Kamis, 04 Desember 2014

Revolusi Mental atau Moral Pancasila?

                     Revolusi Mental atau Moral Pancasila?

Handi Sapta Mukti  ;   Praktisi Manajemen,
Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan
KORAN SINDO,  03 Desember 2014

                                                                                                                       


Tanggal 24 November 2014 lalu saya mendapat kehormatan diundang oleh Bapak Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo untuk menghadiri acara peluncuran buku barunya yang berjudul, Mengobarkan Kembali Api Pancasila.

Banyak tokoh-tokoh senior yang hadir dalam acara tersebut, beberapa di antaranya Jenderal (Purn) Tri Sutrisno, Prof Subroto, Akbar Tandjung, Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri, dan Bapak Santo Budiono yang juga menjadi pembahas, serta tokoh-tokoh senior lain. Saya pribadi sangat salut terhadap semangat, daya juang, produktivitas, dan kepedulian beliau terhadap kondisi bangsa dan negara Indonesia di dalam usianya yang sudah lebih dari 85 tahun ini.

Beliau masih aktif mengamati dan menulis masalah-masalah kebangsaan. Baiklah, mari kita coba pahami apa pesan yang tersirat dari buku tersebut. Dari judulnya saya melihat ada dua hal yang tersirat, pertama menyiratkan kekhawatiran dan kedua menyiratkan peringatan bagi kita semua. Mengapa kekhawatiran? Karena, jika disebut “mengobarkan kembali api Pancasila”, berarti beliau melihat bahwa pada saat ini api Pancasila sudah padam dari negeri ini, sudah tidak ada orang yang peduli terhadap nilai-nilai Pancasila.

Keberadaan Pancasila hanya diingat sebagai simbol atau lambang dan dasar negara tanpa ada lagi yang peduli terhadap pengamalan dari nilai-nilai Pancasila tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di halaman 250 buku tersebut beliau menyatakan: “Menjadikan Pancasila realitas di Indonesia berarti mewujudkan satu realitas baru di negara kita. Sebab realitas yang sekarang adalah satu kondisi yang kosong Pancasila, bahkan bertentangan dengan Pancasila“.

Saya kira kita semua sepakat dengan pernyataan tersebut. Kekosongan nilai-nilai Pancasila bahkan sudah hampir merata di segala tingkatan dalam strata sosial masyarakat kita. Mulai dari tingkat pelajar, mahasiswa, pegawai biasa, pengusaha, pejabat, pimpinan daerah, bahkan menteri dan anggota Dewan yang terhormat pun sudah menunjukkan sikap yang jauh dari nilai-nilai Pancasila.

Sungguh sangat memprihatinkan memang, tetapi itulah kenyataan yang kita alami sekarang ini dan tentu saja ini akan sangat mengkhawatirkan jika tidak ada tindakan-tindakan nyata untuk memperbaiki kondisi tersebut. Kedua, buku ini menyiratkan peringatan bagi kita semua untuk segera mengambil tindakan guna menegakkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan hal tersebut? Pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab mengingat dalam nomenklatur pemerintahan dan tatanan lembaga negara di Indonesia saat ini tidak ada satu pun lembaga yang mempunyai tugas khusus untuk memelihara dan menjaga nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.

Tak ada yang menjaga nilai-nilai Pancasila dan menurunkannya ke dalam program yang berkelanjutan, menyeluruh, dan menjangkau semua strata sosial dalam masyarakat kita. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya mempunyai peranan yang besar di sini karena kementerian inilah yang mempunyai kewenangan dalam mendidik dan membangun karakter bangsa dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara kita.

Namun, kenyataannya justru pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sudah lama dihapuskan dari kurikulum pelajaran di tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA), mata kuliah Kewiraan juga sudah tidak ada dalam silabus perkuliahan di tingkat perguruan tinggi. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) juga merupakan lembaga yang salah satu tugas pokok dan fungsinya memantapkan nilai-nilai kebangsaan yang tentunya berbasis kepada Pancasila.

Kendati demikian, daya jangkau lembaga ini juga masih belum mampu menjangkau seluruh strata sosial yang ada di masyarakat kita. Lembaga ini masih terkesan eksklusif dan sulit dijangkau masyarakat luas. Lalu, apa yang harus dilakukan? Siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana melakukannya? Buku ini memang tidak secara langsung menjawab semua pertanyaan tersebut.

Peranan Kepemimpinan Nasional

Walau tidak secara langsung menjawab, secara tegas dinyatakan di halaman 250-251:

“Perbuatan masyarakat banyak ditentukan atau bersumber dari kepemimpinan masyarakat itu. Untuk perubahan yang harus terjadi pada negara, kepemimpinan itu adalah kepemimpinan nasional. Kepemipinan nasional mampu mengajak seluruh bangsa membuat perubahan yang diinginkan....... keberhasilan kepemimpinan nasional mengajak seluruh bangsa perlu dilandasi kemampuannya mengajak dan memotivasi semua orang atau pihak yang menjalankan kepemimpinan di daerah serta di berbagai organisasi untuk bersama-sama mewujudkan perubahan itu, yaitu menjadikan Pancasila realitas di Indonesia.”

Sudah seharusnya kepemimpinan nasional menjadi kunci keberhasilan untuk mengembalikan nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan berpolitik, bernegara, dan bermasyarakat di segala bidang.

Karena itu, sungguh aneh jika ada seorang pejabat tinggi negara yang mengizinkan warga negara Indonesia untuk mengosongkan kolom agama pada kartu identitasnya, suatu hal yang sangat mendasar dan sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius (beragama) seperti yang tercermin dari sila pertama Pancasila.

Sementara itu, revolusi mental yang didengungkan Presiden Jokowi sejak masa kampanye hingga saat ini masih belum jelas arahnya ke mana, apa yang menjadi dasar dan acuannya, serta bagaimana cara melaksanakannya. Jangan sampai ini hanya menjadi slogan kampanye yang tidak jelas arah dan tujuannya. Seharusnya revolusi mental diarahkan kepada penguatan kembali nilai-nilai dan moral Pancasila ke dalam sendi-sendi kehidupan, berbangsa, dan bernegara.

Karena itu, sangatlah penting untuk membentuk badan atau lembaga entah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ataupun Lemhannas yang khusus menangani ini. Kita tentu masih ingat BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang dibentuk oleh Soeharto pada masa pemerintahannya dulu.

Badan inilah yang melakukan pembinaan, pendidikan, sekaligus pelaksanaan atas penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam seluruh sendi-sendi kehidupan di Indonesia. Mereka membuat program yang menyeluruh mulai dari tingkat dasar, menengah, perguruan tinggi, hingga karyawan, semua tidak luput dari program ini.

Presiden Soeharto bisa dibilang sukses dalam menjalankan program ini pada masa pemerintahannya. Sudah seharusnya semua sisi baik dari apa yang telah dilakukan Soeharto dapat terus dilaksanakan dan ditingkatkan. Ini yang dapat membuat bangsa kita bertambah maju dan berkembang. Kebiasaan buruk para pemimpin kita selama ini adalah selalu menganggap apa yang dilakukan pemimpin terdahulu salah, padahal tidak demikian adanya.

Sesuatu yang baik harus diteruskan, yang salah jelas harus ditinggalkan. Presiden Jokowi seharusnya dapat mengambil pelajaran dari hal ini. Apalagi beliau termasuk pemimpin yang mau banyak belajar dari pemimpin terdahulu. Semoga saja dengan program Revolusi Mental Presiden Jokowi, api Pancasila dapat kembali berkobar di hati sanubari seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, jangan sampai padam dan hanya meninggalkan asap yang hanya membuat perih dan air mata.

Jadikanlah Revolusi Mental sebagai konsensus nasional untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. Terima kasih kepada Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo yang telah memberikan inspirasi dengan peluncuran bukunya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar