Kamis, 04 Desember 2014

Metamorfosis Golkar

                                               Metamorfosis Golkar

Faisal Ismail  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
KORAN SINDO,  03 Desember 2014

                                                                                                                       


Pada 1964 Partai Komunis Indonesia (PKI) mendominasi pentas politik nasional. Untuk mengimbangi kekuatan dan pengaruh PKI tersebut, kalangan militer–khususnya Angkatan Darat–menghimpun berbagai organisasi pemuda, mahasiswa, sarjana, wanita, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).

Sekber Golkar secara resmi didirikan pada 20 Oktober 1964. Pada mulanya Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi dan kemudian membengkak menjadi 291 organisasi. Organisasi- organisasi yang beragam dan banyak jumlahnya ini kemudian direstrukturisasi menjadi tujuh kelompok yaitu (1) Koperasi Serbaguna Gotong-Royong (Kosgoro); (2) Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Soksi); (3) Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR); (4) Organisasi Profesi; (5) Ormas Pertahanan Keamanan (Hankam); (6) Gerakan Karya Rakyat Indonesia (Gakari); (7) Gerakan Pembangunan.

Golkar, the Ruling Party

Menyusul gagalnya pemberontakan G30S/PKI pada 1965, rezim Orde Lama (Orla) runtuh. Presiden Soekarno lengser dari kekuasaannya setelah berkuasa selama 20 tahun (1945-1965). Letnan Jenderal Soeharto naik ke pentas nasional dan kemudian dikukuhkan oleh MPRS sebagai presiden RI kedua.

Pemerintahan Soeharto dikenal sebagai pemerintahan Orde Baru (Orba). Demi melaksanakan amanat konstitusi dan menegakkan demokrasi, pemerintah Orba mulai mempersiapkan penyelenggaraan pemilu. Pada 17 Juli 1971, Sekber Golkar ditransformasi menjadi Golongan Karya (Golkar). Kebijakan ini diambil oleh para petingginya sebagai persiapan partisipasi Golkar dalam Pemilu 1971.

Golkar inilah yang pada hakikatnya menjadi mesin efektif dan kendaraan politik Orba yang berkuasa selama 32 tahun (1966-1998). Walaupun bergelut di dunia politik, Golkarpada masa Orba tidak menyebut dirinya sebagai partai politik, tetapi mengklaim sebagai golongan karya (kelompok fungsional). Dalam Pemilu 1971 (pemilu pertama pada masa Orba), Golkar tampil sebagai pemenang pertama dan memperoleh suara yang cukup signifikan yaitu 34.348.673 suara (62,79%) secara nasional.

Perolehan suara ketiga partai besar pesaingnya (PNI, NU, dan Parmusi) jauh tertinggal dari perolehan suara Golkar. Lebih-lebih setelah Orba melaksanakan restrukturisasi politik pada 1973, perolehan suara Golkar dalam pemilu-pemilu selama masa Orba semakin mantap dan meyakinkan. Kedua partai pesaingnya, PDI (kemudian menjadi PDIP) dan PPP, semakin jauh tertinggal dari perolehan suara Golkar.

 PDIP dan PPP secara tragis hanya menjadi pelengkap penderita di setiap pemilu pada masa Orba. Ada beberapa faktor penting yang menyebabkan Golkar menang telak di setiap pemilu pada masa Orba. Pertama, Golkar adalah partai “penguasa” yang didukung aparat kekuasaan dari paling atas sampai ke paling bawah (presiden, menteri, para pejabat di kementerian, gubernur, bupati, wali kota, camat, kades/lurah, kadus, danbabinsa).

Kedua, kebijakan Orba yang menerapkan “monoloyalitas” kepada semua pegawai negeri sipil (PNS) di seluruh Indonesia. Monoloyalitas berarti harus mencoblos Golkar dalam pemilu. Ketiga, strategi Orba yang menerapkan “ floating mass“ (massa mengambang) sampai ke pedesaan. Strategi ini memutus jalur-jalur kekuatan politik tradisional sehingga Partai NU dan kemudian PPP tidak lagi mendapat dukungan signifikan dari pesantren- pesantren.

Keempat, rekayasa politik rezim Orba dengan cara mengintervensi urusan internal partai pada saat suatu partai akan melaksanakan suksesi kepemimpinan. Calon pemimpin yang mempunyai mental ABS (asal bapak senang) dipromosikan oleh sang rezim, sedang capim yang vokal dan kritis diganjal dan gagal menjadi pemimpin partai. Kasus pecahnya PDI menjadi PDI Soeryadi dan PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri adalah hanya satu contoh dari banyak rekayasa politik rezim Orba.

Metamorfosis

Selama masa pemerintahan Orba sampai masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kedua (2009- 2014), Golkar selalu berada dalam lingkaran pusat kekuasaan pemerintahan. Metamorfosis politik Golkar segera terlihat pasca-Pileg 2014. Sebagaimana diketahui, Pileg 2014 telah menempatkan PDIP sebagai peraih suara terbanyak (23.681.471 suara atau 18,95%). PDIP bersama mitramitra koalisinya membentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Dalam Pilpres 2014, PDIP dan mitra- mitra koalisinya mengusung Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres dan berhasil mengantarkan Jokowi ke kursi kepresidenan. Sementara Golkar dalam Pileg 2014 tampil sebagai peraih suara kedua (18.432.312 suara atau 14,75%) dan bergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori Gerindra pimpinan Prabowo Subianto.

Petapolitikini sekaligus menjelaskan bahwa Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) tidak lagi berada dalam lingkaran pusat kekuasaan pemerintahan. Kini Golkar berada di luar pemerintahan dan bersama KMP menjadi kekuatan penyeimbang terhadap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Pergolakan internal di tubuh Golkar muncul menjelang Munas Golkar Ke-9 di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, yang pelaksanaannya dijadwalkan pada 30 November hingga 4 Desember 2014.

Kelompok yang menamakan diri sebagai Presidium Penyelamat Partai Golkar “menonaktifkan” ARB sebagai ketum DPP Golkar. Tim Penyelamat (dipimpin oleh Agung Laksono) menuding ARB telah membuat skenario yang hanya untuk memuluskan dirinya agar terpilih kembali sebagai ketum dalam Munas Bali itu. Presidium pimpinan Agung Laksono itu berencana menyelenggarakan Munas Golkar Ke-9 pada Januari 2015.

Merespons manuver Tim Penyelamat Partai Golkar itu, ARB mengatakan gerakan tersebut tak ubahnya sebagai gerakan “premanisme” dan ilegal. Yang bisa memecat dirinya, kata ARB, adalah rapim DPP Partai Golkar atau munas. ARB mengklaim bahwa Munas Golkar di Bali dilaksanakan sesuai keputusan rapim dan pelaksanaannya bersifat prosedural dan legal sesuai butir-butir ketentuan AD/RT.

Rencana pelaksanaan Munas Golkar di Bali sempat diresahkan oleh pernyataan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang meminta kepada Polri untuk tidak mengeluarkan surat izin penyelenggaraan munas karena alasan keamanan. Setelah menuai banyak protes terutama dari fungsionaris Golkar, Menko Polhukam mengklarifikasi pernyataannya dan mempersilakan Golkar bermunas di Bali dengan tertib dan aman.

Gubernur dan Polda Bali menyambut baik dan berjanji akan secara maksimal mengamankan pelaksanaan Munas Golkar di Bali. Sesuai rencana, ARB selaku ketum Golkar 2009-2014 membuka Munas Golkar di Bali. Semakin tinggi Pohon Beringin berada, semakin keras angin menerpa. Semakin rindang Pohon Beringin bertumbuh, semakin banyak orang berteduh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar