normal kembali, campur aduk
perasaan seperti itu justru masih bertahan. Hal tersebut terjadi karena
pertarungan politik yang tak terkendali masih terus berkelanjutan, menggiring
negeri ini ke tepi jurang perpecahan dan keterbelahan.
Apa yang belakangan terjadi di
gedung parlemen dapat dijadikan sebagai salah satu bukti nyata dari apa yang
telah disampaikan.Untuk pertama kalinya sejak era reformasi, parlemen kita
dibelah menjadi dua antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.
Begitu juga dengan perpecahan di tubuh sebagian partai politik (parpol).
Sangat ironis karena pertarungan politik yang sampai pada tahap hancur-hancuran
seperti ini acap diatasnamakan demi Merah Putih dan Indonesia Hebat.
Kiblat demokrasi
Bila dilihat dari perspektif
demokrasi, apa yang belakangan dipertontonkan di jagat politik nasional dapat
disebut sebagai kemunduran berdemokrasi. Mengingat esensi demokrasi tak lain
ialah komitmen atas asas musyawarah, menjaga persaudaraan, dan mempertahankan
kebersamaan di tengah aneka macam perbedaan atau bahkan pertarungan secara
politik.
Ini sungguh terasa sangat
menyesakkan mengingat kemunduran demokrasi seperti sekarang ini terjadi hanya
beberapa saat setelah demokrasi Indonesia mendapatkan apresiasi dari banyak
negara di dunia, khususnya pada pemerintahan SBY. Setidaktidaknya karena
dalam 10 tahun terakhir, proses transisi pemerintahan berjalan secara lancar
dan teratur, nyaris tanpa adanya gejolak yang berarti.
Dalam hemat penulis, suka atau
tidak, inilah salah satu warisan SBY yang paling berharga bagi Republik ini.
Benar bahwa dalam satu dasawarsa terakhir masih terdapat kekurangan di
sana-sini, seperti pemerataan ekonomi, penegakan hukum, tingginya kasus
korupsi, tingginya aksi intoleransi yang bercorak keagamaan, bahkan aksi-aksi
terorisme juga masih kerap terjadi.
Kekurangan-kekurangan itulah
yang membuat negara-negara lain masih `memandang sebelah mata' demokrasi di
Indonesia selama ini. Negara-negara maju, contohnya, kerap mempersoalkan
persoalan intoleransi dan kerukunan umat beragama yang masih bermasalah dalam
10 tahun terakhir.Begitu juga dengan persoalan kemiskinan dan ketersediaan
lapangan kerja yang salah satunya tergambar jelas dari banyaknya anak bangsa
yang harus bekerja di negeri orang, termasuk di sebagian negara yang
berpenduduk mayoritas muslim seperti di negara-negara Arab Teluk.
Namun, sejumlah kekurangan yang
ada seperti tadi disebutkan tidak secara otomatis menghapus kemajuan-kemajuan
yang juga terjadi. Setidak-tidaknya kemajuan dalam bentuk proses
demokratisasi dan transisi pemerintahan yang berjalan secara teratur tanpa
adanya korban jiwa, sebagaimana telah disampaikan. Kemajuan demokrasi
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir akan sangat tampak jelas bila dilihat
dari perspektif perbandingan, khususnya perbandingan dengan negara-negara
lain yang sama-sama berpenduduk mayoritas muslim seperti di Timur Tengah dan
Dunia Arab.Sebagaimana dimaklumi bersama, proses demokrasi di wilayah itu
berjalan penuh darah dan terus memakan korban jiwa seperti terjadi di Suriah,
Mesir, Yaman, Libia, dan yang lainnya.
Itu sebabnya, dalam banyak
kesempatan, penulis kerap menegaskan Indonesia berpotensi menjadi kiblat
demokrasi bagi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.Potensi Indonesia
menjadi kiblat demokrasi jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Turki dan
Iran yang selama ini dikenal cukup demokratis ketimbang negara-negara
berpenduduk mayoritas muslim lain.
Turki hampir mustahil menjadi
kiblat demokrasi mengingat negara itu identik dengan sekularisme yang masih
belum diterima mayoritas umat Islam. Kondisi Iran kurang lebih sama karena
negara itu dikenal sebagai negeri Syiah yang masih bersifat minoritas di
dunia Islam, sedangkan demokrasi yang berkembang di Indonesia terbebas dari
dua sandungan di atas.
Dalam sebuah seminar, ada sebuah
ilus trasi yang sangat menarik terkait dengan perbandingan Indonesia dengan
negara-negara lain di Timur Tengah. Ilustrasi tersebut disampaikan salah satu
ulama terkemuka asal Suriah, Syekh Mahmud Syahadah. Dalam kesaksiannya,
beliau menegaskan rumah kelahirannya hanya berjarak kurang lebih 300 km dari
Damaskus sebagai ibu kota Suriah yang dalam tiga tahun terakhir dilanda
perang saudara. Namun, semenjak Suriah dilanda perang tak berujung seperti
sekarang, Syekh Mahmud Syahadah menegaskan tidak pernah bisa pulang ke kam
pung halamannya. Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, beliau sudah
lima kali bolak-balik ke Indonesia.
Pertaruhan demokrasi
Pertanyaannya ialah apakah
perkembangan demokrasi yang ada selama ini harus dikorbankan demi kepentingan
politik kelompok seperti jamak terjadi belakangan? Apakah dari perkembangan
seperti tadi, bangsa ini harus terjun bebas terpuruk dalam perpecahan dan
keterbelahan sebagaimana jamak terjadi belakangan di negara-negara Timur
Tengah? Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dipastikan tidak akan membiarkan
semua ini terjadi.
Dalam kondisi seperti ini, semua
perkembangan yang ada menjadi sebuah tantangan bagi Jokowi. Itu disebut
demikian karena dalam kapasitasnya sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan,
Jokowi akan dimintai pertanggungjawaban atas segala apa pun yang terjadi di
Republik ini dalam lima tahun ke depan. Oleh karena itu, sebagai presiden,
Jokowi tidak cukup hanya kerja, kerja, dan kerja. Di luar itu, juga harus
mampu memastikan orang lain bisa bekerja. Presiden tak hanya pekerja, tetapi
juga pencipta momentum agar semua pihak bisa bekerja.
Dalam kondisi seperti ini,
Presiden Jokowi harus bisa melakukan apa pun untuk memastikan dirinya dan
pihak lain bisa bekerja, termasuk merangkul para lawan yang berpotensi
mengganggu pekerjaannya dan pekerjaan orang lain. Bermacam otoritas yang
dimiliki presiden harus digunakan Jokowi untuk menciptakan momentum yang
kondusif untuk bekerja bagi semua.
Di luar yang telah disampaikan,
Jokowi juga menjadi tantangan bagi segenap elemen bangsa ini, khususnya para
lawan politiknya.Seberapa besar pun ketidaksukaan terhadap Jokowi, faktanya
mantan Gubernur DKI Jakarta itu telah resmi menjadi Presiden Indonesia.
Mendukung pemerintahan Jokowi sama dengan mendukung kebaikan seluruh bangsa.
Pun demikian sebaliknya.
Oleh
karena itu, pemerintahan Jokowi dapat disebut sebagai ujian penentuan bagi
demokrasi Indonesia ke depan; apakah Indonesia akan menjadi benar-benar hebat
dan mewujudkan segala potensi yang dimiliki selama ini? Atau, justru mundur
terpuruk dalam perpecahan dan keterbelahan? Semuanya tergantung apa yang kita
semua lakukan ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar