Revolusi
Mental atau Moral Pancasila?
Handi Sapta Mukti ; Praktisi Manajemen,
Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan
|
KORAN
SINDO, 03 Desember 2014
Tanggal
24 November 2014 lalu saya mendapat kehormatan diundang oleh Bapak Jenderal
(Purn) Sayidiman Suryohadiprojo untuk menghadiri acara peluncuran buku
barunya yang berjudul, Mengobarkan
Kembali Api Pancasila.
Banyak
tokoh-tokoh senior yang hadir dalam acara tersebut, beberapa di antaranya
Jenderal (Purn) Tri Sutrisno, Prof Subroto, Akbar Tandjung, Jenderal (Purn)
Kiki Syahnakri, dan Bapak Santo Budiono yang juga menjadi pembahas, serta
tokoh-tokoh senior lain. Saya pribadi sangat salut terhadap semangat, daya
juang, produktivitas, dan kepedulian beliau terhadap kondisi bangsa dan
negara Indonesia di dalam usianya yang sudah lebih dari 85 tahun ini.
Beliau
masih aktif mengamati dan menulis masalah-masalah kebangsaan. Baiklah, mari
kita coba pahami apa pesan yang tersirat dari buku tersebut. Dari judulnya
saya melihat ada dua hal yang tersirat, pertama menyiratkan kekhawatiran dan
kedua menyiratkan peringatan bagi kita semua. Mengapa kekhawatiran? Karena,
jika disebut “mengobarkan kembali api
Pancasila”, berarti beliau melihat bahwa pada saat ini api Pancasila
sudah padam dari negeri ini, sudah tidak ada orang yang peduli terhadap
nilai-nilai Pancasila.
Keberadaan
Pancasila hanya diingat sebagai simbol atau lambang dan dasar negara tanpa
ada lagi yang peduli terhadap pengamalan dari nilai-nilai Pancasila tersebut
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di halaman 250 buku tersebut beliau
menyatakan: “Menjadikan Pancasila
realitas di Indonesia berarti mewujudkan satu realitas baru di negara kita.
Sebab realitas yang sekarang adalah satu kondisi yang kosong Pancasila,
bahkan bertentangan dengan Pancasila“.
Saya
kira kita semua sepakat dengan pernyataan tersebut. Kekosongan nilai-nilai
Pancasila bahkan sudah hampir merata di segala tingkatan dalam strata sosial
masyarakat kita. Mulai dari tingkat pelajar, mahasiswa, pegawai biasa,
pengusaha, pejabat, pimpinan daerah, bahkan menteri dan anggota Dewan yang
terhormat pun sudah menunjukkan sikap yang jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Sungguh
sangat memprihatinkan memang, tetapi itulah kenyataan yang kita alami
sekarang ini dan tentu saja ini akan sangat mengkhawatirkan jika tidak ada
tindakan-tindakan nyata untuk memperbaiki kondisi tersebut. Kedua, buku ini
menyiratkan peringatan bagi kita semua untuk segera mengambil tindakan guna
menegakkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab
untuk melakukan hal tersebut? Pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab
mengingat dalam nomenklatur pemerintahan dan tatanan lembaga negara di
Indonesia saat ini tidak ada satu pun lembaga yang mempunyai tugas khusus
untuk memelihara dan menjaga nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.
Tak ada yang menjaga nilai-nilai Pancasila dan menurunkannya ke dalam
program yang berkelanjutan, menyeluruh, dan menjangkau semua strata sosial
dalam masyarakat kita. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya
mempunyai peranan yang besar di sini karena kementerian inilah yang mempunyai
kewenangan dalam mendidik dan membangun karakter bangsa dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara kita.
Namun, kenyataannya justru pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sudah
lama dihapuskan dari kurikulum pelajaran di tingkat sekolah dasar (SD) hingga
sekolah menengah atas (SMA), mata kuliah Kewiraan juga sudah tidak ada dalam
silabus perkuliahan di tingkat perguruan tinggi. Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhannas) juga merupakan lembaga yang salah satu tugas pokok dan fungsinya
memantapkan nilai-nilai kebangsaan yang tentunya berbasis kepada Pancasila.
Kendati demikian, daya jangkau lembaga ini juga masih belum mampu
menjangkau seluruh strata sosial yang ada di masyarakat kita. Lembaga ini
masih terkesan eksklusif dan sulit dijangkau masyarakat luas. Lalu, apa yang
harus dilakukan? Siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana melakukannya?
Buku ini memang tidak secara langsung menjawab semua pertanyaan tersebut.
Peranan
Kepemimpinan Nasional
Walau tidak secara langsung menjawab, secara tegas dinyatakan di
halaman 250-251:
“Perbuatan
masyarakat banyak ditentukan atau bersumber dari kepemimpinan masyarakat itu.
Untuk perubahan yang harus terjadi pada negara, kepemimpinan itu adalah kepemimpinan
nasional. Kepemipinan nasional mampu mengajak seluruh bangsa membuat
perubahan yang diinginkan....... keberhasilan kepemimpinan nasional mengajak
seluruh bangsa perlu dilandasi kemampuannya mengajak dan memotivasi semua
orang atau pihak yang menjalankan kepemimpinan di daerah serta di berbagai
organisasi untuk bersama-sama mewujudkan perubahan itu, yaitu menjadikan Pancasila
realitas di Indonesia.”
Sudah seharusnya kepemimpinan nasional menjadi kunci keberhasilan untuk
mengembalikan nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan berpolitik, bernegara,
dan bermasyarakat di segala bidang.
Karena itu, sungguh aneh jika ada seorang pejabat tinggi negara yang
mengizinkan warga negara Indonesia untuk mengosongkan kolom agama pada kartu
identitasnya, suatu hal yang sangat mendasar dan sangat jauh menyimpang dari
nilai-nilai Pancasila yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang religius (beragama) seperti yang tercermin dari sila pertama Pancasila.
Sementara itu, revolusi mental yang didengungkan Presiden Jokowi sejak
masa kampanye hingga saat ini masih belum jelas arahnya ke mana, apa yang
menjadi dasar dan acuannya, serta bagaimana cara melaksanakannya. Jangan
sampai ini hanya menjadi slogan kampanye yang tidak jelas arah dan tujuannya.
Seharusnya revolusi mental diarahkan kepada penguatan kembali nilai-nilai dan
moral Pancasila ke dalam sendi-sendi kehidupan, berbangsa, dan bernegara.
Karena itu, sangatlah penting untuk membentuk badan atau lembaga entah
di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ataupun Lemhannas yang khusus
menangani ini. Kita tentu masih ingat BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila), yang dibentuk oleh Soeharto pada masa
pemerintahannya dulu.
Badan inilah yang melakukan pembinaan, pendidikan, sekaligus
pelaksanaan atas penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam seluruh
sendi-sendi kehidupan di Indonesia. Mereka membuat program yang menyeluruh
mulai dari tingkat dasar, menengah, perguruan tinggi, hingga karyawan, semua
tidak luput dari program ini.
Presiden Soeharto bisa dibilang sukses dalam menjalankan program ini
pada masa pemerintahannya. Sudah seharusnya semua sisi baik dari apa yang
telah dilakukan Soeharto dapat terus dilaksanakan dan ditingkatkan. Ini yang dapat
membuat bangsa kita bertambah maju dan berkembang. Kebiasaan buruk para
pemimpin kita selama ini adalah selalu menganggap apa yang dilakukan pemimpin
terdahulu salah, padahal tidak demikian adanya.
Sesuatu yang baik harus diteruskan, yang salah jelas harus
ditinggalkan. Presiden Jokowi seharusnya dapat mengambil pelajaran dari hal
ini. Apalagi beliau termasuk pemimpin yang mau banyak belajar dari pemimpin
terdahulu. Semoga saja dengan program Revolusi Mental Presiden Jokowi, api
Pancasila dapat kembali berkobar di hati sanubari seluruh rakyat dan bangsa
Indonesia, jangan sampai padam dan hanya meninggalkan asap yang hanya membuat
perih dan air mata.
Jadikanlah Revolusi Mental
sebagai konsensus nasional untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. Terima
kasih kepada Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo yang telah memberikan
inspirasi dengan peluncuran bukunya tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar