Dari
Rawa Mangun ke Pintu Besi
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 07 Desember 2014
Saya
kira semua orang Jakarta tahu Rawamangun, Rawasari, Rawa Buaya, Rawa Badak,
dan Rawa Bangke. Juga Pal Merah, Pal Meriam, Pal Sigunung, dan Pintu Besi.
Terus Pasar Ikan, Pasar Senen, Pasar Rebo, dan Pasar Jumat.
Juga
Pulomas, Pulogebang, Pulosari, Pulogadung, atau Tanah Abang, Tanah Merah,
Tanah Kusir. Masih ada lagi, Kampung Jawa, Kampung Ambon, dan seterusnya.
Juga banyak di antara kita bahwa semua nama itu dibuat sejak dulu, yaitu oleh
pemerintah kolonial Belanda. Yang banyak orang tidak tahu adalah bahwa
nama-nama itu diberikan dengan maksud untuk memberi tanda geografis pada
daerah-daerah yang dimaksud.
Yang
judulnya ”rawa” dulunya pasti daerah rawa-rawa, jadi nggak heran kalau
sekarang jadinya rawan banjir. Yang namanya ”pulo” atau ”tanah” berarti
berpermukaan lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Jadi teorinya, kalau mau
beli rumah, jangan pilih daerah dengan nama ”rawa”, tetapi pilih yang namanya
berawal dengan ”pulo” atau ”tanah”.
Tetapi
sekarang karena perubahan tekstur geografis, banyak pulo dan tanah yang
kebanjiran, sedangkan daerah rawa justru bebas banjir karena sudah
ditinggikan oleh pengembang (dengan mengorbankan daerah lain yang kemudian
jadi banjir). Pasar Ikan dan Pasar Senen (dulu bukanya setiap Senin saja)
masih ada sampai hari ini, tetapi kalau dengar Pasar Rebo sekarang, asosiasi
kita adalah terminal bus antarkota, dan Pasar Jumat adalah sekolah
kepolisian.
Pal dan
Pintu artinya adalah batas kota. Pal Sigunung adalah batas kota paling
selatan dari Batavia, persisnya di jalan raya Jakarta-Bogor, yang sekarang
ada Universitas Krisna Dwipayana, yang berseberangan dengan Panti Asuhan
Muslimin. Pintu Besi di daerah Jakarta Kota, adalah batas kota pertama ketika
Batavia belum meluas ke arah selatan. Pintu Air, di Pasar Baru, bukan batas
kota, melainkan benar-benar tempat pintu bendungan untuk mengatur air ke
kanal buatan yang mengalir di antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada.
Pada
zaman dulu, dalam wilayah-wilayah yang dibatasi oleh pal atau pintu hanya
boleh tinggal orang-orang Belanda. Rumah-rumahnya pun bagus-bagus dan
besar-besar, seperti yang sampai hari ini masih bisa dilihat di daerah
Menteng, Jakarta Pusat (sayang sudah mulai banyak yang jadi pertokoan,
apartemen, bahkan rumah sakit).
Orang-orang
pribumi disediakan tempat sendiri di kampung-kampung yang diberi nama sesuai
dengan etnik yang menghuni kampung-kampung tersebut, seperti Kampung Ambon,
Kampung Bali, dan Kampung Jawa. Pribumi yang boleh tinggal di dalam
batas-batas pal hanya yang bekerja untuk melayani atau memasok kebutuhan
orang Belanda. Kebon Sirih, misalnya, adalah tempat petani pribumi menanam
sayuran untuk para sinyo-sinyo dan nyonya-nyonya atau noninoni Belanda di
daerah Menteng.
Saya
sendiri baru tahu informasi yang menarik tentang lingkungan Jakarta ini
ketika pada suatu hari Minggu, teman saya di majelis taklim Masjid Al Irfan,
Kompleks Perumahan Dosen UI (Pak Djamang Ludiro, pakar geografi) mendapat
giliran berbagi (bahasa agamanya: tausiah)
dan mengangkat isu lingkungan sebagai topiknya dalam pengajian rutin bakda
subuh hari itu.
Sebelumnya
saya tidak pernah berpikir tentang masalah yang sebenarnya sangat krusial
itu. Saya termasuk rombongan dosen UI yang di tahun 1975 mendapat rumah dinas
di Ciputat, pas di tepi Situ (artinya: danau kecil) Gintung yang asri. Waktu
itu belum ada apa-apa di Ciputat. Belum ada listrik, apalagi telepon, dan
baru ada jalan tikus lewat Pondok Pinang, ke Kebayoran Lama, tembus Kebayoran
Baru.
Baru
dari situ masuk Jakarta. Kalau saya harus membeli sendiri rumah pada waktu
itu, saya tidak akan memilih lokasi tempat ”jin buang anak” itu. Tetapi
Ciputat sekarang sudah jadi kota satelitnya Jakarta yang berkembang sangat
pesat. Sayangnya, kita-kita ini (termasuk saya sebelum tahu) tidak berpikir
tentang relevansi nama-nama tempat itu. Sekarang dengan sesuka hati namanama
asli jalan-jalan di Jakarta diganti dengan nama-nama pahlawan.
Saya
tidak tahu apa nama Jalan Diponegoro dan Jalan Imam Bonjol pada zaman
Belanda, tetapi yang jelas kedua pahlawan itu tidak pernah tinggal di
jalan-jalan yang sekarang menyandang nama mereka. Di Jatinegara ada Kelurahan
Rawa Bunga yang dulunya bernama Rawa Bangke, suatu nama yang diambil dari
peristiwa tahun 1813, di mana ratusan tentara Inggris dibantai oleh tentara
Prancis dan Belanda yang menyerbu Pulau Jawa.
Tetapi
hari ini hampir tidak ada yang ingat lagi tentang sejarah Rawa Bangke. Jadi
kelihatannya orang Indonesia, terutama sejak pertumbuhan perekonomian yang
pesat di zamannya Orde Baru, tidak peduli lagi dengan makna tempat-tempat. Maka
bangunan-bangunan bersejarah pun dirombak jadi mal.
Karena
itu, lambat laun hilang juga budaya asli Indonesia. Kesenian Keroncong
Toegoe, yang berawal dari kesenian lokal di Kampung Toegoe, yang kemudian
menjadi cikal- bakal kesenian musik Betawi, sekarang hampir punah, karena
komunitas asli di Kampoeng Toegoe, Jakarta Utara sudah tidak ada lagi.
Bahkan, komunitas Betawi pun sekarang sudah makin tergeser ke pinggir.
Makin
sedikit tempat buat kehidupan kebudayaan lokal Betawi. Zaman sekarang susah
sekali mencari roti berbentuk buaya, padahal dulu menjadi persyaratan pada
setiap perkawinan Betawi. Begitu juga wayang Purwa (Jawa, Sunda), wayang
Potehi (peranakan Tionghoa), tari Gandrung (Banyuwangi), dan masih banyak
yang lain.
Satu per satu terancam punah, karena tempat kesenian dan kebudayaan itu
bermukim dan bertumbuh kembang tidak ada lagi. Satu per satu
komunitas-komunitas lahan budaya itu bubar, digantikan oleh budaya
ultramodern atau budaya religi yang ultrakanan (radikal). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar