Senin, 08 Desember 2014

Dari Rawa Mangun ke Pintu Besi

                              Dari Rawa Mangun ke Pintu Besi

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 07 Desember 2014

                                                                                                                       


Saya kira semua orang Jakarta tahu Rawamangun, Rawasari, Rawa Buaya, Rawa Badak, dan Rawa Bangke. Juga Pal Merah, Pal Meriam, Pal Sigunung, dan Pintu Besi. Terus Pasar Ikan, Pasar Senen, Pasar Rebo, dan Pasar Jumat.

Juga Pulomas, Pulogebang, Pulosari, Pulogadung, atau Tanah Abang, Tanah Merah, Tanah Kusir. Masih ada lagi, Kampung Jawa, Kampung Ambon, dan seterusnya. Juga banyak di antara kita bahwa semua nama itu dibuat sejak dulu, yaitu oleh pemerintah kolonial Belanda. Yang banyak orang tidak tahu adalah bahwa nama-nama itu diberikan dengan maksud untuk memberi tanda geografis pada daerah-daerah yang dimaksud.

Yang judulnya ”rawa” dulunya pasti daerah rawa-rawa, jadi nggak heran kalau sekarang jadinya rawan banjir. Yang namanya ”pulo” atau ”tanah” berarti berpermukaan lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Jadi teorinya, kalau mau beli rumah, jangan pilih daerah dengan nama ”rawa”, tetapi pilih yang namanya berawal dengan ”pulo” atau ”tanah”.

Tetapi sekarang karena perubahan tekstur geografis, banyak pulo dan tanah yang kebanjiran, sedangkan daerah rawa justru bebas banjir karena sudah ditinggikan oleh pengembang (dengan mengorbankan daerah lain yang kemudian jadi banjir). Pasar Ikan dan Pasar Senen (dulu bukanya setiap Senin saja) masih ada sampai hari ini, tetapi kalau dengar Pasar Rebo sekarang, asosiasi kita adalah terminal bus antarkota, dan Pasar Jumat adalah sekolah kepolisian.

Pal dan Pintu artinya adalah batas kota. Pal Sigunung adalah batas kota paling selatan dari Batavia, persisnya di jalan raya Jakarta-Bogor, yang sekarang ada Universitas Krisna Dwipayana, yang berseberangan dengan Panti Asuhan Muslimin. Pintu Besi di daerah Jakarta Kota, adalah batas kota pertama ketika Batavia belum meluas ke arah selatan. Pintu Air, di Pasar Baru, bukan batas kota, melainkan benar-benar tempat pintu bendungan untuk mengatur air ke kanal buatan yang mengalir di antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada.

Pada zaman dulu, dalam wilayah-wilayah yang dibatasi oleh pal atau pintu hanya boleh tinggal orang-orang Belanda. Rumah-rumahnya pun bagus-bagus dan besar-besar, seperti yang sampai hari ini masih bisa dilihat di daerah Menteng, Jakarta Pusat (sayang sudah mulai banyak yang jadi pertokoan, apartemen, bahkan rumah sakit).

Orang-orang pribumi disediakan tempat sendiri di kampung-kampung yang diberi nama sesuai dengan etnik yang menghuni kampung-kampung tersebut, seperti Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Kampung Jawa. Pribumi yang boleh tinggal di dalam batas-batas pal hanya yang bekerja untuk melayani atau memasok kebutuhan orang Belanda. Kebon Sirih, misalnya, adalah tempat petani pribumi menanam sayuran untuk para sinyo-sinyo dan nyonya-nyonya atau noninoni Belanda di daerah Menteng.

Saya sendiri baru tahu informasi yang menarik tentang lingkungan Jakarta ini ketika pada suatu hari Minggu, teman saya di majelis taklim Masjid Al Irfan, Kompleks Perumahan Dosen UI (Pak Djamang Ludiro, pakar geografi) mendapat giliran berbagi (bahasa agamanya: tausiah) dan mengangkat isu lingkungan sebagai topiknya dalam pengajian rutin bakda subuh hari itu.

Sebelumnya saya tidak pernah berpikir tentang masalah yang sebenarnya sangat krusial itu. Saya termasuk rombongan dosen UI yang di tahun 1975 mendapat rumah dinas di Ciputat, pas di tepi Situ (artinya: danau kecil) Gintung yang asri. Waktu itu belum ada apa-apa di Ciputat. Belum ada listrik, apalagi telepon, dan baru ada jalan tikus lewat Pondok Pinang, ke Kebayoran Lama, tembus Kebayoran Baru.

Baru dari situ masuk Jakarta. Kalau saya harus membeli sendiri rumah pada waktu itu, saya tidak akan memilih lokasi tempat ”jin buang anak” itu. Tetapi Ciputat sekarang sudah jadi kota satelitnya Jakarta yang berkembang sangat pesat. Sayangnya, kita-kita ini (termasuk saya sebelum tahu) tidak berpikir tentang relevansi nama-nama tempat itu. Sekarang dengan sesuka hati namanama asli jalan-jalan di Jakarta diganti dengan nama-nama pahlawan.

Saya tidak tahu apa nama Jalan Diponegoro dan Jalan Imam Bonjol pada zaman Belanda, tetapi yang jelas kedua pahlawan itu tidak pernah tinggal di jalan-jalan yang sekarang menyandang nama mereka. Di Jatinegara ada Kelurahan Rawa Bunga yang dulunya bernama Rawa Bangke, suatu nama yang diambil dari peristiwa tahun 1813, di mana ratusan tentara Inggris dibantai oleh tentara Prancis dan Belanda yang menyerbu Pulau Jawa.

Tetapi hari ini hampir tidak ada yang ingat lagi tentang sejarah Rawa Bangke. Jadi kelihatannya orang Indonesia, terutama sejak pertumbuhan perekonomian yang pesat di zamannya Orde Baru, tidak peduli lagi dengan makna tempat-tempat. Maka bangunan-bangunan bersejarah pun dirombak jadi mal.

Karena itu, lambat laun hilang juga budaya asli Indonesia. Kesenian Keroncong Toegoe, yang berawal dari kesenian lokal di Kampung Toegoe, yang kemudian menjadi cikal- bakal kesenian musik Betawi, sekarang hampir punah, karena komunitas asli di Kampoeng Toegoe, Jakarta Utara sudah tidak ada lagi. Bahkan, komunitas Betawi pun sekarang sudah makin tergeser ke pinggir.

Makin sedikit tempat buat kehidupan kebudayaan lokal Betawi. Zaman sekarang susah sekali mencari roti berbentuk buaya, padahal dulu menjadi persyaratan pada setiap perkawinan Betawi. Begitu juga wayang Purwa (Jawa, Sunda), wayang Potehi (peranakan Tionghoa), tari Gandrung (Banyuwangi), dan masih banyak yang lain.

Satu per satu terancam punah, karena tempat kesenian dan kebudayaan itu bermukim dan bertumbuh kembang tidak ada lagi. Satu per satu komunitas-komunitas lahan budaya itu bubar, digantikan oleh budaya ultramodern atau budaya religi yang ultrakanan (radikal).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar